JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak untuk seluruhnya terhadap permohonan yang diajukan oleh Wielfried Milano Maitimu yang mewakili masyarakat adat Ambon-Lease dalam sidang Pengucapan Putusan terhadap uji materiil Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), Selasa (29/6/2021). Pemohon Perkara Nomor 1/PUU-XIX/2021 tersebut mendalilkan ketentuan Pasal 831, Pasal 832, Pasal 834, Pasal 849, Pasal 852, Pasal 852a, Pasal 857, Pasal 862, Pasal 863, Pasal 864, Pasal 865, Pasal 867, Pasal 869, Pasal 872, Pasal 913, Pasal 914, Pasal 916, Pasal 916a, Pasal 920, dan Pasal 921 KUHPer bertentangan dengan Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28 ayat (3) UUD 1945.
Berdasarkan Pertimbangan Hukum Mahkamah yang dibacakan langsung oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyatakan hukum adat adalah subsistem dari sistem hukum nasional. Dengan kata lain, dalam sistem peradilan Indonesia, hukum adat menjadi salah satu sumber hukum dalam memutus perkara. Oleh karena itu, hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara wajib menggali nilai-nilai hukum yang hidup dan masih dipelihara baik di tengah-tengah masyarakat.
Dikatakan oleh Arief bahwa secara normatif, kebebasan hakim dalam memutus perkara demikian telah diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Akan tetapi, jika dalam praktik peradilan terdapat hukum adat yang sudah tidak sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat, maka hakim juga dapat menjatuhkan putusan yang berbeda dengan hukum adat yang berlaku.
“Dengan demikian, lahirlah putusan-putusan hakim yang secara tidak langsung berisikan norma hukum baru yang lebih mencerminkan rasa keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum,” terang Arief dalam sidang yang digelar di Ruang Sidang Pleno MK dengan dihadiri para pihak secara virtual.
Sehubungan dengan permohonan Pemohon yang mendalilkan keberlakuan hukum adat dengan pasal-pasal dalam KUHPer yang mengatur pewarisan, maka Mahkamah berpendapat tidak terdapat hubungan yang bersifat paradoksal antara keduanya terutama jika para pihak sepakat untuk menggunakan sepenuhnya KUHPer. Oleh karena itu, Mahkamah menilai tidak ada relevansi antara mengadopsi hukum adat dalam KUHPer. Selain itu, tidak pula terdapat persoalan konstitusionalitas norma pasal-pasal mengenai pewarisan dalam KUHPer tersebut dengan pengujian konstitusionalitas yang dimohonkan Pemohon.
Baca juga: Masyarakat Adat Ambon-Lease Uji Aturan Pewarisan dalam KUHPerdata
Unifikasi Hukum Pewarisan
Berikutnya Hakim Konstitusi Arief juga menyebutkan mengenai pertimbangan hukum Mahkamah terkait pokok permohonan Pemohon mengenai norma Pasal 832, Pasal 849, Pasal 852, Pasal 852a, Pasal 857, Pasal 914, dan Pasal 916 KUHPer yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Mahkamah memahami permasalahan yang dihadapi Pemohon, yang merasa norma dalam KUHPer telah menegasikan norma hukum adat mengenai pewarisan yang berlaku di masyarakat adat Passo (Ambon-Lease). Namun permohonan Pemohon oleh Mahkamah dinilai tidak sejalan dengan konsep pluralitas hukum di Indonesia, yang menghendaki hubungan kolaboratif dan harmonis antarsubsistem hukum nasional.
Lebih rinci Arief menyebutkan dalam konteks hukum pewarisan yang berlaku di Indonesia, terdapat hukum waris Islam, hukum waris perdata barat (KUH Perdata), dan hukum waris adat secara bersama-sama. Keanekaragaman hukum ini semakin terlihat karena hukum waris adat yang berlaku tidak bersifat tunggal. Terhadap hal ini, sambung Arief, terdapat ide untuk membuat suatu unifikasi hukum pewarisan yang disusun dan dijamin mampu menyerap semua aspirasi, nilai-nilai, dan kebutuhan masyarakat dengan memperhatikan perbedaan latar belakang budaya, agama serta kebutuhan hukum masyarakat. Namun, konsep ini harus disusun dengan hati-hati agar tidak menimbulkan konflik dalam masyarakat. Sebab, para ahli waris yang tunduk kepada hukum pewarisan yang ada di Indonesia pun berbeda-beda.
“Oleh karena itu, apabila tidak terjadi sengketa waris maka masyarakat diberikan hak untuk memilih hukum waris yang akan digunakan dengan sebuah kesepakatan para pihak. Sementara itu, jika terjadi sengketa yang bermuara di pengadilan, maka hakim yang akan menentukan hukumnya. Bahwa pilihan hukum dalam pewarisan menjadi penting dalam rangka pembangunan hukum nasional karena dengan memberikan pilihan subsistem hukum yang sama bagi masyarakat yang berbeda dan terlebih lagi menegasikan subsistem hukum yang lain, justru akan memperlebar jarak antara hukum dengan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat,” jelas Arief.
Baca juga: Pemohon Uji KUHPerdata Sampaikan Perbaikan Pemohon
Dalam sidang sebelumnya, Pemohon mengatakan norma-norma a quo bertentangan dengan ketentuan hukum adat mengenai Pewarisan yang dipraktikkan oleh kesatuan masyarakat hukum adat Maluku, khususnya masyarakat Ambon. Pasalnya, sistem hukum adat yang mengatur Pewarisan tidak dapat dipakai lagi karena peradilan di Indonesia dalam memutus suatu perkara waris merujuk pada KUHPer tersebut. Akibatnya, Pemohon yang seharusnya memiliki hak waris selaku ‘anak rumah’ berupa sebuah rumah tinggal (atau disebut juga rumahtua dalam hukum adat Maluku) tidak dapat memiliki hak tersebut. Untuk diketahui, ‘anak rumah’ merupakan sebuah sistem keturunan di Ambon, yakni anak yang tidak diakui oleh pihak keluarga laki-laki, namun tetap diakui oleh keluarga perempuan dan dapat melanjutkan garis keluarga dari pihak keluarga perempuan.
Singkatnya dalam kasus konkret, setelah wafatnya Ibu Pemohon pada 2018 lalu, sertifikat hak milik atas rumahtua berada dalam kekuasaan sepihak suami mendiang ibunya. Rumah tersebut hendak dijual dan akan dibagikan hasil penjualannya sesuai dengan ketentuan norma dalam KUHPer. Sementara itu, menurut Pemohon dalam ketentuan adat masyarakat Maluku, hal demikian tidak boleh dilakukan. Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan keseluruhan norma yang diujikan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat atau konstitusional bersyarat sepanjang tidak dipakai untuk mengadili sengketa yang berhubungan dengan masyarakat hukum adat.(*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P
Humas: Andhini S.F