JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU 37/2004) pada Kamis (17/06/2021) secara daring. Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 23/PUU-XIX/2021 ini diajukan oleh PT. Sarana Yeoman Sembada yang diwakili oleh Sanglong alias Samad selaku Direktur Utama menguji norma Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU 37/2004.
Dalam persidangan yang dipimpin oleh Hakim Konsitusi Enny Nurbaningsih dengan didampingi Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Hakim Konstitusi Suhartoyo, Pemohon yang diwakili kuasa hukumnya Husendro mengatakan bahwa Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU 37/2004 menutup keadilan bagi Pemohon.
“Pada prinsipnya pokok perkara yang kami ajukan itu pengujian terhadap pasal 235 ayat (1) dan pasal 293 ayat (1). Alasan kami adalah pasal ini menutup akses keadilan dalam melakukan upaya hukum baik yang sifatnya biasa, kasasi maupun luar biasa peninjauan kembali atas permasalahan-permasalahan perkara PKPU di pengadilan niaga Medan atas permohonan PKPU pemohon,”ujar Husendro.
Lebih lanjut Husendro menjelaskan bahwa Pemohon dijatuhkan status PKPU pada putusan perkara yang keempat yang artinya ada 3 (tiga) perkara yang sebelumnya yang pihaknya, alat buktinya sama ditolak. Tetapi pada perkara keempat pihaknya sama, alat buktinya sama, tetapi dikabulkan.
Dalam permohonannya, pemohon menguraikan dalam putusan MK Nomor 17/PUU-XVIII/2020, salah satu poin penting pertimbangan Majelis Hakim adalah menempatkan “mekanisme proposal perdamaian” sebagai sebuah mekanisme yang menjamin proses hukum acara berjalan adil dan cepat. Padahal dalam sudut pandang perkara Pemohon, justru permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dijadikan sebagai modus untuk mempailitkan sebuah badan usaha privat.
Pemohon menjelaskan mekanisme proposal perdamaian tersebut bukan digunakan untuk mencari solusi tetapi justru legitimasi agar dipailitkan karena substansi permasalahan pembuktian hukumnya sendiri bermasalah sehingga putusan yang menjatuhkan adanya PKPU Sementara itu sendiri bermasalah. Tidak ada upaya hukum apapun atas putusan PKPU sementara ini. Sehingga jika Termohon dijatuhkan PKPU Sementara kemudian Proposal Perdamaiannya ditolak (meskipun tidak mengakui adanya utang), maka langsung otomatis dipailitkan.
Kemudian, Pemohon menilai seharusnya atas Putusan PKPU yang bermasalah ini tetap terbuka diajukan upaya hukum agar kebenaran sesungguhnya atas keberadaan adanya utang atau tidak dapat dibuktikan terlebih dahulu sebelum dijatuhnya putusan PKPU yang berujung pada adanya putusan pailit karena modus operandi yang mengingkari semangat perdamaian.
Menurut Pemohon Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU 37/2004 bertentangan dengan UUD 1945, pernah diajukan judicial review dan telah diputus berdasarkan putusan Nomor 17/PUU-XVIII/2020. Amar putusan tersebut menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Akan tetapi permohonan tersebut terkait ketidakpastian honor Kurator yang mengakibatkan PT Korea World Center Indonesia dinyatakan Pailit. Sedangkan Pemohon mengajukan judicial review ini terkait tentang proses pembuktian materiil yang tidak benar dan tidak mencerminkan keadilan yang sangat merugikan Pemohon terhadap putusan pengadilan negeri niaga.
Hal ini telah berakibat Pemohon merasa hak hukumnya telah dirampas dan dirugikan, dikarenakan ketentuan bunyi pasal tersebut. Padahal upaya hukum Kasasi dan PK merupakan suatu upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa agar Putusan Pengadilan baik dalam tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, maupun MA yang telah berkekuatan hukum tetap dapat dimintakan pemeriksaan kembali kepada MA sebagai Lembaga Peradilan Tertinggi Negara, yang dimaksudkan untuk memperbaiki kesalahan atau kekeliruan bila terjadi atas putusan Pengadilan di tingkat yang lebih rendah oleh Pengadilan yang lebih tinggi. Dimana kesalahan atau kekeliruan tersebut merupakan kodrat manusia, termasuk Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara, meskipun Permohonan Kasasi dan Peninjauan Kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan.
Sehingga dalam Petitumnya, Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, untuk itu dapat diajukan upaya hukum Kasasi dan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Perbaiki Kedudukan Hukum
Usai mendengarkan alasan permohonan pemohon, Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyarankan pemohon untuk menguraikan kedudukan hukum. Selain itu, Pemohon harus mampu mengkonstruksikan alasan pasal yang diujikan tersebut bertentangan dengan UUD. Menurut Arief, di dalam permohonan pemohon banyak menguraikan kasus konkrit. Sementara Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih meminta pemohon untuk mencermati sistematika permohonan dengan melihat peraturan MK. (*)
Penulis : Utami Argawati
Editor : Lulu Anjarsari P
Humas : M. Halim
https://youtu.be/ISDjqJN45tw