JAKARTA, HUMAS MKRI - Hari Kedua Bimbingan Teknis (Bimtek) Legal Drafting Angkatan I bagi para pengajar hukum tata negara dan hukum administrasi negara digelar Mahkamah Konstitusi (MK) secara virtual pada Selasa (27/7/20021). Sejumlah narasumber hadir menyampaikan beragam materi. Hadir Hakim Konstitusi Saldi Isra membawakan materi Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Kemudian Sekretaris Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan, Priyanto dengan materi Politik Hukum dalam Pembentukan Perundang-undangan di Indonesia. Hadir pula I Dewa Gede Palguna dengan materi Penafsiran Konstitusi.
Hakim Konstitusi Saldi Isra di awal pemaparan menuturkan sosok John Marshall sebagai hakim berpengaruh di Amerika Serikat terkait Kasus Marbury vs Madison (1803). Selama Marshall menjadi Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat, lebih dari 1100 putusan yang dibuat. Selama itu pula, tidak ada hakim yang menyampaikan dissenting opinion dalam putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat. Periode saat Marshall menjabat itu dianggap sebagai periode yang mempersatukan berbagai keterbelahan di Amerika Serikat.
Saldi selanjutnya menanggapi hal terkait pengujian undang-undang. Pernahkah kita mulai berpikir bahwa praktik judicial review yang tumbuh di Amerika Serikat muncul dari bagaimana hakim menafsirkan konstitusi. Kalau membaca teks Konstitusi Amerika Serikat, paling tidak sampai kepada putusan Kasus Marbury vs Madison, tidak ada teks dalam Konstitusi Amerika Serikat yang menyebut kewenangan Mahkamah Agung untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, kata Saldi.
Berbeda dengan di Indonesia, sambung Saldi, kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) muncul bukan karena penafsiran hukum. Tapi muncul karena ada pasal di UUD 1945 yang memerintahkan Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD.
Saya berharap agar para peneliti mulai bisa meneliti apakah implikasinya terhadap putusan-putusan judicial review itu sendiri, antara kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap UUD yang timbul karena penafsiran hakim dengan perintah konstitusi untuk menguji undang-undang terhadap UUD, harap Saldi.
Lebih lanjut Saldi menerangkan mengenai lima kewenangan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang dibentuk pada 13 Agustus 2003. Mulai dari kewenangan menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara, memutus pembubaran parpol, memutus perselisihan hasil pemilu, serta wajib memberikan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD.
Mahkota MK
Pada kesempatan ini, Saldi lebih memfokus pada kewenangan menguji undang-undang terhadap UUD. Kewenangan menguji undang-undang terhadap UUD sangat menarik. Karena mahkota dari Mahkamah Konstitusi adalah pengujian undang-undang, tegas Saldi.
Saldi melanjutkan, sesuai Pasal 24C UUD 1945, Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan menguji undang-undang terhadap UUD baik formil maupun materiil. Pengujian formil berkaitan dengan proses pembentukan undang-undang. Pengujian materiil sebagai pengujian undang-undang yang berkenaan dengan substansi, muatan undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Mengenai persidangan MK, ungkap Saldi, yang dapat mengajukan sebagai Pemohon di persidangan adalah perorangan warga negara, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum publik atau privat, serta lembaga negara. Kemudian mengenai pemberian kuasa untuk persidangan MK, Pemohon dan atau Termohon dapat didampingi atau diwakili kuasa hukum. Sedangkan badan hukum publik atau privat bisa didampingi kuasa atau menunjuk kuasa. Kuasa hukum dalam persidangan MK tidak harus advokat. Esensinya agar memberi kemudahan pada access to justice untuk masyarakat yang memang tidak mampu untuk membayar advokat. Selain itu, di MK dikenal adanya pendamping yang mengerti Hukum Acara MK, sepanjang bisa membantu kepentingan-kepentingan prinsipal dengan membuat surat keterangan kepada MK.
Terkait sistematika permohonan, ujar Saldi, terdiri atas identitas Pemohon, Kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum, posita, petitum. Permohonan untuk berperkara ke MK dapat dilakukan secara offline maupun secara online.
Sedangkan tahap persidangan di MK dimulai dari sidang pemeriksaan pendahuluan atau sidang panel yang terdiri dari tiga hakim yakni hakim ketua merangkap anggota serta dua hakim lainnya sebagai anggota. Kewajiban panel hakim adalah memberikan nasihat kepada Pemohon. Setelah itu, ada sidang perbaikan permohonan. Kalau sidang berlanjut, bisa diteruskan ke sidang pleno berupa pembuktian para saksi, ahli, sampai akhirnya ke sidang pengucapan putusan.
Politik Hukum
Narasumber berikutnya adalah Sekretaris Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan, Priyanto dengan materi Politik Hukum dalam Pembentukan Perundang-undangan di Indonesia. Priyanto menjelaskan, bicara politik hukum sebetulnya merupakan kebijakan negara terkait dengan ius constitutum atau hukum positif yang saat ini berlaku di Indonesia. Selain itu, terkait dengan ius constituendum atau hukum yang kita cita-citakan, yang diharapkan untuk masa mendatang.
Oleh karenanya, isi dari politik hukum sebetulnya merupakan pembentukan hukum, pelaksanaan hukum dan penegakan hukum, ucap Priyanto.
Disampaikan Priyanto, isu-isu substantif dalam pembentukan regulasi antara lain mencakup obesitas regulasi dan kebijakan perampingan jenis peraturan perundang-undangan, hierarki peraturan perundang-undangan, jenis peraturan perundang-undangan, kedudukan surat edaran maupun peraturan internal dan SKB, jenis peraturan yang dapat diundangkan dan yang tidak, serta Pancasila sebagai sumber dari segala sumber.
Priyanto mengajak kepada kita semua agar mengimplementasikan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara. Pancasila sebagai landasan filosofis, sosiologis dan yuridis yang dapat dimasukkan dalam naskah akademik atau kajian akademik, bagian, pasal, atau ayat dalam peraturan. Asas-asas pembentukan peraturan dan materi muatan peraturan agar tidak bertentangan dgn nilai-nilai dasar Pancasila secara formal maupun substansial. Di samping itu, ada harmonisasi naskah peraturan menggunakan tolok ukur nilai-nilai dasar Pancasila dan asas-asas hukum perundang-undangan.
Lebih lanjut Priyanto mengatakan, ada tiga landasan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yaitu landasan filosofis yaitu pertimbangan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.
Kemudian landasan sosiologis yaitu pertimbangan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Selain itu, ada landasan yuridis yaitu pertimbangan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Pada Bimtek Legal Drafting ini, Priyanto juga menghadirkan materi Proses Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dia menerangkan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan adalah pembuatan peraturan perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan. Sedangkan peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Sesuai UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, ada sejumlah tahap dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yakni perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, penetapan, pengundangan.
Penafsiran Konstitusi
Pemateri berikutnya, I Dewa Gede Palguna yang pernah menjabat Hakim Konstitusi selama dua periode. Palguna menyajikan materi Penafsiran Konstitusi. Dijelaskan Palguna, pengertian paling umum mengenai penafsiran konstitusi adalah kegiatan yang mencakup pengertian metode atau strategi yang disediakan bagi orang-orang yang berusaha memecahkan perselisihan perihal pengertian atau penerapan konstitusi.
Ini pengertian umum mengenai penafsiran konstitusi. Tapi dari situ, apa yang kita dapatkan bahwa penafsiran konstitusi merupakan salah satu cara untuk mengelaborasi pengertian-pengertian yang terkandung dalam konstitusi, ujar Palguna.
Oleh karena itu, lanjut Palguna, penafsiran konstitusi bukanlah sekadar kegiatan mencocok-cocokkan peristiwa atau suatu hal atau satu keadaan tertentu dengan pasal-pasal atau ketentuan dalam konstitusi. Penafsiran konstitusi lebih dari itu, karena berusaha mengelaborasi pengertian-pengertian yang terkandung dalam konstitusi. Dengan demikian, penafsiran konstitusi merupakan mekanisme untuk mengetahui atau memastikan apakah konstitusi telah benar-benar dilaksanakan dalam praktik sesuai dengan pengertian-pengertian yang terkandung di dalamnya serta tujuan-tujuan yang hendak diwujudkan oleh konstitusi itu.
Sedangkan konstitusi, ungkap Palguna, seperti disebutkan pakar bernama K.C. Wheare, adalah resultante jajaran genjang dari berbagai kekuatan politik, ekonomi, sosial yang bekerja pada saat penerimaan konstitusi itu. Karena itu, konstitusi memiliki nature relatif statis dan tidak mudah untuk diubah. Maka, konstitusi selalu membutuhkan penyempurnaan.
Palguna melanjutkan, di negara-negara yang menganut supremasi konstitusi, kewenangan untuk menafsirkan konstitusi diberikan kepada pengadilan, terlepas dari soal apakah pengadilan itu bersifat tersendiri yaitu Mahkamah Konstitusi atau yang disebut dengan nama lain ataukah pengadilan biasa namun juga memiliki kewenangan sebagai Mahkamah Konstitusi. Dengan kata lain, di negara-negara tersebut berlaku prinsip judicial supremacy dalam penafsiran konstitusi. Artinya, hanya penafsiran yang dilakukan oleh pengadilan yang memiliki kekuatan hukum mengikat dan sifatnya final.
Untuk diketahui, kegiatan Bimbingan Teknis (Bimtek) Legal Drafting Angkatan I ini terselenggara atas kerja sama MK dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) serta Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN). Bimtek berlangsung secara daring selama lima hari, mulai Senin-Jumat, 26-30 Juli 2021. Adapun peserta bimtek adalah para dosen yang tergabung menjadi pengurus maupun anggota APHTN-HAN dari seluruh Indonesia.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.