JAKARTA, HUMAS MKRI Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengucapan putusan perkara pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) terhadap UUD 1945, pada Selasa (29/6/2021) siang. Permohonan ini diajukan oleh (Konfederasi) Serikat Buruh Sejahtera Indonesia ((K)SBSI). Dalam amar putusan, Mahkamah menyatakan permohonan (K)SBSI tidak dapat diterima.
Amar putusan, mengadili, menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima, kata Ketua MK Anwar Usman didampingi delapan hakim konstitusi lainnya, saat membacakan amar Putusan Nomor 109/PUU-XVIII/2020 dalam persidangan yang digelar secara daring.
Pemohon dalam permohonannya mengujikan sejumlah pasal dalam UU Cipta Kerja. Adapun norma yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya adalah Pasal 81 angka 15, Pasal 81 angka 18, Pasal 81 angka 19, Pasal 81 angka 26, Pasal 81 angka 27, Pasal 81 angka 37, Pasal 151 dan Penjelasan Pasal 81 angka 42 (Pasal 154A ayat (1) dan ayat (2) UU Cipta Kerja terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (2), dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945.
Mahkamah dalam pertimbangan hukumnya menyebutkan, Pemohon dalam permohonannya menerangkan selaku Badan Hukum Perkumpulan yang telah tercatat di Suku Dinas Tenaga Kerja Jakarta Pusat dan terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM. Pemohon dalam hal ini diwakili oleh Prof. Dr. Muchtar Pakpahan, S.H., M.H., selaku Ketua Umum DPP (K)SBSI dan Vindra Whindalis selaku Sekretaris Jenderal berdasarkan hasil Kongres ke-6 (K)SBSI. Sebelum Mahkamah lebih lanjut mempertimbangkan kerugian konstitusional Pemohon, terlebih dahulu Mahkamah akan mempertimbangkan kapasitas Pemohon sebagai Badan Hukum Perkumpulan untuk mengajukan permohonan.
Berdasarkan Pasal 47 ayat (2) dan ayat (4) Anggaran Dasar (K)SBSI dan Pasal 12 ayat (7) Anggaran Rumah Tangga (K)SBSI menyatakan Ketua Umum berwenang bertindak untuk dan atas nama organisasi baik ke dalam maupun ke luar organisasi. Kemudian Pasal 12 ayat (8) huruf a Anggaran Rumah Tangga (K)SBSI menyatakan Sekretaris Jenderal berwenang bertindak untuk dan atas nama organisasi terkait dengan administrasi organisasi baik kedalam maupun keluar organisasi. Dengan demikian yang dapat bertindak untuk mewakili Badan Hukum Perkumpulan (K)SBSI adalah Ketua Umum untuk mewakili organisasi secara umum dan Sekretaris Jenderal terbatas pada administrasi organisasi. Oleh karena itu, dalam konteks permohonan pengujian undang-undang di MK, yang berwenang mengajukan permohonan secara absolut harus ketua umum.
Muchtar Pakpahan Meninggal
Persidangan dengan agenda sidang pemeriksaan perbaikan permohonan digelar di MK pada 21 April 2021. Dalam persidangan tersebut, Mahkamah meminta penjelasan terkait dengan meninggalnya Prof. Dr. Muchtar Pakpahan, S.H., M.H. selaku Ketua Umum (K)SBSI yang bertindak mewakili Pemohon dalam persidangan. Kuasa hokum Pemohon membenarkan hal tersebut.
Kuasa hukum Pemohon dalam persidangan juga menerangkan, bahwa berdasarkan Keputusan Kongres Ke-6, nama Vindra Whindalis adalah Sekretaris Jenderal organisasi. Namun, setelah dicermati terhadap bukti tersebut tidak ditemukan nama Vindra Whindalis sebagai Sekretaris Jenderal justru tercantum nama Bambang Hermanto sebagai Sekretaris Jenderal Pemohon. Di samping fakta hukum tersebut, Mahkamah juga tidak menemukan alat bukti lain yang dapat membuktikan bahwa memang benar nama Vindra Whindalis merupakan Sekretaris Jenderal (K)SBSI periode 2018-2022 sebagaimana yang tercantum dalam permohonan Pemohon.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, Pemohon tidak diwaliki oleh pihak yang berhak bertindak untuk dan atas nama Pemohon sebagaimana dimaksudkan Pasal 47 ayat (2) dan ayat (4) Anggaran Dasar (K)SBSI serta Pasal 12 ayat (7) dan ayat (8) Anggaran Rumah Tangga (K)SBSI. Dengan demikian Mahkamah berpendapat Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum dalam mengajukan permohonan a quo.
Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan Pemohon, namun karena Pemohon selaku Badan Hukum Perkumpulan (K)SBSI tidak diwakili oleh pihak/orang yang berhak bertindak untuk dan atas nama Badan Hukum Perkumpulan (K)SBSI maka permohonan Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (persona standi in judicio) untuk mengajukan permohonan, oleh karenanya Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan, kata Hakim Konstitusi Suhartoyo membacakan pertimbangan hukum putusan.
Baca Juga:
Muchtar Pakpahan Tuding UU Ciptaker Perluas Sistem Outsourcing
Sebelumnya, para Pemohon mempersoalkan penghapusan Pasal 59 ayat (4)m Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dengan dihapusnya Pasal 59 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tersebut, mengakibatkan tidak ada lagi pembatasan masa waktu status buruh kontrak atau PKWT.
Dalam perbaikan permohonan, para Pemohon kembali menegaskan agar tidak memberlakukan sistem outsourcing di Indonesia. Sebelumnya Para Pemohon mendalilkan, terdapat sekurang- kurangnya 8 materi Bab IV tentang Ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja yang bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang secara langsung dan tidak langsung merugikan hak konstitusional Pemohon. Bab IV tersebut mencabut, menambah dan mengubah beberapa pasal dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Ada sejumlah materi dalam Bab IV tersebut, yang para Pemohon anggap bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, antara lain menjadi buruh kontrak selama bekerja, memberlakukan sistem alih daya (outsourcing) di semua bidang kerja, hilangnya jaminan perlindungan upah, dalam hal pemutusan hubungan kerja (PHK) dan pesangon, materi yang diatur dalam pasal tidak berhubungan dengan penjelasan pasal.
Dalam petitum, para Pemohon meminta Mahkamah agar menerima dan mengabulkan seluruh permohonan pengujian undang-undang yang diajukan oleh Pemohon. Kemudian menyatakan Pasal 81 angka 15, Pasal 59 Undang-Undang No 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Bab IV Ketenagakerjaan atau Klaster Ketenagakerjaan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945).
Selain itu, para Pemohon meminta Mahkamah agar menyatakan Pasal 81 angka 18, Pasal 64, Pasal 81 angka 19, Pasal 65, Pasal 81 angka 26, Pasal 89, Pasal 81 angka 27, Pasal 90 dan Pasal 81 angka 37, Pasal 151 UU Cipta Kerja Bab IV Ketenagakerjaan atau Klaster Ketenagakerjaan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.
Humas: Muhammad Halim.