JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang lanjutan uji materiil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) terhadap Undang-Undang Dasar 1945 kembali digelar pada Senin (26/7/2021) siang. Perkara Nomor 17/PUU-XIX/2021 diajukan oleh Rosiana Simon (Pemohon I) dan Kok An (Pemohon II) yang merupakan pasangan suami istri.
Dalam sidang perbaikan yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul, Afandi Arief Harahap selaku kuasa hukum pemohon menyampaikan pokok perbaikan. Pemohon memperbaiki dalil permohonan dengan menyebutkan Pasal 32 juncto Pasal 48 UU ITE telah merugikan pemohon dikarenakan hanya mengatur norma-norma yang dilarang tanpa menjelaskan setiap unsur yang terkandung di dalamnya.
“Tetapi siapa yang mempunyai hak dan yang tidak berhak. Lalu, apakah melawan hukum dalam pasal tersebut berhubungan dengan kerugian atau tidak. apakah pasal dalam UU tersebut memiliki keiistimewaan atau pembeda dengan pasal lainnya yang unsurnya tidak ada frasa demikian,” papar Afandi.
Lebih lanjut Afandi menjelaskan permohonan Pemohon berbeda dengan putusan MK Nomor 78/PUU-XII/2019 yang diputus pada 29 September 2020. “Kemudian pada poin 10, sebagaimana telah diuraikan di atas pasal dimaksud telah mencederai rasa keadilan mengingat pasal tersebut bersifat multitafsir dan terlebih lagi sanki pidana yang terlalu tinggi dan tidak mencerminkan rasa keadilan,” ujar Afandi.
Sebelumnya, Rosiana Simon (Pemohon I) merupakan karyawan PT. Kadence International yang dilaporkan oleh pihak perusahaan karena menyimpan data hasil kinerja di Google Drive milik pribadi, sedangkan Kok An (Pemohon II) yang merupakan suami Rosiana mengetahui sandi surat elektronik (surel) Pemohon I.
Dalam permohonannya, Pemohon menguji Pasal 32 ayat (1), Pasal 32 ayat (2), Pasal 32 ayat (3), serta Pasal 48 ayat (1), Pasal 48 ayat (2), dan Pasal 48 ayat (3) UU ITE. Pasal-pasal tersebut dinilai memiliki unsur dan multitafsir yang seharusnya diperjelas dalam Undang-Undang atau ketentuan hukum lainnya seperti peraturan pelaksana Undang-Undang. Pemohon mengkhawatirkan bahwa pasal tersebut berpotensi merusak nilai kebenaran dan keadilan bagi semua warga negara. Oleh karena itu, berdasar argumentasi tersebut, para Pemohon meminta MK menyatakan bahwa pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum. (*)
Penulis : Utami Argawati
Editor : Lulu Anjarsari P
Humas : Raisa Ayudhita
https://youtu.be/uECZV72tGMI