JAKARTA, HUMAS MKRI – Bimbingan Teknis (Bimtek) Legal Drafting Angkatan I pada hari ketiga, Rabu (28/7/2021) mengangkat berbagai materi seputar peraturan perundang-undangan. Kegiatan bimtek secara daring ini terselenggara berkat kerja sama Mahkamah Konstitusi (MK) dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) serta Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN).
Para narasumber yang hadir mengisi acara bimtek yaitu Direktur Fasilitasi Perancangan Peraturan Daerah dan Pembinaan Perancang Peraturan Perundang-undangan, Nuryanti Widyastuti menyampaikan materi “Jenis, Hirarki, Fungsi dan Materi Peraturan Perundang-undangan”. Mengawali pertemuan, Nuryanti menjelaskan pengertian peraturan perundang-undangan.
“Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan,” kata Nuryanti.
Kalau melihat definisi peraturan perundang-undangan, ujar Nuryanti, ada empat poin penting yakni peraturan tertulis, memuat norma hukum yang mengikat secara umum, dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang, serta melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
Adapun fungsi peraturan perundang-undangan, dalam hal ini Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, bertujuan menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam UUD 1945 yang tegas-tegas menyebutnya. Kemudian pengaturan lebih lanjut secara umum aturan dasar dalam pasal-pasal batang tubuh UUD 1945. Termasuk juga pengaturan di bidang hubungan antarlembaga negara maupun hubungan antara warga negara/penduduk.
Nuryanti juga menerangkan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, sesuai dengan Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik meliputi kejelasan tujuan, kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis, hierarki dan materi muatan. Kemudian dapat dilaksanakan, memiliki kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan, dan keterbukaan.
Sedangkan materi muatan peraturan perundang-undangan, ungkap Nuryanti, sesuai Pasal 6 UU Nomor 12 Tahun 2011 mengandung asas pengayoman, kemanusiaan, kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan, bhinneka tunggal ika, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban dan kepastian hukum, dan/atau keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
Selanjutnya sesuai dengan Pasal 7 UU Nomor 12 Tahun 2011, lanjut Nuryanti, jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia dimulai dari yang paling tinggi kedudukannya yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, lalu Ketetapan Majelis Permusyaratan Rakyat, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Legislasi Semu
Narasumber berikutnya Kasubdit Perencanaan dan Penyiapan Konsepsi Rancangan Peraturan Perundang-undangan, Muhammad Waliyadin menyajikan materi “Legislasi Semu”. Diterangkan Waliyadin, legislasi semu merupakan tata aturan oleh organ pemerintahan yang terkait tanpa memiliki dasar ketentuan undang-undang yang secara tegas memberikan kewenangan kepada organ tersebut.
Legislasi semu juga dapat diartikan sebagai kewenangan untuk turut campur menyelenggarakan kepentingan umum. Lantas apa syarat legislasi semu? Pertama, legislasi semua tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
“Syarat berikutnya, legislasi semu dibentuk dalam keadaan mendesak untuk menjalankan tugas umum pemerintahan. Di samping itu, legislasi semu dapat dipertanggungjawabkan secara etika dan moral,” jelas Waliyadin.
Dengan demikian, kata Waliyadin, legislasi semu tampak dari luar seolah-olah tata aturan biasa seperti halnya dengan peraturan perundang-undangan yang dikenal jenis, bentuk dan tata urutannya. Disebut legislasi semu karena menyerupai peraturan perundang-undangan, namun sebenarnya bukan perundang-undangan. Legislasi semu dibuat oleh organ pemerintahan yang bersangkutan, yang berarti legislasi semu dibentuk, diterbitkan atau dibuat oleh badan-badan pemerintahan atau badan tata usaha negara, baik di tingkat pusat maupun daerah, yang menyelenggarakan tugas umum pemerintahan.
Legislasi semu tidak berdasarkan kepada suatu ketentuan perundang-undangan yang secara tegas memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk membentuk atau menerbitkannya. Ini berarti legislasi semu tidak perlu menyebutkan dasar pertimbangan yang secara tegas memerintahkan pembentukan legislasi tersebut. Pemberian kewenangan mengeluarkan legislasi semu merupakan doktrin dalam hukum tata pemerintahan yang menegaskan bahwa suatu organ pemerintahan dibolehkan memiliki kewenangan secara implisit untuk menyusun aturan kebijakan dalam rangka menjalankan tugas umum pemerintahan.
Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan
Pemateri berikutnya, Perancang merangkap Kepala Subdirektorat Harmonisasi Bidang Indagristek, Widyastuti hadir dengan materi “Pengharmonisan Peraturan Perundang-undangan”. Berbicara mengenai pengharmonisan peraturan perundang-undangan, ungkap Widyastuti, termaktub dalam Peraturan Menteri Hukum & HAM Nomor 20 Tahun 2015 Jo. Permenkumham Nomor 40 Tahun 2016 tentang Tata Cara dan Prosedur Pengharmonisasian, Pembulatan, dan Pemantapan Konsepsi Rancangan Peraturan Perundang-undangan.
“Dasar hukum itulah yang menjadi seluruh proses dalam pembentukan peraturan perundang-undangan,” kata Widyastuti.
Namun demikian, sambung Widyastuti, UU No. 12 Tahun 2011 dan peraturan pelaksanaannya tidak secara tegas memberikan pengertian tentang tata cara dan prosedur pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi rancangan peraturan perundang-undangan. Pada UU No. 12 Tahun 2011 baru muncul proses pengharmonisan, siapa yang melakukan prosedurnya ketika RUU disampaikan oleh DPR. Kemudian juga suatu RUU berasal dari kementerian/lembaga sampai ke peraturan daerah.
Ditegaskan Widyastuti, dalam UU No. 12 Tahun 2011 pada Pasal 46 ayat (2) hanya menyebutkan pengharmonisasian RUU DPR dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi. Sedangkan Pasal 47, Pasal 54, Pasal 55 UU a quo menyebutkan pengharmonisasian RUU dari Presiden dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
Pengertian tentang tata cara dan prosedur pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi rancangan peraturan perundang-undangan baru muncul pada Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 20 Tahun 2015 jo. Permenkumham Nomor 40 Tahun 2016.
“Pengharmonisasian, Pembulatan, dan Pemantapan Konsepsi Rancangan Peraturan Perundang-undangan yang selanjutnya disebut dengan Pengharmonisasian Konsepsi Rancangan Peraturan Perundang-undangan adalah proses penyelarasan substansi Rancangan Peraturan Perundang-Undangan dan teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sehingga menjadi Peraturan Perundang-undangan yang merupakan satu kesatuan utuh dalam kerangka sistem hukum nasional,” papar Widyastuti.
Sesi terakhir bimtek ditutup dengan paparan Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan, Roberia yang menyajikan materi “Penyusunan Norma Hukum”. Roberia memberikan penjelasan mengenai tahapan merancang norma. Menurut Roberia, kecermatan dan ketelitian berbahasa sangat diperlukan oleh seorang perancang dalam menyusun suatu rancangan peraturan guna menghindari timbulnya berbagai macam kerancuan, kemaknagandaan, salah penafsiran, dan sebagainya. Kecermatan saat merancang draft awal, melakukan revisi, pemeriksaan silang, konsultasi hingga penghalusan.
Tahap merancang norma mencakup tahap arsitektur rancang bangun yakni tahap pembuatan garis besar rancangan peraturan atau pengelompokan materi, sehingga rancangan tersebut tersusun secara logis dan sistematis, dan secara keseluruhan rancangan peraturan merupakan suatu sistem yang integral antara pasal-pasalnya. Berikutnya, mengetahui spirit dan intend, mencari informasi yang lengkap, memahami kenyataan yang ada dan perubahan yang dikehendaki. Mengupayakan peraturan yang hendak disusun menimbulkan perubahan yang dikehendaki. Termasuk juga peran penelitian dan naskah akademis/kajian.
Tahap merancang norma berikutnya adalah tahap komposisi. Pada tahap ini, ungkap Roberia, penulisan dari bahasa perundang-undangan menuntut tingkat ketepatan yang tinggi dan sejauh mungkin dibebaskan dari unsur emosi perancang. Terakhir, ada tahap konseptual sebagai konsepsi materi muatan, pengolahan, pembahasan substansi atau materi muatan peraturan.
Roberia antara lain juga menyinggung masalah diskresi. Pasal 1 Angka 9 UU No. 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan, diskresi merupakan keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap. Diskresi diartikan juga sebagai kebebasan memutuskan sepanjang tidak melanggar asas legalitas dan asas yuridikitas.
Untuk diketahui, kegiatan Bimbingan Teknis (Bimtek) Legal Drafting Angkatan I ini terselenggara atas kerja sama MK dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) serta Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN). Bimtek berlangsung secara daring selama lima hari, mulai Senin-Jum’at, 26-30 Juli 2021. Adapun peserta bimtek adalah para dosen yang tergabung menjadi pengurus maupun anggota APHTN-HAN dari seluruh Indonesia.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.