JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian materiil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), pada Selasa (3/8/2021) secara daring. Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan DPR dan mendengar keterangan ahli yang dihadirkan Pemerintah. Sidang untuk perkara Nomor 81/PUU-XVIII/2020 ini diajukan oleh Pemimpin Redaksi Media Suara Papua dan Perkumpulan Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Dalam persidangan yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Ifdhal Kasim mengatakan era digital ini ditandai dengan merebaknya kemunculan perusahaan platform sebagai intermediary transaksi informasi dan komunikasi, termasuk ecommerce.
“Seperti diketahui, model perolehan dan pertukaran informasi komunikasi tersalur, baik melalui personal access, seperti email, dan seterusnya, maupun melalui media sosial seperti Facebook, Twitter, dan seterusnya. Begitu pula dengan surat kabar, majalah, dan buku, juga telah tersedia secara online dengan perantaraan internet atau disebut juga new media platform,” papar Ifdhal.
Akan Tetapi bersamaan dengan itu, sambung Ifdhal, merebak pula penyalahgunaan internet (internet abuses) yang mengotori ruang publik. Informasi yang mengotori ruang publik, antara lain terlihat dari merebaknya penyebaran hoax (kebencian) terhadap etnis dan ras tertentu (hate speech), pornografi anak (online child pornography), terorisme cyber (cyber terrorism), penghasutan (inciting), menista, menghina, propaganda perang, dan seterusnya. Hal ini memunculkan isu government tata kelola atas akses internet atau internet access di berbagai negara, yaitu bagaimana mencari keseimbangan antara kebebasan dan kepentingan umum atau balance of rights.
Lebih lanjut Ifdhal mengatakan, di era digital ini, kemudian merebak istilah digital rights. Perkembangan ini menjadikan hak atas informasi harus diletakkan dalam konteks mode perolehan informasi yang berubah. Selain itu, atas informasi itu harus dilihat sebagai korelasi dengan hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi berbasis internet. Hal ini bermuara pada tuntutan terhadap pengakuan akan adanya hak-hak digital (digital rights) suatu aspirasi yang ingin menempatkan hak-hak fundamental semua orang, seperti hak atas kebebasan informasi, kebebasan ekspresi, dan privasi yang dijamin secara offline tersebut diberlakukan pula di ruang digital atau protecting the technology of connection. Istilah digital rights atau rights to internet itu di dalamnya tercakup perlindungan terhadap akses pada internet dan seterusnya.
“Jadi, istilah digital rights belum dapat digunakan dalam hukum internasional hak asasi manusia. Yang disepakati para ahli hukum hak asasi manusia itu adalah sebatas menerapkan Pasal 19 ayat (2) ICCPR pada medium internet. Pendapat ini juga dikuatkan oleh komentar umum dan hak sipil, hak asasi Manusia Nomor 34 yang dengan gamblang mengatakan bahwa media lainnya itu juga mencakup internet based of communication. Itu artinya, hak atas informasi melalui media internet berada dalam perlindungan instrumen internasional hak asasi manusia dalam pengertian mediumnya,” terang Ifdhal.
Ifdhal pun menilai bahwa hak asasi manusia yang dilindungi, baik dalam instrumen-instrumen internasional dan regional maupun dalam konstitusi dan hukum nasional tidak semuanya bersifat absolute. Tetapi beberapa hak yang dilindungi itu menjadi subjek pembatasan dengan alasan yang sah dan diperlukan necessary and reasonable. Ada dua kategori hak yang dilindungi rezim hukum HAM. Kategori pertama adalah hak yang bersifat absolute yang tidak boleh dikurangi atau non derogable rights. Kategori kedua, hak-hak yang dalam kategori yang dapat dikurangi atau derogable rights yang juga sering disebut permissible of rights.
Selain itu, pembatasan kondisi yang diperlukan untuk menentukan apakah pembatasan tersebut dapat diterima (acceptable) dan kuat legitimasinya. Legitimate purpose ditentukan oleh terpenuhi atau tidaknya prasyarat-prasyarat atau kondisi yang diperlukan bagi pembatasan yang diatur dalam klausul pembatasan tersebut. Persyaratan atau kondisi yang diperlukan itu adalah pembatasan harus dengan hukum.
Pembatasan harus dengan hukum atau provided by the law sejalan dengan prinsip legalitas. Persyaratan ini menghendaki pembatasan harus dilakukan dengan hukum yang jelas. Penggunaan istilah hukum atau law di sini mengacu pada hukum yang dibuat dalam proses legislasi, yaitu undang-undang untuk negara dengan tradisi civil law dan setingkat dengan itu untuk negara-negara dalam tradisi common law.
“Ketentuan universal tersebut tidak berbeda jauh dengan ketentuan dalam konstitusi dan hukum nasional kita. Undang-Undang Dasar Tahun 1945 mewajibkan setiap orang tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang. Begitu juga dengan hukum nasional menyatakan hak dan kebebasan yang diatur dalam undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang,” imbuhnya.
Selain itu, tujuan pembatasan semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Hukum nasional juga menyatakan semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan umum. Alasan keperluan ini harus dilakukan dengan mempertimbangkan pula prinsip profesionalitas, maksudnya cara yang digunakan oleh negara untuk membatasi hak dilakukan secara profesional dengan tujuan yang dikehendaki sehingga tidak kebablasan.
Pada kesempatan yang sama, Ahli Pemerintah lainnya yakni Henry Subiakto juga mengatakan bahwa fokus pengaturan dan pembatasan hukum in casu pasal a quo adalah untuk menjaga ketertiban umum terkait informasi elektronik dan media siber yang dilakukan oleh 202,6 juta pengguna internet di Indonesia.
“Di Indonesia sekarang sudah pengguna internetnya 202,6 juta. Yang aktif di media sosial 170 juta. Kalau di dunia ada 4,6 miliar manusia yang menggunakan internet. Ini data dari UN dan juga APJII. Ini menciptakan kondisi yang disebut sebagai era of abundance, era keterlimpahan. Itu kalau dalam konsep Peter Diamandis dan Steven Kotler, di mana semua orang itu bisa aktif dan menjadi pemroduksi pesan dan informasi, baik orang itu orang baik-baik maupun orang yang jahat. Informasinya tentu saja bisa informasi yang baik, informasi yang buruk, Informasi yang mencerahkan maupun informasi yang berbahaya karena dari seluruh manusia se-Indonesia yang mempunyai kapasitas untuk menggunakan internet dia bisa menjadi memproduksi informasi tersebut. Pemerintah sebagai penyelenggara negara bertindak sebagai penjaga,“ ujar Henry.
Lebih lanjut Henry mengatakan, persoalan komunikasi di era digital, persoalan utamanya bukan menghadapi pers, bukan lagi menghadapi jurnalistik media ataupun konten penyiaran, tapi yang dihadapi sekarang adalah persoalan yang belum pernah terjadi sebelumnya, yaitu tsunami informasi elektronik di dunia maya yang gelombang informasinya bisa dibuat oleh siapa saja.
“Jutaan orang di Indonesia, ratusan juta orang di Indonesia, atau miliaran orang di dunia, pembuat dan penyebar konten itu bisa saja orang yang terdidik, orang yang baik, maupun orang-orang jahat, bisa teroris, bisa penjahat, bisa political hitman yang ingin menghancurkan suatu negara, bisa siapa pun dengan motif apa pun, termasuk yang ingin melemahkan NKRI,” ujar Henry.
Menurutnya, UU ITE dibuat untuk mengatur, melindungi para pengguna-pengguna termasuk anak-anak. Undang-undang dan penyelenggara sistem elektronik, bukan pers. Ia menilai pers tidak menjadi objek UU ITE. Hal itu dikarenakan pers tunduk pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pasal 40 ayat (2a) dan Pasal 40 ayat (2b) yang ada di UU ITE ini saling terkait dan juga mengatur konten. Pasal 40 ayat (2a) mewajibkan pemerintah untuk melakukan keputusan berupa tindakan atau beschikking melindungi masyarakat dari penyalahgunaan informasi elektronik yang memiliki muatan dilarang perundang-undangan.
“Di sini diperlukan keputusan cepat dan tindakan yang cepat pula karena ada istilah pencegahan, berarti mencegah itu harus cepat, tidak ada mencegah itu menunggu. Agar bisa menjalankan kewajiban tersebut, pemerintah diberi wewenang oleh pembuat undang-undang atau oleh undang-undang ini di Pasal 40 ayat (2b) atau pasal a quo bunyinya, “Dalam melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a), pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada penyelenggara sistem elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum, “ jelas Henry.
Baca juga:
Sempat Alami Pemblokiran, Redaksi Suara Papua dan AJI Gugat UU ITE
Redaksi Suara Papua dan AJI Perbaiki Permohonan Uji UU ITE
Pemerintah: Warga Negara Dapat Ajukan Upaya Administratif Atas Tindakan Pemblokiran
Oce Madril: Kewenangan Pemerintah Memutus Akses Internet Terbatas
Pentingnya Regulasi Pemutusan Akses Internet
Tindakan Berdasar Hukum dan Melalui Prosedur
Untuk diketahui, para Pemohon merasa dirugikan akibat kewenangan yang dimiliki Pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal 40 ayat (2b) UU ITE. Menurut Pemohon, Pasal 40 ayat (2b) memberikan kewenangan yang luas kepada Pemerintah untuk mengambil kewenangan Pengadilan dalam menegakkan hukum dan keadilan untuk memeriksa, mengadili dan memutus atas tafsir dari informasi dan/atau dokumen elektronik yang melanggar hukum.
Pemohon menilai seharusnya kewenangan memeriksa, mengadili, dan memutus sebuah perkara adalah milik hakim sebagaimana telah diatur dalam Pasal 20 ayat (2) dan Pasal 25 UU 48/2009. Selain itu, kewenangan Pemerintah untuk melakukan pemutusan akses adalah bentuk dari pembatasan kebebasan berekspresi dan kebebasan informasi. Kewenangan ini pula, menurut Pemohon, butuh diawasi secara ketat oleh pengadilan. Hal tersebut sebagai bentuk membatasi penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh pihak Pemerintah.
Menurut para Pemohon, kewenangan Pemerintah melakukan tafsir secara sepihak atas sebuah informasi dan/atau dokumen elektronik bermuatan konten yang melanggar hukum, bertentangan dengan ketentuan due process of law. Selain itu, Pemohon menganggap jika pasal yang diuji dibiarkan sumir dan tidak jelasnya ukuran informasi dan/atau dokumen elektronik yang dianggap melanggar hukum tersebut, maka hal ini berdampak pada pemberian kewenangan yang absolut kepada Pemerintah untuk mengontrol dan memonopoli akses informasi. Hal demikian membuat sulit publik untuk menerima dan menyampaikan informasi dalam rangka partisipasi melakukan pengawasan kepada Pemerintah melalui lembaga Peradilan. Berdasarkan alasan-alasan tersebut, para Pemohon meminta kepada Mahkamah untuk menyatakan ketentuan Pasal 40 ayat (2b) UU 19/2016 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Andhini Sayu Fauzia.