JAKARTA, HUMAS MKRI – Acara puncak The 20th Indonesian Scholars International Convention (ISIC) diselenggarakan secara virtual pada Sabtu (10/7/2021) malam. Tema yang diangkat Indonesia Levelling Up:Enhancing Indonesia’s Crisis Resilience. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Perhimpunan Pelajar Indonesia di Inggris (PPI UK) yang diikuti oleh sebanyak 73 peserta pelajar Indonesia di berbagai negara. Kegiatan ini merupakan forum tanya jawab langsung terhadap berbagai persoalan yang sedang hangat di Indonesia tanpa paparan materi para panelis.
Dalam kegiatan tersebut, berbagai permasalahan dijawab oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra saat menjadi panelis untuk diskusi politik dan hukum. Misalnya, soal permasalahan pascaperubahan UUD 1945. Saldi menyebut salah satu problem dihadapi bangsa Indonesia pascaperubahan konstitusi adalah problem bangunan keseimbangan antara pemegang kekuasaan eksekutif dengan pemegang kekuasaan legislatif.
“Saya membaca agak detail perdebatan ketika UUD 1945 diubah pada tahun 1999 sampai 2002, sebetulnya ada napas yang menurut saya sangat positif. Bagaimana memperkuat posisi lembaga perwakilan sehingga Presiden tidak menjadi dominan, sedominannya Presiden di era orde baru,” ujar Saldi dalam acara yang juga dihadiri Panelis Airlangga Pribadi Kusman sebagai Pengajar di Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga dan Panelis R. Valentina Sagala dari Institut Perempuan.
Saldi menambahkan hal yang dilakukan saat amendemen UUD 1945, yakni merancang desain baru dalam konstitusi, yang mengangkat pemegang kekuasaan legislatif terutama DPR agar bisa lebih seimbang dengan Presiden.
“Pada level itu kita berhasil sebetulnya. Konstitusi yang telah diubah empat kali berhasil ke level itu. Tapi saya percaya, para pengubah konstitusi dulu tidak membayangkan seberapa parah nanti kalau satu titik terjadi kolaborasi antara dua lembaga yang diberi kekuasaan besar menjalankan otoritas bernegara,” ungkap Saldi.
Kolaborasi Dua Kekuatan
Saldi melanjutkan, pemegang kekuasaan eksekutif dan legislatif perlu menyadar dan memahami bahwa desain konstitusi itu sebetulnya memberi ruang agar mereka selalu membangun prinsip checks and balances. Tapi dalam perjalanan kemudian, lanjutnya, dua kekuatan itu berkolaborasi dengan terbentuknya koalisi besar.
“Para pemikir dan pengkaji hukum tata negara kala itu berupaya mendorong agar partai politik mau menahan diri tidak semuanya bergabung ke pemerintah. Kita memang memerlukan pemerintahan yang kuat. Kuat dalam pengertian di sini, tidak menguasai segala-galanya. Artinya, ada kekuatan yang cukup di DPR untuk bisa mengimbangi posisi pemerintah, kalaupun dia nanti bergabung dengan sejumlah partai politik di DPR,” urai Saldi.
Dikatakan Saldi, apapun agenda yang akan dilakukan oleh pemerintah—dalam hal ini Presiden—tidak bisa mengabaikan dua kekuatan besar di parlemen. Ada parpol yang sewaktu-waktu mendukung pemerintah dan sewaktu-waktu bergeser menjadi oposisi.
“Ini yang tidak terbentuk, sehingga kemudian partai politik yang ada lebih suka bergabung ke pemerintah dibandingkan mempertahankan diri sebagai lembaga yang menjadi kontrol dari pemerintah,” ucap Saldi yang juga menjelaskan parpol sebagai salah satu sumber kekuatan baru yang dihasilkan oleh perubahan UUD 1945.
Hyper Regulation
Selanjutnya Saldi menjawab masalah hyper regulation atau regulasi yang sangat banyak di Indonesia, adanya peraturan yang overlapping. Saldi mempertanyakan mengenai argumentasi adanya hiper di tingkat undang-undang. Karena faktanya, pembentuk undang-undang hanya menghasilkan belasan undang-undang dalam setahun. Dia menegaskan, hyper regulation justru lebih banyak terjadi pada peraturan di bawah undang-undang.
“Mulai dari yang dibuat badan eksekutif, dari Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan Menteri sampai produk hukum yang dibuat di tingkat daerah,” jelas Saldi yang juga menyebut banyak Peraturan Menteri diterima sebagai peraturan perundang-undangan dalam sistem perundang-undangan di Indonesia.
Menurut Saldi, bicara hyper regulation di Indonesia sebetulnya sangat sederhana untuk bisa diselesaikan. Mengenai hyper regulation, kata Saldi, sebenarnya Presiden mempunyai otoritas yang sangat kuat untuk mengelola hal itu. Bahwa Presiden diberi oleh konstitusi untuk mengelola peraturan.
Saldi mencontohkan negara Belanda. Dikatakan Saldi, negara sekecil Belanda sangat peduli dengan soal inkonstitusi peraturan hukum. Belanda memiliki sekitar 1000 orang yang dipekerjakan untuk menilai semua rancangan peraturan yang akan dikeluarkan. Hal ini akan memudahkan Presiden untuk mengambil tindakan bahwa peraturan di eksekutif harus dikeluarkan atau tidak.
Saldi juga menerangkan hyper regulation banyak terjadi pada produk-produk hukum daerah. Menurut Saldi, pemerintah pusat sebenarnya punya kewenangan melakukan fungsi pengawasan preventif yang diberi oleh undang-undang. Pemerintah punya otoritas untuk menilai semua rancangan peraturan di daerah, baik peraturan daerah maupun rancangan peraturan kepala daerah. Kalau tidak sesuai produk hukum yang berlaku secara nasional, pemerintah bisa mengatakan produk hukum tersebut tidak bisa diteruskan.
“Mahkamah Konstitusi dalam putusannya pernah menyatakan bahwa pemerintah pusat harus mengoptimalkan kewenangan dalam pengawasan preventif itu,” tegas Saldi.
Isu Radikalisme
Berikutnya, Saldi menanggapi soal radikalisme dalam agama yang pernah mencuat di negara kita. Menurut Saldi, radikalisme agama merupakan problem universal, tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga terjadi di berbagai negara.
“Memang negara dituntut menemukan caranya sendiri, bagaimana mengelola dan menghadapi radikalisme dalam agama di masing-masing negara. Sekarang sedang muncul kekhawatiran baru. Banyak orang mengatakan, faktor pendidikan berpengaruh terhadap munculnya soal-soal seperti ini. Tapi jangan-jangan kita salah menarik kesimpulan seperti ini. Misalnya apa yang dihadapi Amerika Serikat sekarang, muncul gerakan radikal dalam bentuk bermacam-macam. Kemungkinan juga yang menggunakan isu agama sekuat yang ada di Indonesia,” papar Saldi.
Hal yang mungkin dilakukan bangsa Indonesia menghadapi radikalisme agama, ujar Saldi, bagaimana kelompok terdidik membangun kesadaran bersama. Sebagai sebuah negara, Indonesia sudah memiliki platform bersama bahwa negara Indonesia dibangun.
“Kalau kemudian kita keluar mengingkari platform itu, berarti merugikan kita sebagai sebuah bangsa. Kita sebagai bangsa kadang-kadang mengabaikan pentingnya civic education, tapi bukan dalam pengertian indoktrinasi. Ini soal lain yang harus kita hadapi,” imbuh Saldi.
Menurut Saldi, bicara soal nasionalisme di tingkat yang lebih tinggi, maka harus disinggung tentang membangun rasa kebangsaan. Tapi Saldi mempertanyakan seberapa banyak sekolah yang tidak memiliki fasilitas untuk membangun nasionalisme sejak dari pendidikan tingkat awal.
“Ada gedung sekolah dibangun di tempat tertentu tapi tidak ada ruangan, misalnya untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan yang memungkinkan siswa untuk diberi asupan awal bagaimana kehidupan kebangsaan itu dibangun,” tandas Saldi.(*)
Penulis: Nano Tresna Arfana
Editor: Lulu Anjarsari P
https://youtu.be/RYuB2sjeX0M