JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan pengujian Undang-Undang pengujian materiil Pasal 12A ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UU Perbankan). Adapun agenda sidang hari ini mendengarkan keterangan Pihak Terkait, yakni Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sidang keempat Perkara Nomor 102/PUU-XVIII/2020 digelar pada Senin (2/8/2021) secara virtual. Pribadi Budiono yang merupakan Direktur Utama PT Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Lestari Bali tercatat sebagai Pemohon perkara tersebut.
Dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman, Rosalia Suci Handayani selaku Direktur Eksekutif Hukum Bank Indonesia mengatakan sebagai bagian dari pengelolaan aktiva produktif bank, perolehan dan pengelolaan Aset Yang Diambil Alih (AYDA) bank harus diatur untuk menjadi salah satu cara penyelesaian kredit dan kredit bermasalah dengan baik.
“Oleh karena itu, di dalam UU Perbankan Pasal 12A ayat (1) tentang pengelolaan AYDA oleh bank umum diatur bahwa bank umum dapat membeli sebagian atau seluruh agunan baik pelelangan maupun di luar pelelangan berdasarkan penyerahan sukarela oleh pemilik agunan atau berdasar kuasa diluar lelang oleh pemilik agunan dalam hal nasabah debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya,” ujar Rosalia.
Baca juga: Menyoal Konstitusionalitas Aturan Hanya Bank Umum yang Bisa Ambil Alih Agunan
Menurut Rosalia, ketentuan Pasal 12A ayat 1 UU Perbankan ditempatkan dalam bab 3 UU Perbankan yang mengatur tentang bank umum sehingga di dalam aktivitas bank umum tersebut berlaku sebagai dasar ketentuan perkreditan. Ia mengatakan, di dalam bab 3 mengenai usaha perkreditan BPR tidak terdapat ketentuan mengenai aturan pembelian agunan melalui pelelangan maupun di luar pelelangan. Hal tersebut juga sejalan dengan risalah rapat perundang-undangan tentang perubahan undang-undang Nomor 7 Tahun 2002 tentang perbankan, yang menjelaskan bahwa Pasal 12A ayat (1) hanya mengatur bank umum sementara untuk BPR tidak diatur karena sifatnya kecil. “Sehingga kalau BPR mengikuti hal-hal besar dalam agunan yang besar nanti akan merepotkan BPR itu sendiri,” papar Rosalia.
Rosalia melanjutkan dalam Pasal 13 UU Perbankan diatur mengenai kegiatan usaha BPR yang meliputi untuk menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito berjangka, tabungan dan atau bentuk lainnya. Kegiatan lainnya, yakni memberikan kredit, menyediakan pembiayaan dan penempatan dana prinsip syariah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh BI, menempatkan dananya dalam bentuk sertifikat BI, deposito berjangka, sertifikat deposito dan atau tabungan bank lain.
Dikatakan Rosalia, kegiatan terkait AYDA merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan pemberian kredit sehingga tidak dapat dikatakan sebagai jenis kegiatan usaha yang berdiri sendiri.
Baca juga: DPR: BPR Dapat Beli Agunan Nasabah Melalui Lelang
Keliru Memaknai
Dalam sidang yang sama, MK juga mendengarkan keterangan pihak terkait lainnya, yakni Otoritas Jasa Keuangan yang diwakili oleh Suharjo. Ia mengatakan pemaknaan dari pasal a quo adalah ketentuan yang ditujukan kepada bank umum dan BPR tidak dapat melakukan pembelian agunan debitur kredit adalah pemaknaan yang keliru. Dalam praktik regulasi yang telah diimplementasikan oleh OJK, sambungnya, pengaturan mengenai pembelian agunan debitur oleh BPR yang belum secara tegas diatur dalam undang-undang perbankan, dapat diatur dalam peraturan pelaksanaan di bawah undang-undang. Hal ini mengingat kegiatan usaha penyaluran kredit kepada masyarakat yang dilakukan oleh bank umum juga dapat dilakukan oleh BPR.
Menurut Suharjo, meskipun pasal yang diuji adalah ketentuan yang mengatur mengenai bank umum, namun tidak dapat satu pun pasal dalam undang-undang perbankan yang mengatur larangan bagi BPR untuk melakukan tindakan pembelian agunan melalui pelelangan, maupun di luar pelelangan.
“Bank Indonesia selaku pengatur lembaga perbankan pada saat itu, telah menerbitkan peraturan yang di dalamnya mengatur mengenai pembelian agunan debitur kredit oleh BPR dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia tentang Kualitas Aktiva Produktif dan pembentukan Penyisihan Aktiva Produktif BPR,” papar Suharjo.
Suharjo menambahkan AYDA adalah aset yang diperoleh BPR untuk penyelesaian kredit, baik melalui pelelangan atau di luar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan surat kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan dalam hal debitur telah dinyatakan macet.
“AYDA merupakan salah satu pilihan bagi BPR dalam rangka penyelesaian kredit bermasalah, sebagaimana pengaturan dalam POJK tersebut dijelaskan bahwa dalam rangka penyelesaian kredit yang memiliki kualitas macet, BPR dapat mengambil alih agunan, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan,” ujar Suharjo.
Baca juga: Pemohon Uji UU Perbankan Perbaiki Permohonan
Pada sidang sebelumnya, Pribadi Budiono yang merupakan Direktur Utama PT Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Lestari Bali mengajukan pengujian Pasal 12 ayat (1) UU Perbankan mengenai aturan yang hanya memperbolehkan bank umum mengambil alih agunan nasabah kredit macet dinilai bertentangan dengan UUD 1945.
Pemohon mengungkapkan mengalami kerugian dengan adanya pemberlakuan frasa “Bank Umum” dalam UU Perbankan. Hal ini karena aturan tersebut hanya memperbolehkan bank umum yang dapat mengambil alih agunan nasabah debitur macet melalui lelang. Sementara hak yang sama tidak dimiliki oleh BPR. Hal ini menyebabkan perlakuan diskriminatif dan ketidakadilan untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan layaknya sama dengan Pihak Bank Umum untuk dapat mengambil alih agunan nasabahnya melalui lelang untuk menyelesaikan masalah kredit macet nasabah. (*)
Penulis : Utami Argawati
Editor : Lulu Anjarsari P
Humas : Andhini SF