JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang lanjutan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (UU KY) kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (16/6/2021) secara virtual. Permohonan uji materi UU KY diajukan oleh Burhanudin, peserta seleksi hakim ad hoc di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada 2016.
Agenda persidangan perkara Nomor 92/PUU-XVIII/2020 kali ini yakni mendengarkan keterangan DPR, Pemerintah dan Pihak Terkait Mahkamah Agung (MA) serta Komisi Yudisial (KY). Dalam persidangan, Pemerintah yang diwakili oleh Staf Ahli Bidang Hubungan antar Lembaga, Dhahana Putra mengatakan ketentuan Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945 merupakan landasan konstitusional KY sebagai lembaga negara yang berada dalam ranah kekuasaan kehakiman sebagaimana telah dinyatakan dalam Bab 9 UUD 1945 dimana dalam sistem peradilan lembaga yang diberi kekuasaan kehakiman sebagaimana ketentuan pasal 24 Ayat (2) dan Pasal 24 Ayat (3) UUD 1945.
Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.” Pasal 24 Ayat (3) UUD 1945 menyatakan, “Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.”
Dikatakan Putra, berdasarkan ketentuan pasal 24B Ayat (3) UUD 1945, KY merupakan badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang dalam melaksanakan fungsi-fungsinya tersebut diatur oleh UU. Pasal tersebut secara tegas menyatakan fungsi-fungsi KY. Lebih lanjut Putra mengatakan, frasa “dan hakim ad hoc” tidak tersirat dalam ketentuan UUD 1945 namun berada pada implementasi fungsi peradilan sebagai bagian dari fungsi peradilan di Indonesia dalam rangka penegakkan hukum dan keadilan. Selain itu, dalam Bab 9 UUD 1945 sistem peradilan dapat dibentuk sebagai politik hukum untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan berbagai cara untuk memfungsikan elemen-elemen hukum serta nilai-nilai akademis yang dapat mengimplementasikan hukum untuk mencapai rasa keadilan.
“Implementasi dalam memfungsikan elemen-elemen hukum yang ada dengan menciptakan gabungan pelaksanaan keadilan di dalamnya dengan adanya hakim karir, hakim non karir dan hakim ad hoc yang pelaksanaannya diatur dalam UU,” kata Putra dalam persidangan secara daring yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman.
Menurut Putra, keberadaan hakim ad hoc merupakan implementasi pelaksanaan sistem peradilan yang memfungsikan elemen hukum sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman yang pelaksanaannya diatur dalam berbagai UU. Dalam ketentuan Pasal 25 UUD 1945, syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai hakim ditentukan oleh UU. Ketentuan Pasal 25 UUD 1945 sebagai syarat semua unsur baik keberadaan hakim karir, non-karir, dan hakim ad hoc, pelaksanaannya harus diatur oleh UU sebagai sistem peradilan.
Selain itu, landasan KY tidak hanya berdasarkan pada Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945 saja. Akan tetapi juga berdasarkan ketentuan Pasal 24 Ayat (3), Pasal 24 Ayat (4), dan Pasal 25 UUD 1945 yang mana pasal-pasal tersebut secara konstitusional memberikan keleluasaan dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman dengan menciptakan sistem peradilan yang baik, akuntabel, transparan dan implementatif. Kemudian dalam rangka memberikan hak-hak konstitusional bagi warga negara dalam memperoleh keadilan, secara yuridis Pasal 24 Ayat (3), Pasal 24 Ayat (4), dan Pasal 25 UUD 1945 tidak membatasi ketentuan Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945 namun memberikan keleluasaan untuk mengatur lebih lanjut dengan UU.
Kewenangan KY, lanjut Putra, tidak hanya menyeleksi hakim agung namun juga menyeleksi hakim ad hoc sesuai ketentuan Pasal 24 Ayat (3), Pasal 24 Ayat (4), dan Pasal 25 UUD 1945. Frasa “dan hakim ad hoc” dalam Pasal 13 huruf a UU KY merupakan open legal policy pembentuk UU untuk memenuhi kebutuhan hukum dalam masyarakat secara substansi tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Pada kesempatan yang sama, MK juga mendengar keterangan MA dan KY selaku Pihak Terkait. MA diwakili Andi Julia Cakrawala dalam keterangannya menyampaikan bahwa pada dasarnya Pasal 24B UUD 1945 menyebutkan UU KY yang berkaitan dengan pengusulan pengangkatan hakim agung norma tersebut tidak menyebutkan secara eksplisit tentang kewenangan KY untuk mengusulkan pengangkatan hakim ad hoc pada MA namun kewenangan tersebut diberikan kepada KY melalui UU KY. Hakim ad hoc pada MA adalah seorang yang diangkat berdasarkan persyaratan yang ditentukan UU untuk mengadili suatu perkara tertentu yang diajukan ke MA bersama-sama hakim agung.
Lebih lanjut Andi menyatakan, penentuan kualifikasi hakim ad hoc sebagai pejabat negara atau bukan kebijakan hukum terbuka yang sewaktu waktu dapat diubah oleh pembentuk UU sesuai tuntutan kebutuhan yang ada. Hakim ad hoc yang saat ini tidak sama kedudukannya dengan hakim karir namun pada waktu yang akan datang dapat saja disamakan oleh pembentuk UU dengan hakim karir.
“Meskipun saat ini tidak menyamakan kedudukan hakim agung dengan hakim ad hoc pada MA namun dari segi tugas, UU memberikan kewenangan kepada hakim ad hoc untuk bersama-sama dengan hakim agung mengadili perkara tertentu yang ditujukan kepada MA sesuai kualifikasi jabatan dan kewenangannya,” ujar Andi.
Menurutnya, KY selama ini telah menjalankan kewajibannya untuk melakukan pengusulan hakim agung dan hakim ad hoc pada MA sebagai pelaksana ketentuan Pasal 24A dan Pasal 24B UUD 1945. MA memiliki kekuasaan organisasi, administrasi dan finansial namun terkait khusus pengusulan hakim ad hoc pada MA, MA merupakan user dari hasil rekruitmen hakim ad hoc yang dilakukan oleh KY sesuai UU KY.
Sementara KY yang diwakili oleh Binziad Kadafi mengatakan bahwa KY memiliki wewenang untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di MA kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan. Berdasarkan ketentuan pasal 13 huruf a UU KY, sambungnya, KY hanya berwenang mengusulkan hakim agung dan hakim ad hoc. Hal tersebut berkaitan dengan jenis hakim ad hoc yang berada di lingkungan badan peradilan yang terdiri atas hakim ad hoc di pengadilan negeri, pengadilan tinggi dan MA.
Binzaid menjelaskan, ketentuan Pasal 13 huruf a UU KY hanya memberikan kewenangan kepada KY untuk mengusulkan hakim ad hoc pada MA, tidak di pengadilan negeri dan pengadilan tinggi. Hal ini didasari oleh alasan struktur tugas dan fungsi hakim ad hoc di MA sama dengan hakim agung. Secara hukum dan dalam praktek pelaksanaan kehakiman baik hakim ad hoc di MA maupun hakim agung membentuk majelis hakim yang sama dengan jumlah sekurang-kurangnya 3 orang untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tindak pidana korupsi.
Baca Juga:
Menguji Kewenangan KY Mengusulkan Pengangkatan Hakim Ad Hoc
Penguji Kewenangan KY Perbaiki Kerugian Konstitusional
Pemerintah Belum Siap, Sidang Uji UU KY Ditunda
Untuk diketahui, permohonan uji materi UU KY diajukan oleh Burhanudin, seorang dosen yang pernah mengikuti seleksi hakim ad hoc di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada 2016. Adapun norma yang diujikan yakni Pasal 13 huruf a UU KY.
Dalam persidangan sebelumnya, Zainal Arifin Hoesein selaku kuasa Pemohon mengatakan bahwa Pemohon merasa hak konstitusionalnya dirugikan oleh ketentuan Pasal 13 huruf a UU KY, khususnya frasa “dan hakim ad hoc”. Selain itu, aturan hukum dalam UU a quo yang menyamakan hakim ad hoc dengan Hakim Agung, merupakan pelanggaran konstitusional terhadap Pasal 24B ayat (1) UUD 1945.
Menurutnya hakim ad hoc pada MA tidak sama dengan hakim agung baik status, fungsi, dan kewenangan yang melekat pada jabatannya. Jabatan hakim ad hoc pada MA tidak sama dan tidak bisa disamakan dengan jabatan hakim agung. Model seleksi terhadap hakim ad hoc, khususnya Tipikor yang dilakukan oleh MA yang diatur dalam UU Pengadilan Tipikor, sebelum berlakunya ketentuan UU KY, lebih memberikan jaminan kepastian hukum dan sesuai kompetensi seorang hakim ad hoc di bidang tertentu sebagaimana yang dibutuhkan oleh MA.
Lebih lanjut Zainal menjelaskan, Pengadilan Tipikior bernaung di MA sebagai pengadilan khusus di bawah lembaga peradilan umum. Menurutnya, kebijakan negara dalam menghadapi korupsi yang sudah menjadi kejahatan luar biasa adalah dengan membentuk lembaga negara independen, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019. Guna mendukung kinerja KPK, sambung Zainal, maka dibentuk pengadilan khusus yang diletakkan pada MA di bawah lembaga peradilan umum.
Ketentuan hakim ad hoc merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kewenangan MA baik yang ditentukan dalam UUD 1945 maupun UU Kekuasaan Kehakiman. Dengan adanya ketentuan Pasal 13 huruf a UU KY, maka jelaslah bahwa Pembentuk Undang-Undang secara expressis verbis telah memperluas kewenangan KY yang semula hanya mengusulkan pengangkatan hakim agung juga mengusulkan pengangkatan hakim ad hoc di MA. Dengan demikian, memperlakukan seleksi yang sama antara calon hakim MA dengan hakim ad hoc yang memiliki perbedaan baik secara struktural, maupun status merupakan pelanggaran terhadap nilai-nilai keadilan.
Selain itu mendasarkan ketentuan Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945 serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, tanggal 23 Agustus 2006 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUUXIII/2015, tanggal 7 Oktober 2015, maka telah ternyata ketentuan Pasal 13 huruf a UU KY inkonstitusional, sehingga Pemohon meminta kepada MK untuk menyatakan ketentuan Pasal 13 huruf a UU KY harus bertentangan secara konstitusional dengan Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945, dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Andhini Sayu Fauzia.
https://youtu.be/iuwAPjXFXiw