JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi menggelar Bimbingan Teknis Hukum Acara Pengujian Undang-Undang Bagi Asosiasi Pengajar Hukum Acara MK (APHAMK). Kegiatan tersebut dibuka langsung oleh Ketua MK Anwar Usman pada Selasa (3/8/2021) malam secara daring.
Dalam sambutannya, Anwar mengatakan paham demokrasi yang dianut saat ini harus berjalan beriring dengan paham nomokrasi (konstitusi) sebagai konsensus norma tertinggi dalam bernegara. Hal ini memiliki konsekuensi logis meskipun suatu undang-undang telah dibentuk oleh lembaga legislatif bersama eksekutif. Namun hal tersebut berguna untuk menghindari terjadinya tirani mayoritas terhadap minoritas, serta dapat mendistorsi hak-hak asasi warga negara sebagaimana telah dijamin oleh UUD 1945.
“Sehingga untuk menjaga konstitusionalitas bernegara, mekanisme pengujian undang-undang di MK merupakan suatu cara bagi setiap warga negara dalam memproteksi dirinya dari pelanggaran terhadap hak konstitusional yang mungkin dideritanya akibat adanya keberlakuan suatu undang-undang,” papar Anwar di hadapan sekitar 120 peserta bimtek yang merupakan para dosen tersebut.
Kewenangan pengujian undang-undang bagi MK (tidak hanya di Indonesia), sambung Anwar, sering dinyatakan sebagai ‘core business’ atau kewenangan utama di antara kewenangan MK lainnya. Hal tersebut dikarenakan secara historis, lahirnya MK atau lembaga peradilan setara yang memiliki kewenangan untuk menguji UU terhadap UUD, merupakan kewenangan penyeimbang (check and balances) terhadap kewenangan lainnya yang dimiliki oleh lembaga eksekutif maupun legislatif.
“Jika lembaga eksekutif dan legislatif memiliki kewenangan secara positif untuk membentuk undang-undang, maka MK memiliki kewenangan secara negatif, untuk membatalkannya,” ujar Anwar dalam acara yang juga dihadiri oleh Sekjen APHAMK Sunny Ummul Firdaus tersebut.
Keseimbangan Lembaga Negara
Lebih lanjut Anwar menjelaskan, paradigma keseimbangan antara lembaga negara ini, berangkat dari pemikiran tentang perlunya keseimbangan antara sistem demokrasi yang mengedepankan kedaulatan rakyat, dengan kedaulatan norma yang telah menjadi konsensus bernegara.
Anwar menambahkan hal ini didasari dari latar belakang pemikiran yang bersifat faktual bahwa fitrah dari kekuasaan yang lahir dari sistem demokrasi bersifat mayoritarian dan memiliki kecenderungan abuse terhadap kekuasaan yang dimilikinya. Akibat dari kedudukannya yang bersifat mayoritas tersebut, maka kewenangan lembaga legislatif dan eksekutif dalam membentuk suatu undang-undang, diatur secara ketat, baik secara formil maupun materiil.
“Aturan secara formil menentukan bahwa suatu UU harus dibentuk sesuai dengan proses pembentukannya. Sedangkan dari aspek materiil, substansi atau materi muatan suatu UU, tidak boleh bertentangan dengan konstitusi sebagai peraturan yang lebih tinggi. Oleh karena itu, pengujian UU terhadap UUD di MK, dapat menyangkut dua aspek tersebut, yakni pengujian yang bersifat formil, maupun materiil,” urai Anwar.
Satu Norma
Selain itu, Anwar juga menjelaskan, ketika MK berdiri yang kemudian diatur dalam UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK terdapat satu norma pasal yang melarang undang-undang yang dapat dimohonkan untuk diuji ke MK. Adapun UU tersebut adalah UU yang diundangkan setelah perubahan UUD 1945 dilaksanakan (Perubahan 1999 – 2002). “Ketentuan norma ini tentu berangkat dari suatu prinsip hukum bahwa hukum harus bersifat prospektif dan bukan retroaktif,” imbuh Anwar.
Menurut Anwar, ketentuan norma ini tentulah bertentangan dengan semangat dibentuknya MK, yaitu untuk memberikan perlindungan hak konstitusional kepada warga negara dari berlakunya suatu UU yang bertentangan dengan UUD. Padahal, keberlakuan suatu UU yang lahir sebelum dilakukannya perubahan UUD 1945, tidak tertutup kemungkinan dapat pula melanggar hak konstitusional warga negara. Jika keberlakuan norma ini tetap ada, maka tentu saja di dalam hukum acara PUU, ketentuan ini menjadi syarat formil bagi Pemohon untuk melakukan pengujian UU. Oleh karena itu, sejak tahun 2004 norma ketentuan pasal ini telah dibatalkan oleh MK, melalui Putusan Nomor 066/PUU-II/2004.
Dikatakan Anwar, hal lain yang cukup penting di dalam proses hukum acara pengujian UU di MK adalah menyangkut kedudukan hukum Pemohon. Meski Pasal 51 UU MK telah diatur siapa saja pihak yang memiliki kedudukan hukum sebagai Pemohon di dalam perkara PUU, namun perkembangan syarat konstitusional bagi Pemohon, berkembang di dalam putusan-putusan MK. Sejak tahun 2004, MK telah mengembangkan syarat konstitusional Pemohon tersebut, sebagai terjemahan dari Pasal 51 UU MK. Setidaknya, ada tiga yurisprudensi pokok Mahkamah yang menjadi sumber rujukan bagi putusan setelahnya, menyangkut syarat konstitusional bagi Pemohon, yaitu Putusan 003/PUU-I/2003, Putusan 006/PUU-III/2005, dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007.
Begitu pula halnya terhadap format putusan MK. Meski UU MK hanya mengatur tiga varian bentuk amar putusan MK, yakni tidak dapat diterima, ditolak, dan dikabulkan, tetapi di dalam perkembangannya, terdapat putusan MK yang bersifat bersyarat, yakni putusan conditionally constitusional dan conditionally unconstitutional. Bahkan ada pula putusan yang di dalam amarnya menolak, namun pada bagian pertimbangannya, memberikan pesan kepada pembentuk UU untuk untuk mengubahnya. Serta masih banyak varian lainnya dalam hukum acara PUU lainnya, yang merupakan perkembangan dari putusan-putusan MK. Termasuk Hukum Acara MK tentang PUU yang baru, sebagaimana diatur di dalam PMK Nomor 2 Tahun 2021.
Kegiatan bimtek ini diselenggarakan selama empat hari pada Selasa – Jum’at (3 – 6/8/2021). Bimtek yang mengulas mengenai pengujian undang-undang ini akan diisi oleh hakim konstitusi, panitera pengganti, peneliti, serta staf MK lainnya. (*)
Penulis : Utami Argawati
Editor : Lulu Anjarsari P