JAKARTA, HUMAS MKRI – Sosialisasi Budaya Antikorupsi bagi seluruh pegawai Mahkamah Konstitusi (MK) digelar pada Rabu (23/6/2021) siang. Dion Hardika Sumarto selaku Kasatgas Regulasi, Renbang dan Aplikasi Jaringan Pencegahan Korupsi dari Direktorat Gratifikasi dan Pelayanan Publik di KPK hadir sebagai pembicara secara daring.
Materi yang dibahas mengenai pengendalian gratifikasi, termasuk regulasi dan proses pelaporannya. Di awal, Dion menyinggung adanya Pasal 12B ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang dikenal sebagai pasal gratifikasi.
Pasal 12B ayat (1) UU Tipikor menyebutkan, “Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggaran negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut : a. yang nilainya Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi; b. yang nilainya kurang dari Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.”
Sedangkan Pasal 12B ayat (2) UU Tipikor berbunyi, “Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggaran negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
Sementara Pasal 12 C ayat (1) UU Tipikor menyatakan, “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.” Kemudian pada ayat (2), “Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitng sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.” Pada ayat (3), “Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara.” Sedangkan pada ayat (4), “Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam Undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.”
"Kekuatan dari pasal gratifikasi ini ada penekanan pada hal pembalikkan beban pembuktian, sehingga untuk pemberian yang sudah lama tidak terdeteksi, kemudian pada suatu saat ter-blow up. Hal ini tetap bisa diangkut dengan pasal gratifikasi,” jelas Dion yang didampingi Inspektur MK Budi Achmad Djohari.
Pasal gratifikasi tersebut diadopsi dari Pasal 42 ayat (2) Anti Corruption Act, 1997 (ACA 1997, Malaysia). Bahwa pada semua proses terhadap setiap orang yang didakwa melanggar Pasal 161, 162, 163, atau 164 Hukum Pidana Malaysia, telah dibuktikan bahwa orang itu telah menerima atau setuju untuk menerima atau memperoleh atau mencoba untuk memperoleh suatu pemberian, maka orang itu dianggap telah melakukan perbuatan demikian sebagai motif atau hadiah atas hal-hal yang dinyatakan secara khusus dalam delik itu, kecuali dibuktikan sebaliknya.
Mengenai pendekatan gratifikasi, ungkap Dion, terbagi menjadi Repressive Corruption Article Approach (Pendekatan Pasal Penindakan Korupsi) dan Prevention Corruption Article Approach (Pendekatan Pasal Pencegahan Korupsi).
Selanjutnya Dion menerangkan mekanisme pelaporan gratifikasi. “Mekanisme pelaporan dapat digunakan untuk memfasilitasi mereka yang memiliki itikad baik untuk menjaga integritasnya ketika menerima sesuatu. Mungkin khawatir mengancam keselamatan jiwa atau karirnya, maka disediakanlah mekanisme pelaporan gratifikasi,” ujar Dion.
Hadiah Hingga Suap
Lebih lanjut Dion menjelaskan, pengertian hadiah sebagai pemberian yang wajar karena hubungan baik, tidak terkait sama sekali dengan jabatan. Hadiah bisa bergeser menjadi gratifikasi sebagai pemberian dalam arti luas, penerimanya pegawai negeri atau penyelenggara negara. Gratifikasi pun bisa bergeser menjadi gratifikasi ilegal, bila berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan tugas dan kewajiban. Selanjutnya gratifikasi ilegal bisa berubah menjadi suap, bila terjadi transaksional dan pertemuan kehendak.
Dion juga mengungkapkan upaya pencegahan melalui pengendalian gratifikasi di instansi maupun organisasi. Upaya pencegahan dapat melalui pendekatan edukasi agar seluruh pegawai mengetahui pelaporan gratifikasi dan menerapkan budaya anti gratifikasi di organisasinya. Selain itu laporan gratifikasi dapat menjadi management tools dalam rangka melakukan risk assessment dan identifikasi titik rawan. Juga bersama dengan Unit Pengendalian Gratifikasi (UPG) di instansi menerapkan budaya anti gratifikasi dengan kegiatan pemeriksaan.
Hal lain, Dion menyinggung masalah sikap seseorang jika menerima gratifikasi suap. Bisa bersikap menolak, jika terindikasi gratifikasi itu dianggap suap. Bisa juga bersikap tidak dapat menolak, namun segera melaporkan kepada pihak yang berwenang. Kalau ragu dengan penerimaan gratifikasi, bisa berkonsultasi dengan UPG masing-masing instansi. Di sisi lain, Dion menyebut ada gratifikasi yang tidak wajib dilaporkan jika hal itu berlaku umum, baik jenis, persyaratan dan nilai sama dan memenuhi prinsip kewajaran. Tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Juga dalam ranah adat istiadat, kebiasaan, dan norma yang hidup di masyarakat serta dipandang sebagai wujud ekspresi, keramah-tamahan.
Bukan Isu Baru
Selanjutnya, Dion menjelaskan materi konflik kepentingan yang sebenarnya bukan merupakan isu baru, sudah banyak contoh dan KPK juga sudah menerbitkan penanganan konflik kepentingan. Ada kisah konflik kepentingan dari Bung Hatta yang bahkan kepada istrinya sendiri, ia merahasiakan program pemotongan uang karena merupakan urusan negara, meskipun hal itu merugikan keluarga Bung Hatta. Juga contoh dari Pak Hoegeng, polisi teladan dan jujur di masa lalu. Hoegeng menolak penyediaan fasilitas perabotan rumah tangga dari seorang penguasaha, karena ia paham hal ini akan menjerat dirinya. “Konflik kepentingan bisa timbul secara alami. Namun konflik kepentingan perlu dibantu dengan sistem agar kita tidak mengutamakan kepentingan pribadi dan lebih mendukung kepentingan bersama,” ucap Dion.
Berikutnya, Dion membahas jenis-jenis konflik kepentingan yang bisa terjadi. “Di antaranya ada konflik kepentingan potensial yakni situasi kita memegang jabatan atau kewenangan dan suatu saat di masa mendatang Anda dapat dipengaruhi kepentingan pribadi maupun kelompok ketika hendak melaksanakan tugas,” kata Dion yang juga menjelaskan ada konflik kepentingan aktual dan konflik kepentingan yang dipersepsikan.
Bagian terakhir, Dion menerangkan mengenai Whistle Blowing System (WBS) atau Pengelolaan Pengaduan Masyarakat. Dion mengatakan, pemahaman di berbagai lembaga tentang WBS sangat beragam. Sebagian besar WBS diartikan sebagai aplikasi. Hal yang kedua, ada pihak yang mendefinsikan WBS sebagai media pelaporan. Kemudian yang ketiga, WBS diartikan sebagai pelaporan dan penanganan. Selain itu WBS diartikan sebagai tempat orang untuk melapor.
“Sebenarnya apa makna dari WBS? Kami mendefinisikan WBS sebagai serangkaian prosedur yang disusun untuk menerima dan menangani informasi dugaan pelanggaran yang ditindak-lanjuti secara profesional, transparan, akuntabel dan mengutamakan kerahasiaan. Jadi tidak sekadar melapor. Jika melapor tapi tidak ditangani secara profesional, tidak ditindak-lanjuti, itu bukan WBS,” tegas Dion yang juga menyebut prinsip WBS meliputi kerahasiaan, mudah dan cepat diakses, profesionalitas pengelolaan, monitoring pengevaluasian secara berkala. (*)
Penulis : Nano Tresna Arfana
Editor : Lulu Anjarsari P