JAKARTA, HUMAS MKRI - Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman menjadi narasumber dalam kegiatan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) Angkatan Ke-XV kerja sama antara DPC Peradi Jakarta Barat dengan Fakultas Hukum (FH) Universitas Bhayangkara Jakarta Raya (UBHARA JAYA) pada Minggu (25/7/2021) siang.
Mengawali materinya, Anwar mengatakan bahwa advokat memiliki kewenangan yang lebih tinggi, luas, dan mendalam. Ia mengatakan bahwa hal tersebut merupakan kesempatan untuk beribadah.
“Saya sering mengatakan ketika seorang melaksanakan profesinya sebagai apapun dengan niat beribadah maka pahala akan mengalir terus. Begitu juga sebaliknya misalnya seorang advokat malah menyembunyikan sebuah fakta maka yang diperoleh adalah dosa sama halnya dengan hakim, “ ujar Anwar di hadapan 40 orang peserta PKPA secara daring.
Pada kesempatan itu, Anwar menjelaskan tentang Hukum Acara MK. Dikatakan Anwar, dahulu para pendiri negeri ini menghendaki balai agung (istilah yang dulu diusulkan oleh pembentuk Undang-Undang Dasar). Balai agung yang sekarang MA diusulkan supaya mempunyai kewenangan untuk menguji UU. Tetapi Soepomo menolak dengan alasan UUD yang disusun tidak menganut trias politica dan belum banyak sarjana hukum yang memiliki pengalaman.
“Para sarjana hukum belum banyak pada saat itu dan hakim tidak didesain untuk menguji undang-undang. Sehingga permintaan untuk membentuk sebuah lembaga penguji undang-undang batal. Nah kalau saja dulu misalnya usulan untuk MA mempunyai kewenangan untuk menguji UU terhadap UUD maka MK tidak lagi dibutuhkan karena sudah menjadi tugas dan kewenangan MA,” ujar Anwar.
Sebelum adanya perubahan, sambung Anwar, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang. Susunan dan kekuasaan badan kehakiman itu diatur dengan undang-undang. Namun setelah adanya perubahan, kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Sedangkan badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.
Menurut Anwar, MK lahir setelah adanya amendemen ketika reformasi terjadi tuntutan perubahan UUD 1945 termasuk di dalamnya Pasal 24. Ketika MK lahir, MK berwenang untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. “Dari sinilah lahirnya putusan MK bersifat final dan oleh pasal 29 ayat 1 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman,” jelas Anwar.
Lebih lanjut Anwar mengatakan, dalam Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu.
Sementara pada Pasal 24C Ayat (2) UUD 1945, sambung Anwar, MK wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD. Ia menambahkan MK memiliki kewenangan tambahan pada pasal 157 (3) UU 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah yakni MK menyelesaikan perselisihan Pilkada sampai dibentuknya badan peradilan khusus.
Selain itu, Anwar menyampaikan bahwa permohonan pengujian UU meliputi pengujian formil dan/atau pengujian materiil. Pengujian materiil adalah pengujian UU yang berkenaan dengan materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian UU yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Sedangkan pengujian formil adalah pengujian UU yang berkenaan dengan proses pembentukan UU dan hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil sebagaimana dimaksud pada ayat (2).(*)
Penulis : Utami Argawati
Editor : Lulu Anjarsari P
https://youtu.be/QtWz2GJw3UU