JAKARTA, HUMAS MKRI - Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh manjadi narasumber dalam Musyawarah Pelayanan (Muspel) Kaum Bapak Sinode GMIT, SoE, Nusa Tenggara Timur, pada Jumat (16/7/2021) pagi secara virtual. Dalam kegiatan tersebut, Daniel menyampaikan materi mengenai “Mahkamah Konstitusi dan Perlindungan HAM di Indonesia” .
Memulai pembicaraan, Daniel mengatakan kewenangan MK diatur dalam Pasal 24C Ayat (1) dan (2) UUD 1945 serta Pasal 10 ayat (1) dan (2) UU MK. Adapun kewenangan MK yakni menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum dan wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Namun dalam perkembangannya, lanjut Daniel, selain kewenangan original yang diatur dalam UUD 1945, MK juga memiliki 2 (dua) kewenangan tambahan yakni MK menguji peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) dan mengadili sengketa hasil pilkada sampai dibentuknya badan peradilan khusus. “Jadi, ini ada kewenangan tambahan yang dimiliki oleh MK,“ ujar Daniel di hadapan para peserta dan pemateri dari Kementerian Hukum dan HAM.
Kemudian jika dilihat dari fungsinya, Daniel menyebut MK memiliki 6 fungsi yaitu sebagai the guardian of the constitution, the final interpreter of the constitution, The guardian of democracy, the protector of citizen’s constitutional rights, the protector of human rights dan the guardian of state ideology.
Berbicara tentang hak asasi manusia (HAM), sambung Daniel, terdapat perbedaan antara hak konstitusional (constitutional rights) dan hak hukum (legal rights). Hak konstitusional merupakan seperangkat hak yang dijamin di dalam dan oleh Konstitusi. Dalam konteks Indonesia, hal ini termuat dalam Pasal 28A – Pasal 28J UUD 1945.
Sementara hak hukum timbul berdasarkan jaminan undang-undang dan peraturan perundang-undangan di bawahnya (subordinate legislations). Contohnya adalah, masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Ketentuan mengenai hal ini tertuang dalam Pasal 96 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 jo UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Selain itu, terdapat pula istilah hak warga negara (citizen’s rights) dan hak penduduk (inhabitant/resident rights). Hak warga negara melekat karena secara hukum seseorang memiliki status kewarganegaraan pada suatu negara. Berdasarkan Pasal 26 Ayat (1) UUD 1945 disebutkan, “Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara.” Contohnya, ketentuan Pasal 27 Ayat (3) UUD 1945 yang menyebutkan, “Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.”
Sedangkan hak penduduk timbul oleh karena bertempat tinggal di suatu negara. Ketentuan Pasal 26 Ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.” Daniel memberi contoh, setiap penduduk mempunyai hak untuk memperoleh dokumen kependudukan; pelayanan yang sama dalam pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil; perlindungan atas data pribadi; kepastian hukum atas kepemilikan dokumen; Informasi mengenai data hasil pendaftaran penduduk pencatatan sipil atas dirinya dan/atau keluarganya; ganti rugi dan pemulihan nama baik sebagai akibat kesalahan dalam pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil serta penyalahgunaan data pribadi oleh instansi pelaksana. Hal ini terdapat dalam Pasal 2 UU Nomor 23 Tahun 2006 jo UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan.
Lebih lanjut Daniel menjelaskan, pengaturan mengenai HAM juga termuat dalam pasal-pasal yang merupakan bunyi teks asli UUD 1945 sebelum perubahan, seperti Pasal 27 ayat (1) dan (2), Pasal 28, dan Pasal 29 ayat (2).
Meskipun tidak disebut secara eksplisit dalam pasal-pasal UUD 1945, melalui penafsiran konstitusional Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa hak untuk mendapatkan bantuan hukum merupakan hak konstitusional. Daniel pun mengutip Putusan MK Nomor 006/PUU-II/2004, halaman 29 yang menyatakan, “… dengan demikian berarti bahwa hak untuk mendapatkan bantuan hukum, sebagai bagian dari hak asasi manusia, harus dianggap sebagai hak konstitusional warga negara, kendatipun undang-undang dasar tidak secara eksplisit mengatur atau menyatakannya, dan oleh karena itu negara wajib menjamin pemenuhannya.”
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
https://youtu.be/Y5oZKBbpOaQ