JAKARTA, HUMAS MKRI – Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman menjadi keynote speaker dalam Webinar Nasional Single Bar System: Solusi Organisasi Advokat Indonesia (Suatu Telaah Yuridis Akademis) pada Kamis (22/7/2021) siang. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (UKI) bekerja sama dengan DPC Peradi Jakarta Timur.
Anwar mengatakan bahwa diskursus mengenai wacana terkait organisasi yang mewadahi profesi advokat, baik single bar atau multi bar system secara terus menerus menjadi wacana dalam lintasan perjalanan sejarah profesi advokat dari sebelum maupun sesudah diberlakukan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat).
“Pada satu sisi, ada yang memandang bahwa Undang-Undang Advokat menganut sistem organisasi tunggal atau single bar system, yang kemudian direpesentasikan melalui pembentukan Peradi pada 2005. Kalangan ini berpegang pada aspek historisitas dan sistematika norma dalam UU Advokat, yang menurut mereka harus dipahami sebagai satu kesatuan proses yang terintegrasi, simultan dan tidak terputus. Singkatnya, pembentukan Peradi pada pokoknya merupakan pelaksanaan amanat Undang-Undang Advokat, ujar Anwar.
Namun, sambung Anwar, pada sisi lain beberapa kalangan menginginkan agar advokat diwadahi lebih dari satu organisasi atau multi bar system. “Pertanyaan umum yang diajukan oleh kalangan ini, kalaulah Peradi merupakan satu-satunya wadah organisasi advokat, lalu di ketentuan mana, atau pasal berapa dalam Undang-Undang Advokat yang memuat secara eksplisit mengenai Peradi? Sehingga sampai saat ini, sesungguhnya organisasi tunggal advokat belum terbentuk. Belum lagi menurut kalangan ini, Peradi sendiri, keberadaannya lebih dari satu organisasi,
ucap Anwar.
Penyelesaian Melalui Judicial Review
Anwar melanjutkan, adanya perbedaan pendapat mengenai organisasi yang mewadahi profesi advokat telah diupayakan sedemikian rupa penyelesaiannya, antara lain melalui pengujian undang-undang (judicial review) di MK. Bahkan pengujiannya telah berulang kali dilakukan. Sampai saat ini, tidak kurang dari 22 kali UU Advokat diuji di MK. Dari jumlah tersebut, terdapat beberapa putusan yang terkait langsung dengan konstitusionalitas frasa organisasi advokat yaitu Putusan Nomor 014/PUU-IV/2006, Putusan Nomor 101/PUU-VII/2009, Putusan Nomor 66/PUU-VIII/2010, Putusan Nomor 112/PUU-XII/2014, Putusan Nomor 36/PUU-XIII/2015, Putusan Nomor 35/PUU-XVII/2018.
“Melalui ceramah kunci ini, saya ingin menyampaikan beberapa hal pokok dengan berjejak pada hal-hal yang telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi. Sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Advokat, jelas Anwar.
Paling tidak, kata Anwar, melalui Putusan Nomor 014/PUU-IV/2006, MK antara lain menegaskan dalam pertimbangan hukumnya bahwa Peradi yang merupakan singkatan (akronim) dari Perhimpunan Advokat Indonesia, sebagai organisasi advokat yang merupakan satu-satunya wadah profesi advokat menurut UU Advokat.
Di samping itu, ungkap Anwar, melalui Putusan Nomor 66/PUU-VIII/2010, Peradi sebagai organisasi tunggal advokat menurut UU Advokat, memiliki wewenang sebagaimana ditentukan dalam UU Advokat untuk melaksanakan pendidikan khusus profesi advokat, melaksanakan pengujian calon advokat, melaksanakan pengangkatan advokat, membuat kode etik, membentuk dewan kehormatan, membentuk komisi pengawas, melakukan pengawasan, memberhentikan advokat. Melalui Putusan Nomor 66/PUU-VIII/2010, MK juga telah mempertimbangankan bahwa organisasi-organisasi advokat lain yang secara de facto saat ini ada, tidak dapat dilarang keberadaannya. Konstitusi menjamin kebebasan berserikat dan berkumpul, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, dan Pasal 28E Ayat (3), UUD 1945.
Berkaitan dengan penyumpahan advokat oleh pengadilan tinggi tanpa mengaitkan dengan keanggotaan organisasi advokat yang saat ini secara de facto ada, Anwar menegaskan tidak serta merta membenarkan bahwa organisasi di luar Peradi dapat menjalankan delapan kewenangan sebagaimana ditentukan dalam UU Advokat. Tetapi semata-mata dengan pertimbangan tidak diperbolehkannya menghambat hak konstitusional setiap orang, termasuk organisasi advokat lain yang secara de facto ada. Sebagaimana dimaksud Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 yaitu hak untuk bekerja, serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak, dalam hubungan kerja.
Sehubungan dengan keinginan dari sebagian advokat yang menghendaki bentuk organisasi advokat tetap bersifat organisasi tunggal (single bar), atau akan dilakukan perubahan menjadi bentuk organisasi multi organ (multibar), Anwar mengatakan hal tersebut telah ditegaskan dalam Putusan Nomor 112/PUU-XII/2014 dan Putusan Nomor 36/PUU-XIII/2015. Melalui kedua putusan tersebut, Mahkamah berpendirian bahwa mengenai single bar atau multi bar system, pada prinsipnya merupakan bagian dari kebijakan hukum yang menjadi kewenangan pembentuk undang-undang untuk menentukan sesuai dengan kebutuhan organisasi advokat di Indonesia.
Dua Hal Utama
Dari hal-hal pokok di atas, Anwar mengemukakan dua hal utama yaitu pertama, merujuk pada sifat final putusan MK, maka perdebatan mengenai konstitusionalitas organisasi advokat sebagaimana dimaksud dalam UU Advokat, pada dasarnya dan seharusnya dipandang telah selesai. Tetapi faktanya, ujar Anwar, sampai saat ini rekan-rekan advokat belum mampu mewujudkan amanat UU tentang Organisasi Advokat dimaksud. Padahal dalam Putusan Nomor 101/PUU-VII/2009, MK juga telah mempertimbangkan sebagai berikut: Pasal 28 ayat (1) UU Advokat juga mengamanatkan adanya organisasi advokat yang merupakan satu-satunya wadah profesi advokat, sehingga para advokat dan organisasi-organisasi advokat saat ini secara de facto ada yaitu Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) dan Kongres Advokat Indonesia (KAI), yang harus mengupayakan terwujudnya organisasi advokat sebagaimana dimaksud pasal 28 ayat (1) UU Advokat.
Kedua, lanjut Anwar, hal yang tidak kalah pentingnya dan untuk dipahami bersama, bahwa penegasan MK terhadap persoalan konstitusionalitas organisasi advokat, melalui beberapa pertimbangan dalam putusannya, sejatinya tidak dapat dilepaskan dari keinginan kuat untuk membangun marwah advokat sebagai profesi yang mulia (officium nobile). Hal tersebut hanya dapat diwujudkan dengan memberikan penguatan integritas, kompetensi, dan profesionalitas, di samping untuk memberikan perlindungan hukum terhadap para pencari keadilan (justiciabelen) yang menggunakan advokat sebagai kuasa hukumnya.
Akhirnya, seiring dengan keberadaan Putusan MK, Anwar mengingatkan bahwa putusan tersebut merupakan produk hukum yang bersifat final dan mengikat. Melalui putusan tersebut, MK, telah menetapkan dan menggariskan rambu-rambu konstitusional mengenai organisasi advokat yang dimaksud dalam UU Advokat.
“Sebagai produk final, Putusan Mahkamah Konstitusi wajib ditaati dan dijalankan oleh seluruh pihak atau lembaga, termasuk para advokat yang menjadi adressat utama putusan dimaksud. Namun demikian, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah dijelaskan di muka, single bar atau multi bar system yang dipakai merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang menjadi kewenangan pembentuk undang-undang. Dalam hal ini Presiden dan DPR yang tentu saja disesuaikan dengan kebutuhan para advokat, tandas Anwar.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.
https://youtu.be/nhv902schJM