JAKARTA, HUMAS MKRI - Ketika mengkaji tentang etika, moral, dan hak asasi maka terkandung semangat zaman yang di dalamnya terdapat kajian utama berupa hak asasi manusia. Sebab secara sederhana, moral adalah standar norma dan etika adalah standar perilaku. Sehingga jika berbicara hal tersebut maka tidak terlepas dari pembahasan mengenai hak asasi manusia itu sendiri. Demikian paparan awal materi oleh Wakil Ketua MK Aswanto dalam webinar yang diselenggarakan Universitas Sam Ratulangi Manado pada Jumat (23/7/2021).
Melalui presentasi berjudul “Etika, Moral, dan Hak Asasi Manusia,” Aswanto mengajak para peserta webinar untuk mengkaji satu demi satu mengenai dasar pengertian dari moral, etika, hak dasar, dan hak asasi secara lebih komprehensif. Menurut Aswanto, etika memberikan penilaian buruk dan baik yang ditentukan oleh moral sehingga moral adalah penentu baik dan tidak baiknya sesuatu. Kedua hal ini, sambung Aswanto, yang kemudian akan menjadi pisau dalam mengkaji norma terhadap hak asasi manusia.
Lebih lanjut Aswanto mengatakan bahwa HAM dari perspektif etika dan moral dapat dibedakan menjadi dua, yakni adanya hak asasi dan hak dasar. Hak asasi dalam lingkup kajian etika dan moral adalah hak yang bersumber dari Tuhan Yang Mahakuasa. Dengan demikian, hak asasi akan melekat pada seseorang sejak ia dilahirkan ke dunia. Sementara itu, hak dasar adalah hak yang diperoleh karena menjadi warga negara dari suatu negara. Dari perpektif etika dan moral, hak-hak ini harus diberikan negara secara baik dan benar dengan tetap menghargai prinsip hak warga sebagai manusia. Oleh karena itu, hak dasar termuat dalam konstitusi yang dijadikan pedoman dalam menentukan hak konstitusional warga negara.
Mengenai hak dasar ini, Aswanto menjelaskan bahwa sifat dari hak dasar adalah domestik. Sebagai ilustrasi, Aswanto memberikan jabaran hak dasar yang termuat dalam konstitusi di Indonesia, mulai dari UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, UUDS 1950, hingga kembali ke UUD 1945. Pada konstitusi tersebut termuat pula hak dasar dan hak asasi sebagaimana tertulis pada Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J UUD 1945 yang telah diamendemen. Untuk mengawal jalannya hak-hak ini, Pemerintah harus mengawal tegaknya moral yang dijamin dalam konstitusi tersebut. “Untuk memastikan hak dasar tersebut berjalan dengan baik, maka Pemerintah-lah untuk mengaturnya,” tegas Aswanto.
Berikutnya, Aswanto membahas lebih luas mengenai hak asasi manusia di Indonesia yang terbagi menjadi empat bagian, yakni hak sipil, hak politik, hak sosial-ekonomi, dan hak budaya. Berkaitan dengan hak asasi-hak asasi ini dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terdapat unsur kebutuhan rakyat yang harus diakomodasi oleh negara. Seperti pada saat terjadinya pandemi Covid-19 saat ini, Aswanto bercerita bahwa kehadiran negara terlihat dari APBN yang dialokasikan Pemerintah dalam penanggulangan pandemi. Peran negara hadir secara konkret untuk membiayai kebutuhan warga dalam menanggulangi masalah ini.
“Sehingga dalam pelaksanaan hak-hak ini, apakah nilainya benar atau salah, tepat atau tidak, itu adalah ranah pertanyaan etika semua. Jika jawabnya tidak atau belum, maka nilai moral HAM tersebut belum terlaksana di Indonesia,” terang Aswanto yang memaparkan materi secara virtual dari kediaman hakim di Jakarta.
Pelanggaran Hak Asasi
Terkait dengan hak asasi, Aswanto mencermati adanya kekeliruan di masyarakat dalam memahami makna dari pelanggarannya. Menurutnya, ada norma tertentu yang dapat digunakan untuk menentukan suatu hal tergolong dalam pelanggaran HAM, yakni pelanggaran karena tindakan, pelanggaran karena pembiaran, dan pelanggaran karena legislatif.
Dalam pelanggaran karena tindakan, Aswanto menganalogikan dengan peristiwa demonstrasi. Menurutnya, untuk menangani demonstrasi ada norma dan moral yang menjadi dasar dan digunakan secara bertahap. Jika demonstrasi bersifat agresi kata-kata, moral yang digunakan adalah dialog. Kemudian, jika demonstrasi meningkat menjadi agresi fisik, maka etika yang dilakukan pun berbeda dengan tetap menerapkan cara-cara yang baik. Dan jika agresi meningkat dengan adanya penggunaan alat dan berbahaya, maka etika penanganannya dapat dilakukan tindakan berupa pengamanan berupa penembakan yang disesuaikan pula dengan kategori-kategori tertentu.
Kemudian untuk pelanggaran yang tergolong karena pembiaran, Aswanto mencontohkan tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah dalam menanggulangi wabah di suatu negara atau wilayah. Menurutnya, jika Pemerintah berdiam diri ketika terjadi suatu masalah kesehatan di negara atau wilayahnya, maka Pemerintah dapat digolongkan telah melakukan pelanggaran hak asasi. Namun, pada kenyataan yang terlihat saat ini di Indonesia, sambung Aswanto, Pemerintah dengan segala upaya kurang dan lebihnya telah bertindak semaksimal yang bisa dilakukan untuk memenuhi kebutuhan rakyat. “Kita dapat melihat Pemerintah dalam hal ini memfokuskan anggaran untuk menanggulangi masalah ini. Artinya, Pemerintah tidak membiarkan persoalan ini terjadi dengan begitu saja. Negara berupaya hadir untuk mengakomodasi kebutuhan warga negaranya,” terang Aswanto.
Terakhir adalah pelanggaran karena legislatif atau legislative violence. Hal ini terjadi karena pembuat undang-undang membuat aturan yang tidak baik. Dengan kata lain, moral dari undang-undang tersebut tidak bagus sehingga pelanggaran bukan hanya karena etika, tetapi dasar moralnya pun telah dibuat keliru. Dalam hal ini, Aswanto melihat peran Pemerintah dan legislatif sangat menentukan terjadi atau tidak terjadinya suatu pelanggaran jenis ini.
“Untuk itu, salah satu peran keberadan Mahkamah Konstitusi tidak lain menguji undang-undang terhadap UUD 1945 yang telah diformulasikan oleh pembuat undang-undnag guna mengatur negara dan warga negaranya,” sampai Aswanto dalam forum webinar yang juga dihadiri oleh pemateri lainnya seperti Kepala Perwakilan BPKP Provinsi Sulawesi Utara Setya Nugraha dengan paparan materi berjudul “Sosialisasi Zona Integritas” dan Plt. Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Maxi R. Rondonuwu dengan ulasan diskusi berjudul “Pandemi Virus Covid-19 sebagai Peluang Reformasi Sistem Kesehatan Nasional.” (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor : Lulu Anjarsari P
https://youtu.be/DDoqlBxBRfA