JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan penarikan kembali permohonan perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) antara Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Majelis Rakyat Papua Barat terhadap Presiden Republik Indonesia. Demikian ditegaskan MK dalam sidang pengucapan Putusan Nomor 1/SKLN-XIX/2021 pada Jumat (30/7/2021).
“Menetapkan, mengabulkan penarikan kembali permohonan para Pemohon. Menyatakan permohonan Nomor 1/SKLN-XIX/2021 mengenai Sengketa Kewenangan Lembaga Negara antara Majelis Rakyat Papua dan Majelis Rakyat Papua Barat terhadap Presiden Republik Indonesia ditarik kembali,” ujar Ketua Pleno Anwar Usman didampingi para hakim konstitusi lainnya.
Permohonan SKLN yang teregistrasi dengan Perkara Nomor 1/SKLN-XIX/2021 ini semula akan menguji Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Papua. Para Pemohon mendalilkan, terkait dengan inisiatif pemekaran wilayah dan inisiatif dan/atau pengusulan perubahan atas UU Nomor 21/2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU 21/2001) sebagaimana diatur dalam UU Nomor 21/2001 merupakan kewenangan yang dimiliki oleh MRP, bukan pemerintah pusat.
Sesuai dengan hak kewenangan yang diberikan oleh Pasal 77 UU a quo, terkait usul perubahan UU Nomor 21/2001 para Pemohon telah melakukan kegiatan Rapat Dengar Pendapat yang bertujuan untuk mengevaluasi pelaksanaan kebijakan Otonomi Khusus Papua yang telah dilaksanakan selama 20 (dua puluh) tahun dengan melibatkan seluruh komponen orang asli Papua.
Menurut para Pemohon, dikeluarkannya Surat Presiden Nomor R-47/Pres/12/2020 tertanggal 4 Desember 2020 yang ditujukan kepada Ketua DPR perihal Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua dengan melakukan revisi terbatas terhadap Pasal 1 huruf (a), Pasal 34 dan Pasal 76 UU 21/2001 sama sekali belum melalui proses usulan dari rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP.
Tercatat dalam e-BRPK
Permohonan para Pemohon, dalam hal ini Majelis Rakyat Papua dan Majelis Rakyat Papua Barat diterima Kepaniteraan MK pada 17 Juni dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) pada 28 Juni 2021. Pada 19 Juli 2021, Mahkamah telah menerima surat dari tim kuasa Pemohon, Saor Siagian dkk perihal penarikan kembali permohonan SKLN untuk Perkara Nomor 1/SKLN-XIX/2021 yang diterima Kepaniteraan MK pada 19 Juli 2021.
Selanjutnya, Mahkamah melakukan pemeriksaan pendahuluan terhadap permohonan para Pemohon melalui sidang panel pada 21 Juli 2021 yang semula dijadwalkan pada 5 Juli 2021. Penundaan sidang karena adanya kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat. Dalam sidang panel pada 21 Juli 2021 yang dihadiri para Pemohon dan Termohon, tim kuasa hukum Pemohon membenarkan telah menarik permohonannya melalui surat bertanggal 19 Juli 2021.
Terhadap penarikan kembali permohonan para Pemohon, Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) Mahkamah Konstitusi pada 26 Juli 2021 berkesimpulan bahwa pencabutan atau penarikan kembali permohonan Perkara Nomor 1/SKLN-XIX/2021 beralasan menurut hukum dan memerintahkan Panitera MK untuk mencatat perihal penarikan kembali permohonan para Pemohon dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK).
Baca juga: Majelis Rakyat Papua Tarik Kembali Permohonan Sengketa Melawan Presiden
Sebelumnya, Para Pemohon mendalilkan, terkait dengan inisiatif pemekaran wilayah dan inisiatif dan/atau pengusulan perubahan atas UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU 21/2001) sebagaimana diatur dalam UU No. 21/2001 merupakan kewenangan yang dimilki oleh MRP, bukan pemerintah pusat. Sesuai dengan hak kewenangan yang diberikan oleh Pasal 77 UU a quo, terkait usul perubahan UU No. 21/2001 para Pemohon telah melakukan kegiatan Rapat Dengar Pendapat yang bertujuan untuk mengevaluasi pelaksanaan kebijakan Otonomi Khusus Papua yang telah dilaksanakan selama 20 (dua puluh) tahun dengan melibatkan seluruh komponen orang asli Papua.
Bahwa susunan kedudukan, keanggotaan dan wewenang para Pemohon diatur lebih lanjut dalam UU 21/2001, dengan demikian para Pemohon memiliki kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan.
Menurut para Pemohon, dikeluarkannya Surat Presiden Nomor R-47/Pres/12/2020 tertanggal 4 Desember 2020 yang ditujukan kepada Ketua DPR perihal Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua dengan melakukan revisi terbatas terhadap Pasal 1 huruf (a), Pasal 34 dan Pasal 76 UU 21/2001 sama sekali belum melalui proses usulan dari rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP.
RUU tersebut, menurut para Pemohon, bukanlah aspirasi rakyat Papua yang disampaikan melalui MRP dan DPRP melainkan usulan Pemerintah secara sepihak tanpa mendengarkan aspirasi Rakyat Provinsi Papua melalui Rapat Dengar Pendapat. Para Pemohon berpendirian, RUU tersebut bertentangan dengan semangat undang-undang otonomi khusus yang memberikan kewenangan khusus kepada rakyat Provinsi Papua untuk mengevaluasi dan mengusulkan perubahan UU Otonomi Khusus secara menyeluruh dengan dilandasi oleh prinsip-prinsip dasar demokrasi, kesetaraan, dan keadilan demi menjamin peningkatan rasa kebangsaan, demokratisasi dan kesejahteraan rakyat Papua.(*)
Penulis : Nano Tresna Arfana
Editor : Lulu Anjarsari P
Humas : Fitri Yuliana
https://youtu.be/5I904g-3zI4