JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) melaksanakan sidang perdana pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) pada Kamis (22/7/2021). Dalam sidang perkara Nomor 30/PUU-XIX/2021 ini, Moch. Ojat Sudrajat S. (Pemohon) mengujikan ketentuan Pasal 176 angka 6 UU Ciptaker yang mengubah pasal 53 ayat (5) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Menurut Pemohon pasal tersebut dinilai bertentangan dengan ketentuan Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.
Pasal 176 angka 6 UU Ciptaker berbunyi, “Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk penetapan Keputusan dan/atau Tundakan yang dianggap dikabulkan secara hukum sebagaimana yang dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Presiden.”
Menurut Pemohon yang menyebut dirinya sebagai penggiat informasi publik di Provinsi Banten, norma tersebut telah merugikan para pencari keadilan. Pasalnya dalam perkara konkret, Pemohon mengajukan Permohonan Fiktif Positif atas sikap diam Gubernur Banten (selaku Termohon) yang tidak menindaklanjuti Surat Permohonan Nomor 023/PRI-KI/II/2021 Tanggal 15 Februari 2021 Perihal Permohonan Untuk Memberhentikan Sementara Komisioner Komisi Informasi Provinsi Banten Periode 2012–2023.
Berpedoman pada Pasal 53 ayat (4) dan ayat (5) UU Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, disebutkan adanya jaminan bagi warga negara dalam memperoleh putusan Permohonan Fiktif Positif paling lama 21 hari kerja sejak permohonan diajukan oleh Pemohon. Sehingga, permohonan yang telah memenuhi ketentuan norma tersebut seharusnya dianggap dikabulkan secara hukum. Namun pada akhirnya Majelis Hakim PTUN Serang atas Perkara Nomor 2/P/FP/2021/PN.Srg Tanggal 9 Juni 2021 dalam Amar Putusannya menyatakan “Permohonan Pemohon Tidak Dapat Diterima”.
“Dengan adanya ketentuan Pasal 176 angka 6 UU Ciptaker yang mengubah Pasal 53 ayat (5) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan ini berakibat pada Pengadilan Tata Usaha Negara tidak lagi memiliki kewenangan untuk memutus permohonan Fiktif Positif sebagaimana yang diajukan oleh Pemohon,” sebut Ojat dalam sidang yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Aswanto dengan Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Enny Nurbaningsih sebagai dua hakim anggota Sidang Panel MK.
Oleh sebab itu, Pemohon dalam Petitum memohonkan agar Mahkamah menyatakan Pasal 176 angka 6 UU Ciptaker yang mengubah pasal 53 ayat (5) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Kerugian Konstitusional
Hakim Konstitusi Arief Hidayat dalam nasihat Majelis Hakim Panel mengatakan permohonan Pemohon inkonsistensi. Sebab, pada bagian awal permohonan, disebutkan Pasal 53 ayat (5) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Akan tetapi, pada bagian alasan permohonan justru menguraikan bunyi pasal lainnya.
Selain itu, Arief juga mengatakan Pemohon perlu menjelaskan pasal yang diujikan benar-benar merugikan Pemohon sehingga memiliki legal standing atas perkara yang dimohonkan ini. Pemohon diharapkan dapat mempelajari subjek hukum dan kerugian hak konstitusional yang dirugikan karena berlakunya suatu undang-undang. Dengan demikian, legal standing Pemohon dapat terlihat jelas sebagai perorangan yang dirugikan haknya atas berlakunya suatu norma.
Berikutnya Hakim Konstitusi Enny menyampaikan nasihat perbaikan permohonan, mulai dari persoalan sistematika permohonan yang dapat dilihat dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) terbaru. Sehingga, Pemohon dapat memperoleh pedoman dalam menyususn permohonan yang sesuai dengan sistematika permohonan di MK serta menuliskan Petitum yang jelas. Kemudian, Enny juga meminta agar Pemohon dapat menguraikan hak-hak yang ada dalam UUD 1945 yang berpotensi terlanggar atas adanya norma yang diujikan pada persidangan hari ini.
“Mohon dijelaskan kerugian hak konstitusionalitas yang dimunculkan dengan melakukan elaborasi sedemikian rupa,” kata Enny dari Ruang Sidang Panel MK.
Sementara itu, Wakil Ketua MK Aswanto memberikan catatan mengenai hak konstitusional Pemohon yang terabaikan oleh adanya pasal a quo. Pemohon perlu menjelaskan lebih komprehensif dan jelas sehubungan dengan hal tersebut.
“Maka Pemohon dapat meyakinkan Mahkamah kalau hal ini bukan kasus konkret, tetapi benar ada persoalan konstitusional,” jelas Aswanto kepada Pemohon yang menghadiri persidangan secara virtual dari kediamannya tanpa didampingi oleh kuasa hukum.
Sebelum mengakhiri persidangan, Wakil Ketua MK Aswanto mengatakan bahwa Pemohon diberikan waktu selama 14 hari sejak sidang pada hari ini untuk menyempurnakan permohonan. Untuk itu, permohonan perbaikan Pemohon tersebut dapat diserahkan selambat-lambatnya pada Rabu, 4 Agustus 2021 ke Kepaniteraan MK.
Penulis : Sri Pujianti
Humas: Raisa Ayuditha
Editor: Nur R.
https://youtu.be/SeW3derdS4s