JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak untuk seluruhnya uji materiil Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan dan PKPU). Putusan Nomor 8/PUU-XIX/2021 dibacakan dalam Sidang Putusan yang digelar pada Selasa (29/6/2021). Hendry Agus Sutrisno yang berprofesi sebagai PNS Kota Depok tercatat sebagai Pemohon yang mendalilkan Pasal 7 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam pertimbangan hukum Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, Mahkamah berpendapa keberadaan advokat atau kuasa hukum dalam praktik di pengadilan niaga adalah bentuk perlindungan terhadap setiap orang di hadapan hukum. Keharusan menggunakan advokat akan memperkuat posisi Pemohon dalam proses beracara karena sifat dari perkaranya yang khusus. Dengan adanya advokat, Pemohon akan terbantu secara maksimal dalam proses beracara di pengadilan.
“Adanya anggapan Pemohon bahwa materi kepailitan dan PKPU dapat dipelajari oleh siapapun termasuk sarjana hukum, Mahkamah berpendapat hal tersebut tidak salah, namun tidak berarti semua sarjana hukum mampu beracara dalam peradilan khusus untuk perkara kepailitan dan PKPU,” jelas Enny dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman.
Baca juga: Aturan Hanya Advokat yang Boleh Berperkara dalam UU Kepailitan dan PKPU Diuji
Bantuan Hukum
Berikutnya Enny menguraikan mengenai konstitusionalitas Pasal 7 ayat (1) UU 37/2004 yang dikaitkan dengan ketidakselarasan dan pertentangannya dengan undang-undang lain seperti perpajakan, pidana, perdata, tata usaha negara, militer, dan peradilan anak tentang kewajiban menggunakan jasa advokat. Menurut Mahkamah, terdapat perbedaan pengaturan antara undang-undang yang satu dengan yang lainnya disebabkan oleh urgensi dan sifat hal yang diatur pun berbeda.
“Sehingga, dalam proses berperkara di pengadilan niaga khususnya untuk perkara kepailitan dan PKPU tidak dapat dipersamakan dengan berperkara di lingkungan peradilan umum. Sebab, sifat hukum yang dijadikan dasar untuk mengadili perkara-perkara tersebut menggunakan paradigma hukum publik yang memerlukan pendampingan atau bantuan hukum,” jelas Enny.
Sementara itu, sambung Enny, dalam peradilan perdata dan tata usaha negara, para pihak dapat beracara sendiri ataupun menunjuk advokat karena sifatnya lebih universal dan tidak memerlukan kekhususan seperti pada peradilan niaga. Namun demikian, apabila pihak yang berperkara tidak mampu secara finansial maka negara hadir dengan memberikan bantuan melalui lembaga bantuan hukum. Hal ini telah diatur dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum (UU 16/2011). Sehingga, penerima bantuan hukum (orang dan/atau kelompok orang miskin) yang menghadapi masalah hukum keperdataan, pidana, dan tata usaha negara dapat memperoleh bantuan hukum secara cuma-cuma sebagaimana tercantum dalam Pasal 22 UU 18/2003.
Baca juga: Pemohon Uji UU Kepailitan dan PKPU Sampaikan Perbaikan Permohonan
Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan Pasal 7 ayat (1) UU 37/2004 mengandung makna hanya seorang advokat yang dapat melakukan tindakan hukum. Sementara warga negara lainnya khususnya para kreditor atau debitor yang bukan seorang advokat justru dinilai tidak memiliki kedudukan hukum untuk beperkara di pengadilan. Pada kasus konkret yang dialaminya, Hendry merupakan kreditor yang sedang melawan debitor KSP Pandawa Mandiri Grup dan Nuryanto di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Ia menggunakan jasa advokat dalam pengajuan perkara di pengadilan,tapi kemudian jika perkara kepailitan berakhir dan pihaknya belum mendapatkan pelunasan, maka untuk mendapatkan hak tersebut dirinya harus kembali menggunakan jasa advokat.
Dengan demikian, menurutnya pasal a quo sangat bersifat diskriminatif dan tidak menjunjung asas kedudukan yang sama di hadapan hukum serta tidak memberikan rasa keadilan bagi Pemohon dan seluruh rakyat Indonesia. Untuk itu, Pemohon meminta pada Mahkamah agar menyatakan Pasal 7 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Permohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 43, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58, Pasal 68, Pasal 161, Pasal 171, Pasal 207, dan Pasal 212 harus diajukan seorang advokat atau seorang kreditur dan/atau debitur yang berlatar belakang pendidikan sarjana hukum.” (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P
Humas: Annisa Lestari