JAKARTA, HUMAS MKRI Mekanisme yang dilakukan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam memeriksa perkara pengujian undang-undang, apabila dalam satu permohonan terdapat dua pengujian yakni pengujian formil dan materiil, maka pemeriksaan permohonan akan digabung. Putusannya juga menjadi satu. Misalnya, permohonan pengujian UU Cipta Kerja. Pemohon meminta UU Cipta Kerja dibatalkan karena prosedur pembentukannya tidak memenuhi syarat. Kemudian masih dalam permohonan itu juga, Pemohon meminta ayat atau pasal dari UU Cipta Kerja dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
“Ada beberapa kemungkinan putusannya, misalnya pengujian formilnya dikabulkan. Kalau pengujian formil dikabulkan, maka kami tidak perlu lagi menyinggung pengujian materiil dalam putusan itu. Karena pengujian formil sudah membatalkan undang-undang, sehingga tidak ada relevansinya untuk memeriksa pengujian materiilnya, papar Wakil Ketua MK Aswanto saat menjadi narasumber Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) yang diselenggarakan Fakultas Hukum (FH) Universitas Sawerigading Makassar secara daring pada Sabtu (26/6/2021).
Lebih lanjut Aswanto menguraikan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 terbagi menjadi dua yakni pengujian formil dan materiil. Pengujian formil adalah pengujian yang berkaitan dengan proses pembentukan undang-undang.
“Misalnya, saat ini MK sedang menangani permohonan pengujian UU Cipta Kerja. Permohonan pengujian UU Cipta Kerja yang diajukan ke MK cukup banyak. Dari permohonan-permohonan itu, ada Pemohon yang hanya melakukan uji materiil. Artinya, hanya substansinya yang dipersoalkan. Namun ada juga permohonan yang selain melakukan uji materiil, juga melakukan uji formil, terang Aswanto.
Sedangkan pengujian materiil adalah pengujian yang berkaitan dengan muatan dalam ayat, pasal dan/atau bagian dari undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Berdasarkan Putusan MK Nomor 27/PUU-VII/2009, MK telah menetapkan batas waktu pengujian formil sebuah undang-undang adalah 45 hari setelah undang-undang tersebut dimuat dalam lembaran negara.
Dikatakan Aswanto, sebelumnya undang-undang yang dapat diuji di MK adalah undang-undang yang diundangkan setelah perubahan UUD 1945, sesuai ketentuan dalam Pasal 50 UU No. 24/2003. Namun dalam perkembangan pelaksanaan kewenangannya, MK menyatakan Pasal 50 UU No. 24/2003 bertentangan dengan UUD 1945. Pasal tersebut dinyatakan inkonstitusional berdasarkan Putusan MK No. 066/PUU-II/2004 yakni pengujian UU No. 1 Tahun 1987 tentang Kadin. Dengan demikian, MK berwenang menguji semua undang-undang yang telah disahkan. Selain itu, berdasarkan Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009, MK menyatakan berwenang menguji peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) dengan pertimbangan bahwa perpu menimbulkan norma hukum baru yang kekuatan berlakunya sama dengan undang-undang.
Sebagaimana diketahui, MK memiliki kewenangan melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD, serta memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD. Selain itu, MK berwenang memutus pembubaran partai politik (parpol). Parpol dapat dibubarkan apabila bertentangan dengan haluan negara. Sebagai Pemohon untuk mengajukan permohonan pembubaran parpol ke MK adalah pemerintah.
MK juga berwenang memutus perselisihan hasil pemilu, baik pemilihan presiden maupun pemilihan legislatif. Bagaimana dengan pilkada? Kewenangan menangani sengketa hasil pilkada pertama kali dimiliki oleh Mahkamah Agung (MA). Kemudian MA mengalihkan kewenangannya ke pengadilan tinggi untuk menangani sengketa pilkada di tingkat kabupaten/kota. Sementara untuk sengketa pilkada di tingkat provinsi tetap ditangani MA.
Seiring dengan perkembangan zaman, ujar Aswanto, setelah melalui diskusi-diskusi panjang, kewenangan menangani sengketa hasil pilkada dialihkan ke MK. Setelah itu, ada Putusan MK yang menegaskan bahwa penanganan perselisihan hasil pilkada bukan merupakan kewenangan MK. Dalam putusan tersebut terdapat klausul yang menyatakan bahwa yang mempunyai kewenangan menangani perselisihan hasil pilkada adalah peradilan khusus. Tetapi sepanjang belum ada peradilan khusus, maka penanganan sengketa hasil pilkada tetap menjadi kewenangan MK.
Selain memiliki empat kewenangan, ungkap Aswanto, MK juga memiliki kewajiban memutus pendapat DPR apabila ada dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan tindakan melanggar hukum atau melakukan perbuatan tercela. Pihak yang memohon putusan adalah DPR yang diwakili oleh Pimpinan DPR yang dapat menunjuk kuasa hukumnya. Pihak yang diduga melakukan pelanggaran adalah Presiden dan/atau Wakil Presiden yang dapat didampingi dan/atau diwakili oleh kuasa hukum.
Di samping itu, DPR wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya mengenai dugaan bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden berdasarkan UUD 1945.
Dasar Pembentukan MK
Pada kesempatan ini Aswanto juga menjelaskan dasar pembentukan MK sesuai Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya, dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh Mahkamah Konstitusi.
Hal lain, lanjut Aswanto, UU MK tidak semuanya memuat hal-hal yang berkaitan dengan MK, misalnya Hukum Acara MK. Oleh sebab itu, dibuatlah Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK). Ada PMK tentang Pedoman Beracara dalam Pengujian Undang-Undang, PMK tentang Pedoman Beracara dalam Sengketa Kewenangan Lembaga Negara, PMK tentang Prosedur Beracara dalam Pembubaran Parpol, PMK tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota. Juga PMK tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilu Legislatif.
Inilah aturan-aturan formil yang melengkapi apa yang sudah ada dalam UU MK yang menjadi pedoman untuk beracara di MK, jelas Aswanto.
Lebih lanjut Aswanto menyampaikan bahwa yang dapat mengajukan sebagai Pemohon di persidangan MK adalah perorangan warga negara, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum publik atau privat, serta lembaga negara. Berikutnya, Aswanto menerangkan mengenai pemberian kuasa untuk persidangan di MK. Pemohon dan atau Termohon dapat didampingi atau diwakili kuasa hukum, sedangkan badan hukum publik atau privat bisa didampingi kuasa atau menunjuk kuasa. Kuasa hukum dalam persidangan MK tidak harus advokat. Jaksa pengacara negara dapat menjadi kuasa dalam persidangan di MK. Misalnya dalam Perselisihan Hasil Pemilu 2009, jaksa menjadi kuasa dari Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Mengenai sistematika permohonan, terdiri atas identitas Pemohon, Kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum, posita, petitum. Aswanto juga menerangkan sejumlah alasan pemohon menguji undang-undang ke MK, antara lain hak-hak konstitusional pemohon yang dirugikan oleh berlakunya undang-undang. Kerugian konstitusionalnya bersifat spesifik, aktual dan potensial. Selain itu harus ada korelasi, hubungan sebab akibat antara hak konstitusional yang dijamin oleh UUD dengan berlakunya undang-undang.
MK juga memberikan legal standing kepada organisasi non pemerintah yang peduli terhadap isu-isu tertentu yang berkaitan dengan berlakunya undang-undang tertentu untuk mengajukan perkara ke MK. Pembayar pajak (tax payer) juga memiliki kewenangan mengajukan perkara di MK. Timbulnya legal standing dalam hal ini akan dilihat dari keterkaitan antara pembayaran pajak dengan ketentuan yang diuji, sesuai Putusan MK No. 003/PUU-I/2003 terhadap pengujian UU Surat Utang Negara.
Erga Omnes
Bicara mengenai Putusan MK, Aswanto mengatakan bahwa Mahkamah Konstitusi mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Semua pihak harus tunduk dan melaksanakan. Putusan MK memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Putusan MK bersifat erga omnes. Norma yang telah dibatalkan oleh MK tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat meskipun norma yang sama diatur dalam undang-undang lain yang tidak/belum dimohonkan pengujian ke MK.
Kemudian mengenai amar Putusan MK, ada yang berupa permohonan Pemohon tidak dapat diterima (NO), permohonan Pemohon dikabulkan sebagian atau seluruhnya, menolak sebagian atau seluruh permohonan Pemohon, serta amar putusan bersifat konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) maupun inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional), konstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional).
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.
https://youtu.be/AL9DWyRmDEw