JAKARTA, HUMAS MKRI - Hari Kedua Bimbingan Teknis (Bimtek) Hukum Acara Pengujian Undang-Undang Bagi Asosiasi Pengajar Hukum Acara MK (APHAMK) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) secara virtual pada Rabu (4/8/20021). Sejumlah narasumber hadir menyampaikan beragam materi termasuk Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih yang menyampaikan materi “Mahkamah Konstitusi dan Karakteristik Hukum Acara Mahkamah Konstitusi”.
Enny Nurbaningsih di awal pemaparan menuturkan perjalanan panjang untuk memperjuangkan suatu kelembagaan yang diberi kewenangan yang salah satunya menguji undang-undang. “Kita lihat perjalanan itu dimulai dari Moh. Yamin saat memberi usulan agar Balai Agung yang kita kenal sekarang MA diberi wewenang membanding undang-undang. Demikian juga perjalanan Ikatan Sarjana Hukum mengusulkan agar MA diberi wewenang menguji undang-undang,” papar Enny.
Lebih lanjut Enny mengatakan, kewenangan MK diberikan oleh Pasal 24 UUD 1945. Dalam pasal tersebut, kekuasaan kehakiman yang tidak hanya dilakukan oleh MA, tetapi juga oleh MK. Kewenangan MK diatur dalam Pasal 24C UUD 1945.
“Kewenangan MK yang paling banyak dilakukan, yakni menguji UU terhadap UUD 1945. Pengujian UU terhadap UUD di MK dari 2003 sampai dengan 2021 sebanyak 1412 perkara yang telah diputus. Terkait dengan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) baru ada 27 perkara. Sedangkan kewenangan untuk melakukan pembubaran parpol, tidak terdapat pengujian mengenai hal tersebut. Sementara kewenangan memutus sengketa perselisihan hasil pemilu pileg sebanyak 878 perkara, perkara dan Pemilihan kepala daerah sebanyak 1.127 perkara,” papar Enny.
Enny melanjutkan, sesuai Pasal 24C UUD 1945, MK memiliki kewenangan menguji undang-undang terhadap UUD baik formil maupun materiil. Pengujian formil berkaitan dengan proses pembentukan undang-undang. Pengujian materiil sebagai pengujian undang-undang yang berkenaan dengan substansi, muatan undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. MK juga berwenang memutus kewenangan konstitusional lembaga negara. Kewenangan MK berikutnya, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan hasil pemilu. Sedangkan kewajiban MK, memberi putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran Presiden atau Wakil Presiden menurut UUD 1945.
Kemudian Jimmy Z Usfunan dengan materi Penafsiran Konstitusi. Hadir pula Hakim Konstitusi Suhartoyo dengan materi Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Pengujian Undang-Undang Terhadap UUD NRI Tahun 1945.
Penafsiran Konstitusi
Pada kesempatan yang sama, Jimmy Z Usfunan yang merupakan Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana mengatakan bahwa dalam Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Logika penegakkan hukum dan keadilan dielaborasi dalam UU tentang kekuasaan kehakiman yang mana hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. “Ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim dan hakim konstitusi sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat,” ujarnya.
Lebih lanjut Jimmy mengatakan, politik hukum dalam pembentukan undang-undang harus sejalan dengan hak konstitusional yang dijamin, ruang lingkup kekuasaan negara, penyelenggaraan pemerintahan, kelembagaan negara, pengisian jabatan, lembaga negara, maupun penyelenggaraan negara yang telah didesain oleh Undang-Undang Dasar.
Dikatakan Jimmy, mengutip dalam buku Algra dan Duyvendijk tidak ada satu aturan pun yang dapat dipraktikkan begitu saja tanpa apa-apa, sebab tiap aturan harus diberi penjelasan (ditafsirkan), sebelum ia dapat dipraktikkan (oleh pembentuk). Teknik semacam ini dinamakan sebagai metode interpretasi.
“Interpretasi atau konstruksi sendiri merupakan suatu proses yang ditempuh oleh Pengadilan dalam rangka mendapatkan kepastian mengenai arti dari hukum perundang-undangan. Sedangkan menurut Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang gamblang mengenai teks Undang-Undang agar ruang lingkup kaidah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu,” ungkap Jimmy.
Jimmy melanjutkan penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan yang harus menuju kepada pelaksanaan yang dapat diterima oleh masyarakat mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa konkrit. Ia mengatakan, MK merupakan penafsir tunggal konstitusi.
Pengujian Undang-Undang
Sementara sesi berikutnya diisi oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo dengan materi Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Pengujian Undang-Undang Terhadap UUD NRI Tahun 1945. Dalam kegiatan tersebut, Suhartoyo mengatakan menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar adalah inti bisnis Mahkamah Konstitusi, sebagai kewenangan utama dan paling sering dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Perkara yang paling banyak masuk ke Mahkamah Konstitusi adalah perkara pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Sementara untuk perkara sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara jumlahnya relatif sedikit. Selanjutnya untuk perselisihan hasil pemilu dan pilkada jumlah perkaranya cukup besar. Sedangkan untuk perkara pembubaran partai politik dan perkara pemakzulan Presiden sampai hari ini MK belum pernah menyidangkan.
“Bicara mengenai Hukum Acara MK dikaitkan dengan empat kewenangan, satu kewajiban dan satu kewenangan tambahan MK, membawa konsekuensi yuridis yang berbeda-beda antara semua kewenangan dan kewajiban Mahkamah Konstitusi tersebut. Dalam pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 ada karakter yang berbeda hukum acaranya, tidak ada pihak lawan, ada pemohon tetapi tidak ada termohon, namun ada pihak Pemerintah dan DPR yang diminta keterangan berkaitan dengan undang-undang yang dibentuk. MK memanggil Pemerintah dan DPR untuk menjelaskan bagaimana sejarahnya, original intent dari undang-undang yang diterbitkan. Berbeda dengan perkara sengketa konstitusional lembaga negara, ada pemohon dan termohon. Begitu juga dengan perkara pembubaran parpol dan perselisihan hasil pemilu, ada pemohon dan termohon,” papar Suhartoyo.
Pengujian Materil dan Formil
Suhartoyo menegaskan, ada dua jenis pengujian undang-undang di MK yaitu secara materiil dan formil. Secara materiil, pengujian undang-undang yang berkenaan dengan materi, isi undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Pengujian materiil juga disebut pengujian substansi. Sedangkan secara formil, pengujian undang-undang tentang tata cara atau prosedur pembentukan undang-undang.
Selanjutnya yang dapat mengajukan sebagai Pemohon di persidangan MK, ungkap Suhartoyo, pertama adalah perorangan warga negara. Sampai saat ini, menurutnya, MK dalam tatanan empirik maupun yurisprudensi belum pernah memberikan kedudukan hukum bagi warga negara asing.
“Kecuali warga negara asing yang mewakili kepentingan badan hukum publik atau privat yang berkedudukan di Indonesia. Dengan catatan, warga negara asing itu merupakan direksi badan hukum publik atau privat yang bersangkutan,” kata Suhartoyo yang menyebutkan ada dua jenis permohonan di MK yakni datang langsung mendaftar ke MK (offline) maupun secara online. Berikutnya, sambung Suhartoyo, yang dapat mengajukan sebagai Pemohon di persidangan di MK adalah kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum publik atau privat, serta lembaga negara.
Kemudian mengenai pemberian kuasa untuk persidangan di MK, ujar Suhartoyo, pemohon dan atau termohon dapat didampingi kuasa, sedangkan badan hukum publik atau privat bisa didampingi kuasa atau menunjuk kuasa. Kuasa hukum dalam persidangan MK tidak harus advokat, sepanjang menguasai dengan baik tentang Hukum Acara MK.
“Di MK dikenal adanya pendamping, sepanjang bisa membantu kepentingan-kepentingan prinsipal dengan membuat surat keterangan kepada MK,” ucap Suhartoyo yang juga menerangkan format pengujian undang-undang yaitu terdiri atas identitas pemohon, kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum, posita dan petitum.
Mengenai persidangan di MK, sambung Suhartoyo, ada sidang pemeriksaan pendahuluan dimana majelis hakim wajib memberikan nasihat kepada pemohon, lalu sidang perbaikan permohonan, lanjut ke sidang pembuktian dengan mendatangkan saksi, ahli dan lainnya serta sidang pengucapan putusan.
Selain itu, Suhartoyo juga menerangkan sejumlah alasan pemohon menguji undang-undang ke MK, antara lain hak-hak konstitusional pemohon yang dirugikan oleh berlakunya undang-undang, kerugian konstitusionalnya bersifat spesifik, aktual dan potensial. Selain itu harus ada korelasi, hubungan sebab akibat antara hak konstitusional yang dijamin oleh UUD dengan berlakunya undang-undang.
Kegiatan bimtek ini diselenggarakan selama empat hari pada Selasa – Jum’at (3 – 6/8/2021). Bimtek yang diikuti oleh 120 peserta secara daring tersebut, membahas mengenai pengujian undang-undang dan hukum acaranya. (*)
Penulis : Utami Argawati
Editor : Lulu Anjarsari P