JAKARTA, HUMAS MKRI – Independensi kekuasaan kehakiman merupakan prasyarat mutlak bagi tegaknya hukum dan keadilan. Tanpa independensi kekuasaan kehakiman, dapat dipastikan jaminan terwujudnya hukum dan keadilan tidak mungkin dapat tercapai. Secara konseptual maupun praktik, hubungan antara demokrasi dan negara hukum dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah sangat erat.
Hal tersebut disampaikan Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman dalam Kajian Bedah Buku Independensi Lembaga Kekuasaan Kehakiman dalam Penegakan Hukum dan Keadilan karya Anwar Usman. Kegiatan webinar ini terselenggara atas kerja sama Mahkamah Konstitusi dengan Fakultas Hukum (FH) Universitas Riau pada Jumat (2/7/2021) pagi.
Anwar menjelaskan, tanpa kekuasaan kehakiman yang merdeka dan kebebasan hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara, tidak akan ada demokrasi dan bernegara yang berdasarkan atas hukum. Kekuasaan kehakiman yang merdeka, merupakan syarat bagi negara demokrasi yang berdasarkan atas hukum. Tetapi, hubungan ini tidak hanya bersifat satu arah. “Demokrasi dan negara yang berdasarkan atas hukum merupakan prasyarat bagi kekuasaan kehakiman yang merdeka. Dengan perkataan lain, ada hubungan timbal balik antara kekuasaan kehakiman yang merdeka dengan demokrasi dan negara hukum. Hal itu dapat diibaratkan seperti dua sisi dari sebuah koin mata uang, urai Anwar.
Dikatakan Anwar, tujuan utama kekuasaan kehakiman menurut UUD 1945 adalah untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Oleh sebab itu, diperlukan upaya-upaya menjadikan kekuasaan kehakiman sebagai institusi yang independen, mengembalikan fungsi yang hakiki dari kekuasaan kehakiman untuk mewujudkan keadilan dan kepastian hukum, menjalankan fungsi cheks and balances bagi institusi negara lainnya, mendorong dan memfasilitasi serta menegakkan prinsip-prinsip negara hukum demokratis guna mewujudkan kedaulatan rakyat, dan melindungi martabat kemanusiaan dalam bentuk yang paling konkret.
Memandirikan Hakim
Anwar menyampaikan, independensi kekuasaan kehakiman dalam konteks mewujudkan peradilan yang mandiri bertujuan untuk memandirikan hakim dan lembaga kehakiman. Secara organisatoris, lembaga kekuasaan kehakiman harus dimandirikan dan dilepaskan dari segala intervensi dan pengaruh kekuasaan negara lainnya. Dalam kerangka itu, hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman tidak boleh menundukkan diri pada visi dan kepentingan politik tertentu. Secara politik, kekuasaan kehakiman harus dipisahkan secara tegas dari cabang kekuasaan negara yang lain, yaitu eksekutif dan legislatif, agar tercipta adanya hubungan yang saling menyeimbangkan (checks and balance) dalam sistem politik.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dalam Bab III mengatur tentang Hubungan Pengadilan dan Pemerintah pada Pasal 19 secara eksplisit menyebutkan, Demi kepentingan revolusi, kehormatan Negara dan Bangsa atau kepentingan masyarakat yang sangat mendesak, Presiden dapat turut atau campur tangan dalam soal-soal pengadilan. Ketentuan ini tentu tidak dapat diterjemahkan lain, selain diartikan bahwa Presiden dapat melakukan intervensi terhadap pengadilan dengan dalih kehormatan negara, bangsa, atau kepentingan masyarakat yang mendesak.
Ketentuan tersebut, kata Anwar, diartikan bahwa Presiden dapat melakukan intervensi terhadap pengadilan dengan dalih kehormatan negara, bangsa, atau kepentingan masyarakat yang mendesak. Di sisi lain, bentuk-bentuk intervensi dan kooptasi terhadap dunia kekuasaan kehakiman juga terjadi dalam bentuk administratif. Meskipun semua pengadilan berpuncak pada Mahkamah Agung yang merupakan pengadilan tertinggi untuk semua lingkungan peradilan, namun di bawah UU Kekuasaan Kehakiman Nomor 19 Tahun 1964, organisasi, administrasi, dan finansial, berada di bawah kekuasaan Departemen Kehakiman, Departemen Agama, dan Depertemen-departemen dalam lingkungan Angkatan Bersenjata.
Upaya memperkuat kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas dari intervensi lembaga negara lainnya, mulai tampak sejak lahirnya UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang menggantikan UU Kekuasaan Kehakiman sebelumnya, telah menghilangkan peran eksplisit Presiden untuk melakukan intervensi terhadap kewenangan teknis yustisial lembaga peradilan. Meski tak dapat dipungkiri, dalam UU Nomor 14 Tahun 1970 ini, peran eksekutif terhadap organisasi, administrasi, dan finansial lembaga peradilan masih merupakan kooptasi yang bersifat administrasi bagi dunia kekuasaan kehakiman di Indonesia.
Seiring bergulirnya reformasi pada 1998, harapan akan hadirnya dunia kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka dari segala bentuk intervensi menemui momentumnya. UU No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dengan tegas dalam konsiderannya menyatakan, Bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka dan oleh karena itu untuk mewujudkan kekuasaan kehakiman yang mandiri dan terlepas dari kekuasaan pemerintah dipandang perlu melaksanakan pemisahan yang tegas antar fungsi-fungsi yudikatif dari eksekutif.
Kemudian melalui UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai pengganti UU Kekuasaan Kehakiman sebelumnya. UU No. 4 Tahun 2004 ini telah menetapkan batas waktu proses peralihan organisasi, administrasi, dan finansial yang semula pembinaannya berada di lingkungan masing-masing departemen, menjadi di bawah satu atap yaitu Mahkamah Agung.
Dijelaskan Anwar, bergulirnya reformasi dan kuatnya komitmen masyarakat menjadikan hukum sebagai panglima guna mengawal kehidupan demokrasi dan bernegara, telah melahirkan sebuah lembaga kekuasaan kehakiman baru di samping Mahkamah Agung, yaitu Mahkamah Konstitusi (MK). Pasal 24 ayat (2) menyebutkan bahwa Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan Pasal 24C UUD 1945, MK berwenang menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan tentang hasil pemilihinan umum, serta wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD.
Kekuasaan Kehakiman di Dunia Internasional
Pentingnya independensi bagi kekuasaan kehakiman, lanjut Anwar, telah menjadi pembahasan bagi dunia internasional. Berbagai pertemuan regional maupun internasional yang membahas tentang independensi kekuasaan kehakiman telah banyak digelar di berbagai negara dan menghasilkan berbagai piagam, deklarasi, maupun prinsip-prinsip tentang kekuasaan kehakiman yang independen.
Berikut adalah beberapa di antaranya. Pertama, Deklarasi PBB tentang Hak Asasi Manusia yang dalam Pasal 10 menyatakan “Bahwa siapapun berhak atas suatu peradilan yang fair, terbuka, kompeten, independen, dan tidak memihak.” Meski tidak ada pengertian khusus tentang independensi kekuasaan kehakiman menurut Piagam PBB ini, namun konvensi ini telah menjadi dasar bagi banyak konvensi internasional maupun regional yang juga membicarakan pentingnya independensi kekuasaan kehakiman.
Kedua, Siracuse Principles (1981) mengungkapkan tentang independensi kehakiman dalam dua arti bahwa setiap hakim bebas untuk memutuskan suatu masalah sesuai dengan fakta yang ditemukannya dan pengertiannya mengenai hukum tanpa pengaruh yang tidak semestinya, bujukan atau tekanan-tekanan, langsung atau tidak langsung. Selain itu, suatu peradilan independen dari pengaruh eksekutif dan legislatif yang mempunyai yurisdiksi, baik secara langsung, atau melalui hak menguji, terhadap semua hal yang berkaitan dengan hal-hal di bidang peradilan.
Ketiga, New Delhi Standards (1982) yang diadakan atas prakarsa berbagai lembaga non-pemerintah, International Bar Association. Ketentuan ini diharapkan menjadi standar minimal bagi independensi kekuasaan kehakiman yang di dalam beberapa ketentuannya menegaskan bahwa hakim secara individu harus memiliki independensi personal dan substantif. Independensi personal berarti bahwa syarat dan kondisi dari pelayanan peradilan memperoleh jaminan yang seimbang untuk menjamin agar hakim secara individual tidak berada di bawah kontrol eksekutif. Sedangkan independensi substantif berarti dalam menjalankan fungsi yudisialnya sebagai hakim, seseorang hanya tunduk pada hukum dan hati nuraninya. Lembaga peradilan secara keseluruhan juga harus memiliki otonomi dan independensi kolektif terhadap eksekutif. Serta di dalam proses pengambilan putusan, seorang hakim harus independen terhadap koleganya sesama hakim dan berbagai pihak lainnya.
Keempat, UN Basics Principles of the independence of Judiciary, dalam Pasal 2 menyatakan ”Kekuasaan kehakiman harus memutuskan perkara yang dihadapinya secara tidak memihak, berdasarkan fakta-fakta dan menurut hukum, tanpa pembatasan, pengaruh yang tidak sah, ancaman, tekanan, atau intervensi langsung atau tidak langsung dari pihak manapun atau karena alasan apapun.”
“Deklarasi ini adalah salah satu yang menyoroti tentang kode etik profesi hakim, akuntabilitas, dan transparansi keuangan. Dalam deklarasi tersebut, independensi kehakiman mempunyai aspek individual dan aspek institusional. Guna menjamin independensi individual kekuasaan kehakiman, terdapat dua cara, yaitu pertama, seorang hakim harus dilindungi dari ancaman sehingga tidak takut atau ragu dalam proses pengambilan putusan. Kedua, metode seleksi hakim dan prinsip etika yang diberlakukan kepada mereka harus dibangun sedemikian rupa untuk meminimalkan resiko korupsi dan pengaruh dari luar, ungkap Anwar.
Kelima, Bangalore Principles of Judicial Conduct. Meskipun di dalamnya tidak mendefinisikan secara tegas tentang independensi kekuasaan kehakiman, tetapi, kesepakatan tersebut mengemukakan beberapa nilai yang penting bagi terwujudnya independensi kekuasaan kehakiman. Nilai-nilai tersebut dipandang penting dalam penyusunan judicial conduct di berbagai negara. Nilai-nilai tersebut adalah independensi (independence), imparsialitas (imparsiality), integritas (integrity), kesusilaan (propriety), persamaan (equality), kompetensi dan kemampuan (competence and deligence).
Bebas Intervensi
Anwar menegaskan, filosofi independensi kekuasaan kehakiman di Indonesia adalah kekuasaan negara yang bebas dari segala bentuk intervensi dari dalam maupun dari luar kekuasaan kehakiman, kecuali atas dasar kekuatan falsafah Pancasila dan UUD 1945. Nilai-nilai falsafah Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, yang diletakkan dalam UUD 1945 dan pelbagai peraturan perundang-undangan adalah koridor hukum dasar dan koridor hukum operasional bagi eksisnya independensi kekuasaan kehakiman sebagai prasyarat tegaknya hukum dan keadilan yang dicita-citakan.
Secara historis dan realistis, jelas Anwar, bentuk-bentuk intervensi terhadap independensi dunia kekuasaan kehakiman memang kerap terjadi. Namun seiring dengan perkembangan zaman dan makin meningkatnya kesadaran hukum masyarakat, bentuk-bentuk intervensi terhadap kekuasaan kehakiman juga berubah dan berkembang. Setidaknya terdapat dua bentuk dimensi intervensi yang terjadi, yaitu dimensi diakronik dan sinkronik. Intervensi berdimensi diakronik adalah intervensi terhadap proses pemikiran hakim yang dipengaruhi oleh kejadian-kejadian masa lalu.
“Sedangkan intervensi sinkronik adalah bentuk intervensi yang menggiring kecenderungan pemikiran hakim untuk mengikuti opini publik dan tren masa kini. Intervensi terhadap independensi kekuasaan kehakiman dapat pula bersumber dari keadaan hakim itu sendiri dan internal organisasi kekuasaan kehakiman. Intervensi internal dapat menggoyahkan independensi kekuasaan kehakiman karena lemahnya organisasi dan sistem pengawasan, kurang terkoordinasinya dengan baik sistem pembinaan, rendahnya integritas moral, dan manajemen kepemimpinan, tandas Anwar.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.
https://youtu.be/9E_qr8j_gpM