JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perbaikan Pengujian Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (UU BPK) yang diajukan oleh eks Presiden Direktur Dana Pensiun Pertamina, Muhammad Helmi Kamal Lubis. Sidang kedua Perkara Nomor 26/PUU-XIX/2021 tersebut digelar pada Senin (26/7/2021) siang secara daring.
Dalam sidang yang pimpin oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra, Virza Roy Hizzal selaku kuasa hukum menyampaikan perbaikan sesuai dengan nasihat hakim pada sidang pendahuluan. Ia mengatakan pihaknua memperbaiki perihal batu uji dalam UUD 1945.
“Batu ujinya agar dimasukkan saja langsung pasal-pasal mana batu uji Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yaitu di sini telah kami telah langsung tulis yang menjadi batu uji Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945,” jelas Virza.
Virza juga memperbaiki pasal yang diuji. Jika semula Pemohon menguji keseluruhan Pasal 6 ayat (1) juncto Pasal 10 ayat (1) UU BPK, maka untuk Pasal 6 ayat (1) UU BPK hanya diuji untuk frasa “lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara”. Sementara untuk Pasal 10 ayat (1) UU BPK, Pemohon menguji frasa “lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara”.
“Pada saat itu Majelis mempertanyakan harus jelas di bagian mana di pasal itu apakah keseluruhannya yang mau diuji? Dan dikhawatirkan kalau keseluruhan diuji malah nanti akan membuat norma hukum yang justru semakin tidak jelas. Maka di bagian perihal kami ini dan juga secara substansi seluruh Permohonan,” jelas Virza.
Baca juga: Eks Presdir DP Pertamina Gugat Kewenangan BPK
Lebih lanjut Virza menambahkan, telah memperbaiki kedudukan hukum dan kerugian yang dialami oleh Pemohon dengan menguraikannya lebih jelas. Dalam argumentasi perbaikan, Pemohon menjelaskan menjadi terpidana korupsi oleh badan negara disebabkan norma hukum atau objek uji materiil tersebut di atas tidak jelas dan tegas.
“Sehingga dapat ditafsirkan secara berbeda oleh badan negara, dalam hal ini Badan Pemeriksa Keuangan. Sudah seharusnya BPK taat terhadap norma-norma hukum yang berlaku agar tidak melampaui kewenangannya melakukan pemeriksaan audit investigatif terhadap BP Pertamina. Sehingga karenanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon dirugikan. Hal ini tentunya bertentangan dengan norma dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menegaskan negara Indonesia adalah negara hukum,” papar Virza.
Pada sidang sebelumnya, Pemohon mendalilkan Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 10 ayat (1) UU BPK tidak jelas dan tidak tegas sehingga dapat ditafsirkan secara berbeda oleh badan negara dalam kasus Pemohon adalah BPK. Hal ini berakibat hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon dirugikan terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. Pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya untuk memperoleh perlindungan, kepastian hukum, dan perlakuan yang sama di hadapan hukum serta merasa dirugikan hak konstitusionalnya sebagai akibat dari tindakan BPK yang melakukan pemeriksaan, meskipun bukan merupakan tugas dan wewenangnya. Menurut Pemohon, pada saat dilakukan pemeriksaan Pemohon bukan merupakan pejabat negara, bukan pegawai BUMN dan bukan mengelola keuangan negara.
Berdasar argumentasi tersebut, Pemohon meminta MK menyatakan bahwa Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 10 ayat (1) UU BPK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum sepanjang tidak dimaknai adanya penyertaan modal pemerintah pusat/daerah secara langsung terhadap BUMN/BUMD, mendapat penugasan secara langsung dari pemerintah untuk mengelola sumber daya alam atau melaksanakan pelayanan umum atau mendapatkan fasilitas dari pemerintah untuk mengelola keuangan negara. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor : Lulu Anjarsari P
Humas: Andhini SF
https://youtu.be/mBAhJh6m1FM