SETELAH melalui berbagai pertimbangan, akhirnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Perubahan 2008 disahkan dalam rapat paripurna DPR,Kamis (10/4) lalu.
Lima dari tujuh asumsi yang disepakati November 2007 mengalami perubahan. Hanya asumsi nilai tukar rupiah (Rp9.100 per dolar Amerika Serikat) dan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (7,5%) yang tidak berubah. Pertumbuhan ekonomi ditetapkan6,4%, turun dari harapan semula 6,8%. Inflasi dipatok pada angka 6,5%,naik 0,5% dibanding angka sebelumnya.
Asumsi harga minyak di- tetapkan USD95 per barel, jauh lebih realistis dibanding angka sebelumnya USD60. Target produksi minyak siap jual (lifting) diputuskan pada angka 927.000 barel per hari, turun dari rencana sebelumnya, 1,034 juta barel. Seperti yang mudah diduga, angka-angka subsidi untuk energi dan pangan meningkat.
Gejolak harga minyak dan pangan dunia memang merupakan beban yang bila tidak diantisipasi dengan baik akan melemahkan kapasitas pemerintah dalam mengelola ekonomi nasional. Meski dinilai realistis, APBN-P ini masih dianggap belum kredibel.Sebab,upaya untuk mengatasi defisit yang diperkirakan sebesar 2,1% Produk Domestik Bruto (PDB) masih saja bersumber pada kebijakan yang ituitu saja, yaitu menambah utang baru dengan penerbitan surat utang (obligasi).
Penetapan angka pertumbuhan ekonomi dan tingkat inflasi juga masih dianggap terlalu optimistis.Angka pertumbuhan ekonomi yang paling realistis sesungguhnya berada pada kisaran 5,9â6,2%.Sebagai perbandingan adalah China,yang terbiasa dengan angka pertumbuhan sekitar 11%,merevisi pertumbuhannya pada kisaran 8,6 â 9,4% untuk 2008.
Padahal pada 2007,dengan lingkungan eksternal yang dinilai lebih menguntungkan (favorable), ekonomi nasional hanya tumbuh 6,3%.Keterbatasan daya topang infrastruktur, pemangkasan prosedur birokrasi,dan peningkatan produktivitas tenaga kerja yang lambat, membuat dinamika ekonomi yang meningkat segera menemui kendala mudah panas alias ngosngosan( keletihan).
Resesi ekonomi dunia, yang oleh George Soros dikatakan yang terburuk sejak Depresi Besar 1929, hampir dipastikan memperlambat pertumbuhan ekspor.Pelambatan ini sudah terjadi di 2007 dan akan semakin terasa pada 2008.Keluhan para eksportir produk manufaktur dan rangkaian pemutusan hubungan kerja (PHK) yang sering diberitakan merupakan pertanda jelas dan sulit dibantah.
Dari sisi pendapatan, target penerimaan pajak juga amat berat pencapaiannya. Realisasi penerimaan pajak tahun lalu, meski targetnya sudah diturunkan dalam APBN-P 2007, juga jauh di bawah target. Bila target tahun ini tak tercapai lagi,yang berarti ancaman defisit akan semakin besar, dikhawatirkan akan memaksa pemerintah menarik utang dengan konsesi yang lebih merugikan masa depan bangsa.
Angka inflasi lebih dipertanyakan. Sebab, inflasi Januari-Maret saja, seperti yang dilaporkan Badan Pusat Statistik (BPS), sudah mencapai angka 3,41%, sementara inflasi tahunan dari Maret 2007 s/d Maret 2008 (year on year) mencapai 8,17%.Dengan melihat kecenderungan harga komoditas pangan yang diramalkan akan terus naik sampai akhir 2009, dan gejala kelangkaan serta antrean berbagai komoditas di dalam negeri, maka target inflasi 6,5% dianggap hanya bisa dicapai bila ada keajaiban.
Di hampir semua negara, saat ini terjadi apa yang disebut stagflasi (pengangguran disertai inflasi).Pengangguran merebak di mana-mana bersamaan dengan kebingungan meredam laju inflasi. Gejala penonjolan kepentingan nasional di sejumlah negara maju, termasuk menguatnya sentimen antiperdagangan bebas di ASâ negara yang dianggap pelopor utama liberalisasiâbisa ditafsirkan sebagai upaya koreksi terhadap perkembangan ekonomi dunia yang kurang menguntungkan.
Salah satu akar merebaknya stagflasi adalah fenomena investasi dalam sektor riil yang dianggap memberi hasil lebih rendah dibanding sektor keuangan yang terus-menerus mengalami euforia spekulatif dan penggelembungan (bubble).Terjadi semacam keterlepaskaitan (decoupling) antara sektor riil dan sektor keuangan. Itu sebabnya pertumbuhan tinggi di sektor finansial diwarnai ancaman mogok buruh di berbagai belahan bumi.
Niat pemerintah AS untuk menata ulang sektor keuangan dengan regulasi lebih ketat menunjukkan desakan kuat agar pemanjaan terhadap lalu lintas modal segera diakhiri sebelum melahirkan akibat yang lebih parah. Lembaga-lembaga dunia yang selama ini menjadi pengawal globalisasi, terutama Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia, yang dalam konsepsi awalnya merupakan hasil konsensus bersama dalam rangka menciptakan situasi saling menguntungkan, ternyata dalam perkembangannya ikut menentukan politik anggaran negara miskin yang sudah begitu tergantung kepada mereka.
APBN merupakan salah satu instrumen untuk menavigasi ekonomi nasional dalam konteks turbulensi ekonomi dunia. APBN yang kredibel akan dijadikan acuan bagi semua pelaku ekonomi dalam membuat keputusan-keputusan strategis.Tekad pemerintah bisa dibaca dari politik anggaran yang dijalankan. Jangan sampai terjadi, perubahan APBN yang kita buat hanya menyampaikan isyarat dari kebimbangan satu ke kebimbangan lain dan melahirkan ketidakpastian baru.
Jangan sampai para pelaku pasar pasrah dan tidak melihat makna dari suatu perubahan penting yang kita lakukan. Bila ini yang terjadi, pendulum bergerak dari âAPBN Krisisâ ke âKrisis APBNâ.(*)
*)Alumnus Tinbergen Institute,Belanda.Dosen UKSW,Salatiga
Sumber www.seputar-indonesia.com
Foto www.google.co.id