JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak permohonan perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan (UU Kekarantinaan Kesehatan) terhadap UUD 1945. Demikian sidang pengucapan putusan Nomor 14/ PUU-XIX/2021 pada Selasa (29/6/2021). Permohonan ini diajukan Rowindo Hatorangan Tambunan, warga DKI Jakarta.
Amar putusan, mengadili, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya, kata Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi delapan hakim konstitusi lainnya dalam persidangan yang digelar secara daring.
Mahkamah dalam pertimbangan hukum putusan menguraikan definisi kedarutan kesehatan dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang dapat dikatakan sebagai inti permohonan. Pasal 1 angka 2 UU Kekarantinaan Kesehatan menyatakan, Kedaruratan Kesehatan Masyarakat adalah kejadian kesehatan masyarakat yang bersifat luar biasa dengan ditandai penyebaran penyakit menular dan/atau kejadian yang disebabkan oleh radiasi nuklir, pencemaran biologi, kontaminasi kimia, bioterorisme, dan pangan yang menimbulkan bahaya kesehatan dan berpotensi menyebar lintas wilayah atau lintas negara. Selanjutnya Pasal 1 angka 11 UU Kekarantinaan Kesehatan menyatakan, PSBB adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi. Kemudian, Pasal 59 UU Kekarantinaan Kesehatan menyatakan, PSBB merupakan bagian dari respon Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang bertujuan mencegah meluasnya penyebaran penyakit yang sedang terjadi antar orang di suatu wilayah tertentu, yang paling sedikit meliputi peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, dan/atau pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.
Dengan demikian, maka PSBB baru dapat dilaksanakan setelah adanya pernyataan status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat oleh pemerintah. Berdasarkan norma-norma di atas tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa memang sudah tepat pemerintah pusat merupakan pihak yang berwenang untuk menetapkan atau mencabut kedarutan kesehatan masyarakat. Dalam sebuah negara demokrasi, secara postulat telah diterima kebenaran bahwa rakyat merupakan pemegang kedaulatan tertinggi.
Dalam konteks itu pula, Pemerintah mendapatkan mandat dari rakyat untuk memimpin penyelenggaraan bernegara termasuk dalam kondisi kedaruratan kesehatan masyarakat. Dengan demikian, tidaklah terdapat persoalan bilamana Pemerintah yang menetapkan atau mencabut Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Hal demikian sekaligus tidaklah dapat membenarkan dalil atau penilaian Pemohon bahwa kekuasaan pemerintah di atas kedaulatan rakyat,” kata Hakim Konstitusi Saldi Isra membacakan pertimbangan hukum putusan.
Berkenaan dengan dalil Pemohon bahwa proses pembentukan undang-undang yang tidak melibatkan masyarakat, menurut Mahkamah, terhadap dalil demikian baru dapat diketahui apabila terhadap pembentukan dimaksud dapat dilakukan pengujian secara formil sesuai ketentuan yang berlaku. Berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, dalil Pemohon mengenai inkonstitusionalitas norma Pasal 10 ayat (1) UU Kekarantinaan Kesehatan adalah tidak beralasan menurut hukum.
Baca juga:
Warga Persoalkan Dampak PSBB DKI Jakarta
Permohonan Uji UU Kekarantinaan Kesehatan Diperbaiki
Sebagaimana diketahui, Pemohon melakukan pengujian materiil Pasal 10 ayat (1) Kekarantinaan Kesehatan yang menyebutkan bahwa pemerintah pusat menetapkan dan mencabut kedaruratan kesehatan masyarakat. Pemohon merasa sebagai warga negara merasa dirugikan akibat pemberlakuan PSBB untuk wilayah Provinsi DKI Jakarta pada 10 April 2020.
Hal itulah yang mengakibatkan Pemohon tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari antara lain ditutupnya tempat usaha Pemohon. Pemohon juga tidak dapat melakukan ibadah karena tempatibadah ditutup. Selain itu, Pemohon tidak dapat menyekolahkan keponakannya karena sekolah ditutup.
Pemohon juga mendalilkan, pemberlakuan PSBB untuk wilayah Provinsi DKI Jakarta diberlakukan atas Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 380 Tahun 2020 tentang Pemberlakuan Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta pada tanggal 9 April 2020.
Menurut Pemohon, sejak adanya pandemi Covid-19, rasa keadilan Pemohon dan keluarganya merasa terusik dan dirugikan. Begitu juga dengan masyarakat yang merasa banyak dirugikan dalam segala hal. Pemerintah Indonesia beserta media mainstream dalam negeri nampak tidak memiliki imunitas terhadap kesimpangsiuran dan disinformasi yang tersebar terkait Covid-19. Hal inilah yang kemudian menggiring pemerintah Indonesia mengambil kebijakan berdasarkan rasa panik yang disebabkan oleh kesimpangsiuran dan disinformasi.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.
Humas: Lambang TS.