JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pertama pengujian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (UU Tipikor) pada Kamis (22/7/2021). Sidang perkara yang teregistrasi dengan Nomor 29/PUU-XIX/2021 ini dimohonkan oleh mantan Ketua Umum Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Patrice Rio Capella. Pemohon merasa hak konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya aturan mengenai sanksi pidana suap sebagaimana tercantum dalam Pasal 11 UU Tipikor. Menurut Pemohon, Pasal 11 UU Tipikor bertentangan dengan Pasal 28 ayat (1) UUD 1945.
Pasal 11 UU Tipikor berbunyi, ”Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyakRp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.”
Pemohon yang juga merupakan mantan Wakil Ketua DPRD Provinsi Bengkulu Periode 2004 – 2009 dan mantan Anggota Komisi III DPR RI Periode 2014 – 2019 ini menceritakan bahwa, pada 2015 silam pernah diadili atas dugaan melakukan tindak pidana korupsi. Dirinya saat menjabat sebagai Anggota DPR RI dianggap telah menerima hadiah atau janji uang tunai senilai 200 juta rupiah. Pasalnya, hadiah tersebut diberikan Gatot Pujo Nugroho dan Evy Susanti kepada Pemohon sebagai ucapan terima kasih karena telah membantu penyatukan kembali atau islah antara Gatot Pujo Nugroho dengan Tengku Ery Nurasi.
Perlu diketahui, pada saat hadiah tersebut diberikan Pemohon memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap mitra kerja seperti Kejaksaan Agung RI dan sebagai Sekretaris Jenderal Partai Nasdem dirinya berperan untuk dapat memudahkan pengurusan penghentian penyelidikan perkara dugaan korupsi Dana Bantuan Sosial, Bantuan Daerah Bawahan, Bantuan Operasional Sekolah, tunggakan Dana Bagi Hasil, dan Penyertaan Modal pada sejumlah BUMN pada Pemerintah Provinsi Sumatera Utara yang ditangani oleh Kejaksaan Agung RI. Sehingga atas temuan ini, dirinya dinyatakan bersalah oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam perkara Nomor 144/Pid.Sus/TPK/2015/PN.Jkt.Pst dengan pertimbangan telah memenuhi unsur tindak pidana korupsi berdasarkan pikiran Gatot Pujo Nugroho dan Evy Susanti.
Atas kejadian ini, Pemohon berpendapat aturan yang ada pada norma tersebut merupakan suatu ketentuan yang ambigu, cenderung bersifat subjektif, dan bertentangan dengan sifat-sifat dasar dalam hukum pidana. Menurutnya, dalam hukum pidana seseorang dapat dihukum/dipidana akibat perbuatannya yang salah dan melanggar hukum. Dengan demikian, seseorang tidak dapat dihukum/dipidana atas apa yang ia pikirkan (cogitationis poenam nemo patitur). Berdasarkan hal tersebut, Pemohon menilai seseorang tidak boleh dihukum atas apa yang ia pikirkan, apalagi dihukum atas pikiran yang asalnya dari orang lain.
“Dalam Pasal 11 UU a quo terdapat unsur pidana yang salah satunya, yaitu unsur “yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya”. Bahwa menurut Pemohon unsur tersebut tidak memberikan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil,” ucap Mariawastu Pinandito selaku salah satu kuasa hukum dari Pemohon yang membacakan ringkasan permohonan di hadapan sidang yang dipimpin Wakil Ketua MK Aswanto dengan didampingi Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul dan Enny Nurbaningsih.
Dengan demikian, Pemohon memohonkan dalam Petitum agar Mahkamah menyatakan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana khususnya frasa “yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya” bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Sistematika Permohonan
Terkait permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul memberikan nasihat bagi Pemohon untuk menyempurnakan sistematika permohonan, mulai dari pasal-pasal yang memuat kewenangan Mahkamah dalam mengadili perkara a quo, memeriksa kembali perkara sejenis yang diujikan ke MK, kedudukan hukum Pemohon yang belum adanya uraian mengenai pihak yang berhak mengajukan permohonan, hingga bunyi Petitum yang belum tepat untuk diajukan dalam perkara a quo.
“Tolong dipelajari putusan-putusan sebelumnya pernah diajukan sehingga apa yang harus dimuat dalam suatu permohonan itu ada keyakinan bagi Pemohon dalam mengajukannya ke MK,” nasihat Manahan kepada Pemohon yang diwakili oleh para kuasa hukum dalam sidang yang dihadiri para pihak secara virtual.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Enny memberikan catatan perbaikan atas permohonan Pemohon berupa perlu bagi Pemohon untuk menguraikan hak konstitusionalnya secara lebih rinci. Selain itu, Pemohon juga diminta untuk menjabarkan mengenai keterkaitan dan pertentangan antara norma yang diujikan dengan ketentuan yang ada pada UUD 1945. “Perlu ditambahkan dan dielaborasi terkait pertentangan frasa dalam norma tersebut dengan pasal yang ada pada UUD 1945,” terang Enny.
Pada kesempatan terakhir, Wakil Ketua MK Aswanto menyatakan agar Pemohon memperbaiki Petitum yang di dalamnya tidak diperlukan lagi pernyataan mengenai pokok perkara. Sehingga bunyi dari Petitum tersebut langsung menyasar pada permintaan yang diinginkan Pemohon terhadap Putusan Majelis Hakim terhadap norma yang diujikan tersebut.
Selain itu, Aswanto juga mencermati belum sempurnanya uraian kerugian konstitusional yang dialami Pemohon apabila permohonan dikabulkan oleh Mahkamah. “Sehingga dasar pengujian bukan hanya menempel pada pasal 28D ayat (1) UUD 1945, tetapi harus ada alasan konstitusional yang Saudara elaborasi sehingga terlihat dalam Petitumnya,” jelas Aswanto.
Sebelum menutup persidangan, Aswanto mengingatkan agar Pemohon menyempurnakan permohonan selama 14 hari sejak sidang pertama ini. Sementara itu, Pemohon dapat menyerahkan perbaikan tersebut selambat-lambatnya pada Rabu, 4 Agustus 2021 ke Kepaniteraan MK. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor : Lulu Anjarsari P
Humas : Andhini SF
https://youtu.be/Ehf7BpJvFKs