JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) pada Senin (16/7/2021). Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 16/PUU-XIX/2021 ini diajukan oleh Akhid Kurniawan, Dimas Permana Hadi, Heri Darmawan, Subur Makmur. Para Pemohon memberikan kuasa kepada Fadli Ramadhanil dkk.
Pada sidang perbaikan Permohonan, sejumlah permohonan disampaikan tim kuasa hukum para Pemohon. Di antaranya, dalam Kewenangan Mahkamah Konstitusi, Pemohon menambahkan revisi UU MK yang terbaru yaitu UU No. 7 Tahun 2020. Kemudian, para Pemohon menegaskan kembali pasal-pasal dalam konstitusi yang merujuk hak konstitusional para Pemohon yang dilanggar akibat pemberlakuan undang-undang yang diujikan (UU Pemilu).
“Oleh karena itu, menurut kami, para Pemohon memiliki kedudukan hukum dalam mengajukan pengujian UU Pemilu,” kata Fadli Ramadhanil, salah seorang kuasa Pemohon kepada Panel Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Saldi Isra didampingi Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.
Para Pemohon juga kembali menegaskan alasan permohonan terkait beban kerja yang sangat berat, tidak rasional, dan dapat dikatakan tidak layak selaku penyelenggara pemilu. Menurut mereka, ini bukanlah persoalan teknis dan manajemen pemilu belaka, melainkan persoalan konstitusionalitas norma, khususnya format keserentakkan pemilu yang diatur dalam UU Pemilu.
Persoalan konstitusional yang diajukan oleh para Pemohon ke Mahkamah, selain berkaitan langsung dengan kedudukan para Pemohon sebagai penyelenggara Pemilu 2019 dan bertekad pula akan kembali berpartisipasi sebagai penyelenggara pemilu, baik di level KPPS, PPK, PPS pada Pemilu 2024, juga akan berdampak pada kepentingan yang lebih luas, khususnya terkait dengan beban kerja penyelenggara pemilu ad hoc di seluruh wilayah Indonesia untuk penyelenggaraan Pemilu 2024, khususnya KPPS, PPK dan PPS pada tahapan pemungutan, penghitungan dan rekapitulasi suara.
Baca juga:
Penyelenggara Pemilu Persoalkan Beban Kerja Pemilu Serentak
Sebagaimana diketahui, para Pemohon melakukan pengujian Pasal 167 ayat (3), dan Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu. Pasal 167 ayat (3) UU Pemilu berbunyi, “Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak pada hari libur atau hari yang diliburkan secara nasional”. Sedangkan Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu berbunyi, “Pemungutan suara Pemilu diselenggarakan secara serentak.”
Para Pemohon adalah warga negara Indonesia yang pada Pemilu 2019 bertugas sebagai penyelenggara pemilu di tingkat Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), dan Panitia Pemungutan Suara (PPS). Akhid Kurniawan adalah KPPS di TPS No. 024, Kelurahan Wirokerten, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta. Dimas Permana Hadi adalah PPK di Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Slemen, DI Yogyakarta. Heri Darmawan adalah PPK di Kecamatan Sukmajaya, Kota Depok, Jawa Barat. Kemudian Subur Makmur adalah PPS di Kelurahan Abadijaya, Kecamatan Sukmajaya, Kota Depok, Jawa Barat.
Dalam persidangan pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Rabu (9/6/2021), Kahfi Adlan Hafiz selaku kuasa hukum Pemohon memaparkan beban kerja para Pemohon sebagai penyelenggara pemilu di tingkat KPPS, PPK, PPS pada Pemilu 2019. Kahfi mengungkapkan, terdapat persoalan yang sangat penting dan mendasar terkait beban kerja penyelenggara pemilu.
“Beban kerja penyelenggara pemilu, khususnya penyelenggara di tingkat KPPS, PPK, dan PPS yang menurut para Pemohon sangat berat, tidak rasional, dan tidak layak,” kata Kahfi.
Beban yang sangat berat dan tidak rasional tersebut, jelas Kahfi, disebabkan oleh penyelenggaraan pemilu yang dilaksanakan secara serentak dalam format lima jenis surat suara dalam waktu yang bersamaan yakni Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Berdasarkan pengalaman Akhid Kurniawan (Pemohon I), lanjut Kahfi, tugas KPPS dalam penyelenggaraan pemilu, tidak hanya dilaksanakan pada hari H pemungutan suara saja. Petugas KPPS, sudah mulai bertugas paling tidak sejak H-3 sebelum hari pemungutan suara. Pekerjaan dan aktifitas yang dilakukan mulai dari proses penerirnaan dan pengamanan logisitik pemilu, dan membangun lokasi TPS. Pada hari berikutnya, langsung secara berturut-turut menyelenggarakan pemungutan dan penghitungan suara untuk lima jenis surat suara sekaligus.
Persoalan konstitusional yang diajukan oleh para Pemohon ke Mahkamah, berkaitan langsung dengan kedudukan para Pemohon sebagai penyelenggara Pemilu 2019. Kendati demikian, Para Pemohon bertekad akan kembali berpartisipasi sebagai penyelenggara pemilu di baik di level KPPS, PPK, PPS pada Pemilu 2024. Persoalan konstitusionalitas ini juga akan berdampak pada kepentingan yang lebih luas, khususnya terkait dengan beban kerja penyelenggara pemilu ad hoc di seluruh wilayah Indonesia untuk penyelenggaraan Pemilu 2024, khususnya KPPS, PPK dan PPS pada tahapan pemungutan, penghitungan dan rekapitulasi suara, yang punya kaitan langsung agar penyelenggaraan pemilu bisa berjalan sesuai dengan daulat rakyat, pemilu yang jujur, adil, serta beban kerja penyelenggara pemilu yang lebih rasional, layak, dan manusiawi.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Humas: Tiara Agustina.
Editor: Nur R.
https://youtu.be/YZoFzc6ASZw