JAKARTA, HUMAS MKRI - Hakim Konstitusi Saldi Isra menjadi pemateri dalam Sekolah Konstitusi yang diselenggarakan oleh Advokat Konstitusi bekerja sama dengan Penerbit Raja Grafindo Persada serta Mahkamah Konstitusi pada Sabtu (10/7/2021). Dalam kegiatan bertema “Sistem Pemerintahan Indonesia” dan sekaligus Pembukaan Sekolah Konstitusi 2.0 ini, Saldi mengulas secara runut sejarah perkembangan sistem pemerintahan di Indonesia. Tema kuliah daring ini sejalan pula dengan pokok materi yang tertuang dalam buku berjudul “Sistem Pemerintahan Indonesia: Pergulatan Ketatanegaraan Menuju Sistem Pemerintahan Presidensial” karya Saldi Isra.
Dengan dipandu Hario Danang dari Fakultas Hukum Universitas Padjajaran selaku moderator, Saldi menekankan pentingnya menelusuri perdebatan sistem pemerintahan Indonesia. Sebab, rumusan konstitusi Indonesia dalam praktik ketatanegaraan pernah mengalami beberapa pergantian, di antaranya UUD 1945 awal kemerdekaan, Konstitusi RIS, UUD Sementara 1950, dan kembali ke UUD 1945. Kesemua konstitusi tersebut, dalam praktiknya dilaksanakan secara berbeda saat awal kemerdekaan dengan yang dilaksanakan pada masa 1959 dan bahkan pada periode 1999. Adapun salah satu tujuan perubahan UUD 1945 tersebut, sambung Saldi, adalah mempertahankan sistem pemerintahan presidensial.
Dalam forum terbatas ini, Saldi mengawali paparan dengan mengutip pengertian konstitusi menurut K.C. Wheare dalam bukunya yang berjudul “Modern Constitutions”. Menurut Wheare, konstitusi adalah dokumen tertulis, sebuah kerangka umum dan dasar, yang menjelaskan keseluruhan sistem yang digunakan negara dan di dalamnya terdapat aturan mengenai pemerintahan.
“Jadi, jika dibaca UUD negara manapun, maka akan ditemukan sistem negara yang dianut oleh negara yang bersangkutan. Tetapi perlu ditekankan bahwa sebenarnya jarang kita menemukan secara langsung penyebutan sistem pemerintahan presidensial/parlementer dalam konstitusi. Jika dilakukan penelusuran maka barulah ditemukan karakteristik dalam konstitusi itu, apakah suatu negara menjalankan sistem presidensial atau parlementer dalam pemerintahannya,” jelas Saldi dalam kegiatan yang juga dihadiri secara daring oleh Fitrah Bukhari selaku Pendiri Advokat Konstitusi.
Lebih jauh Saldi menerangkan bahwa sistem pemerintahan adalah sistem yang menjelaskan bentuk relasi pemegang kekusaaan eksekutif dan legislatif. Sehingga apabila berbicara mengenai sistem pemerintahan, maka akan berkaitan dengan bagaimana korelasi antara kedua pemegang kekuasaan tersebut dalam suatu pemerintahan negara. Sebagai contoh, Saldi mengilustrasikan sistem pemerintahan parlementer yang terdapat pada negara lain, seperti Malaysia, Jepang, dan Jerman yang mengenal pelaksanaan pemilihan umum hanya satu kali untuk memilih anggota legislatif.
Pada sistem pemerintahan ini, sambung Saldi, tidak terdapat agenda untuk memilih Perdana Menteri. Hasil pemilihan parlemen inilah nantinya yang akan menentukan komposisi strategis jabatan tersebut di negara perwakilan. Berbeda halnya dengan sistem pemerintahan presidensial, Saldi mengungkapkan pemilihan umum diadakan dua kali, baik bersamaan maupun berbeda untuk memilih legislatif dan eksekutif. Oleh karena itu, suatu hal yang wajar apabila terjadi pertarungan daulat pada kedua lembaga ini pada negara yang menganut sistem pemerintahan presidensial.
“Jadi, potensi ketegangan yang muncul dalam sistem ini sangat wajar karena ada 2 lembaga yang diberikan daulat oleh rakyat untuk mengelola negara. Karena konsep pemegang kekuasaan legislatif dan eksekutif itu tentu terpisah sehingga proses politik berlangsung pada dua lembaga yang sama-sama mengelola daulat rakyat,” terang Saldi.
Karakteristik Bangsa dalam Bernegara
Berikutnya Saldi membahas mengenai sejarah UUD 1945 yang didesain oleh pendiri negara. Menurutnya, para pendiri negara akhirnya memilih sistem pemerintahan dengan dipimpin oleh seorang presiden bukanlah tanpa alasan. Jika melihat pada sejarah republik ini, maka tidak ditemukan sistem ini karena awalnya negara ini terdiri atas kerajaan-kerajaan. Akan tetapi, saat merumuskan konstitusi, pendiri negara justru memilih pemimpin negara oleh presiden.
“Sebab, pendiri negara sangat paham karakteristik bangsa ini dalam bernegara. Jika dipilih kerajaan, siapa yang didaulat menjadi raja? Maka dari itu, dipilih untuk memberi ruang pada rakyat dengan memilih pemimpin negaranya. Ketika UUD 1945 ini disusun, para pendiri negara sudah membaca sistem yang ada di negara ini, misalnya Soepomo dengan fasih menjelaskan bagaimana Amerika menstranfer pada Filipina sistem pemerintahan yang dijalankan di negaranya sehingga pengetahuan pendiri negara sudah cukup untuk membangun model sistem pemerintahan saat itu,” cerita Saldi pada 300 peserta Sekolah Konstitusi yang menyimak materi secara daring dari kediaman masing-masing.
Kemudian Saldi melanjutkan pembahasan mengenai bagaimana sistem pemerintahan di Indonesia setelah dilakukannya amendemen UUD 1945 pada periode 1999. Menurut pandangannya, pada amendemen konstitusi ini tetap terdapat keinginan untuk mempertahankan sistem presidensial dengan memperbaiki karakteristik yang sesuai dengan bangsa Indonesia. Salah satu bentuk penyesuaian karakteristik yang dilakukan adalah membatasi secara jelas periodisasi jabatan presiden dan wakil presiden. Contoh lainnya adalah alasan untuk memberhentikan presiden/wakil presiden dalam masa jabatan yang tidak dapat dijatuhkan oleh alasan politik. Presiden/wakil presiden hanya dapat dijatuhkan jika terjadi pelanggaran yang bertentangan dengan konstitsi.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.