JAKARTA, HUMAS MKRI – Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menjadi narasumber Program Pendidikan Singkatan Angkatan (PPSA) XXIII Tahun 2021 yang diselenggarakan Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) pada Jumat (16/7/2021) siang secara virtual. Enny menampilkan materi “Demokrasi dalan Sistem Presidensial”.
Berbicara tentang demokrasi, kata Enny, tidak dapat dipisahkan dengan ajaran kedaulatan rakyat yang mensyaratkan bahwa rakyatlah yang sesungguhnya menjadi sumber kekuasaan tertinggi dalam suatu negara demokrasi.
“Kita bisa melihat bahwa terkait dengan demokrasi, saat ini secara formal sudah menjadi sesuatu yang diadopsi oleh banyak negara. Termasuk organisasi sosial, politik dan sebagainya yang menjadikan demokrasi sebagai salah satu prinsip dalam organisasi tersebut,” ujar Enny.
Demokrasi Konstitusional
Bagi suatu negara, hal terkait demokrasi sudah dimaktubkan dalam prinsip konstitusi. Saat ini demokrasi diklaim sebagai yang terbaik dalam menjalankan suatu organisasi. Enny mengatakan, berbicara soal demokrasi, secara konsepsional banyak mengalami perkembangan. Termasuk penambahan atribut di dalamnya.
“Yang paling akhir sebagai puncak dari gagasan demokrasi ini, kita bisa melihat sesuatu yang paling diidealkan di zaman modern yaitu demokrasi konstitusional,” jelas Enny.
Dikatakan Enny, dalam UUD 1945 yang asli tidak ada satu katapun tentang demokrasi itu sendiri. Pada saat perumusan UUD 1945, para pembentuk UUD kerapkali mengaitkan demokrasi sebagai ajaran dari Barat. Akibatnya, soal demokrasi diminimalisir dalam proses pembahasan karena dikhawatirkan bahwa UUD yang akan dibentuk memiliki nuansa Barat. Hal inilah yang menyebabkan UUD 1945 yang asli tidak mencantumkan soal demokrasi.
“Dalam perkembangannya, saat perubahan UUD 1945, perihal demokrasi sudah disebutkan dalam UUD 1945. Itu pun hanya satu kata, muncul dalam Pasal 33 ayat (4) yang berkaitan dengan perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi. Demokrasi sebagai prinsip yang dieksplisitkan sebagai bagian untuk menunjukkan dalam pengelolaan aspek perekonomian nasional,” urai Enny.
Penjabaran Prinsip Demokrasi
Namun demikian, lanjut Enny, UUD tidak selalu mengharuskan adanya kata ‘demokrasi’ di dalamnya. Hal terpenting adalah penjabaran UUD itu ketika kemudian prinsip-prinsip demokrasi bisa dituangkan di dalamnya. Kemudian ketika diimplementasikan, akan tampak kedemokratisan suatu negara dalam penyelenggaraan pemerintahannya. Berkenaan dengan hal ini, saat perubahan UUD 1945, penegasan hal itu sudah dimunculkan sedemikian rupa. Khususnya pada Pasal 1 UUD 1945 yang menyatakan Indonesia adalah negara hukum.
“Dalam suatu negara hukum yang berdasarkan pada hukum, demokrasi idealnya diselenggarakan secara konstitusional sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan dalam hukum dan konstitusi,” tegas Enny.
Konsep demokrasi yang berdasarkan atas hukum dan konstitusi yang juga dikenal dengan demokrasi konstitusional, ujar Enny, telah berkembang sedemikian rupa. Bahkan perbincangan terkini sudah mengarah kepada negara yang berbasis kepada konstitusi, yang dianggap sebagai sesuatu yang sangat diidealkan saat ini.
Bicara demokrasi konstitusional, sebagai gagasan bahwa pemerintah yang demokratis adalah pemerintah yang terbatas kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warga negaranya.
Enny menerangkan prinsip-prinsip demokrasi konstitusional yang antara lain mencakup adanya pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, adanya pembatasan kekuasaan melalui mekanisme pemisahan kekuasaan disertai dengan mekanisme penyelesaian sengketa ketatanegaraan antara lembaga negara. Prinsip demokrasi konstitusional berikutnya, adanya peradilan yang independen dan imparsial. Selain itu adanya judicial review oleh lembaga peradilan yang memang diberikan kewenangan untuk itu.
Lebih lanjut Enny menyampaikan bahwa ada agenda rutin dan berkala dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dalam perhelatan pemilu, sebagai ajang mekanisme penggantian tampuk kekuasaan yang kemudian dikonstrusikan sebagai pesta demokrasi. Pada intinya, pemilu bersumber pada dua hal pokok dalam praktik kehidupan ketatanegaraan Indonesia. Pertama, ajaran kedaulatan rakyat. Kedua, paham demokrasi. Bahwa pemilu merupakan cerminan dari demokrasi.
“Dalam konteks inilah dibutuhkan kedewasaan kita dalam berdemokrasi agar government by the people benar-benar dapat kita wujudkan,” imbuh Enny.
Bab Khusus Pemilu
Oleh karena itu, lanjut Enny, dalam perubahan UUD 1945 dibuatlah satu bab khusus, Bab VII B yang berkaitan dengan pemilu, dalam Pasal 22E ayat (1) ditentukan prinsip-prinsip bagaimana perwujudan demokrasi konstitusional lewat agenda rutin dan berkala bisa dilaksanakan melalui pemilu yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil setiap lima tahun sekali.
Terlaksananya prinsip-prinsip pemilu dengan baik akan menjadi kunci untuk mewujudkan government by the people. Karena itu sangat penting dalam konteks ini, adanya penyelenggara pemilu yang independen. Dalam hal ini, KPU beserta jajaran ke bawah maupun Bawaslu beserta jajaran ke bawah agar bisa hadir dan tampil sebagai satu kelembagaan yang independen, dalam menggawangi pesta demokrasi bisa dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, sehingga suara dari pemilih bisa dijaga kemurniannya.
Dijelaskan Enny, demokrasi dapat dilaksanakan dengan dua cara, yakni demokrasi langsung dan demokrasi perwakilan. Demokrasi langsung seperti pada masa Yunani kuno sangat sulit dilaksanakan pada era sekarang. Sedangkan demokrasi perwakilan dilakukan melalui kontrol warga negara, baik melalui pemilihan umum dan secara tidak langsung melalui keterbukaan pemerintah. Maksud dan tujuan dilakukan pemilu, kata Enny, tidak lain sebagai sarana warga negara untuk memilih pimpinan negara dan wakil-wakil yang akan memimpin negara.
Lantas bagaimana kemudian bekerjanya demokrasi dalam sistem presidensial? “Kita tidak menemukan satu muatan sistem pemerintahan Indonesia berbasis sistem presidensial dalam UUD 1945 sebelum dan sesudah diamenden. Ketika kita bicara mengenai sistem pemerintahan, itu sama artinya ketika kita membicarakan bagaimana pengelolaan hubungan antara eksekutif dengan legislatif,” ucap Enny.
Bagi negara yang menganut sistem parlementer, pemerintahan dilakukan oleh parlemen dan ditandai dengan adanya supremasi parlemen. Sedangkan dalam sistem presidensial, ungkap Enny, tidak mengenal kerja sama antara kekuasaan eksekutif dengan legislatif. Karena kedua kekuasaan itu pada prinsipnya saling terpisahkan. Agar tidak terjadi penyalahgunaan dalam kekuasaan atau terjadinya absolutisme dalam kekuasaan, maka perlu diikuti dengan mekanisme checks and balances. (*)
Penulis: Nano Tresna Arfana
Editor: Lulu Anjarsari P
https://youtu.be/Be_T9L3W8gc