JAKARTA, HUMAS MKRI - Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) diujikan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Permohonan perkara yang teregistrasi Nomor 22/PUU-XIX/2021 ini diajukan oleh Yayasan Auriga Nusantara dan Perkumpulan Kaoem Telapak yang merupakan dua organisasi non-pemerintah. Para Pemohon mendalilkan Pasal 2 ayat (1) huruf z dan Penjelasan Pasal 74 UU TPPU bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945.
Sidang pemeriksaan pendahuluan uji materi UU TPPU digelar di MK, Rabu (16/6/2021) dipimpin Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul dengan didampingi Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih. Fadli Ramadhanil selaku kuasa hukum para Pemohon menyebutkan Pasal 2 ayat (1) huruf z yang berbunyi, “Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana: tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih.”
Menurut para Pemohon, ketentuan pasal tersebut telah menimbulkan kerancuan tujuan dari pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan ketidakpastian hukum. Sebab, ketentuan ini memberikan batasan terhadap tindak pidana yang ancamannya pidananya 4 tahun atau lebih dengan dasar klasifikasi sebagai serious crimes. Sebagai ilustrasi, para Pemohon menjabarkan bahwa tindak pidana demikian terjadi pada tindak pidana Hak Cipta seperti kasus pembajakan film melalui pengunduhan ilegal dan DVD bajakan.
“Dengan adanya ketentuan pasal a quo telah menimbulkan ketidaktertiban dan ketidakpastian hukum karena terdapat perbedaan syarat minimal ancaman hukuman untuk dapat diterapkan UU TPPU, jika dibandingkan dengan tindak-tindak pidana asal lain maka ancaman pidana minimalnya berbeda dengan yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a hingga z UU Nomor 8 Tahun 2010 ini,” jelas Fadli yang juga hadir bersama Feri Amsari selaku kuasa hukum lainnya.
Ketidakpastian Hukum
Fadli lebih lanjut menjabarkan terkait dengan ketentuan Penjelasan Pasal 74 UU TPPU yang berbunyi, “Yang dimaksud dengan “penyidik tindak pidana asal” adalah pejabat dari instansi yang oleh undang-undang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan, yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi, Badan Narkotika Nasional (BNN), serta Direktorat Jendral Pajak dan Direktorat Jendral Bea dan Cukai Kementrian Keuangan Republik Indonesia”.
Menurut para Pemohon, ketentuan tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum. Penjelasan UU tersebut menimbulkan pemaknaan yang berbeda dengan bunyi pasal pokoknya. Sehingga, norma tersebut dapat dikatakan bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) dan Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945.
“Penjelasan Pasal 74 UU TPPU memberikan pembatasan terhadap penyidik perkara tindak pidana pencucian uang. Bahwa pada ketentuan Pasal 74 membuka ruang seluruh penyidik TPPU dapat berasal dari penyidik tindak pidana asal yang diatur Pasal 2 ayat (1) UU TPPU. Namun justru Penjelasan Pasal 74 UU TPPU ini telah menciptakan pengaturan norma baru yang sama sekali berbeda dengan pengaturan pasal pokoknya karena membatasi penyidik TPPU hanya dapat dilakukan 6 institusi/lembaga saja,” sampai Fadli dalam sidang yang diikuti secara virtual dari kediamannya.
Untuk itu, para Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 2 ayat (1) huruf z UU TPPU bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “…tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 1 tahun atau lebih”. Berikutnya, para Pemohon juga meminta agar Mahkamah menyatakan Penjelasan Pasal 74 UU TPPU bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuaatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “yang dimaksud dengan “penyidik tindak pidana asal” adalah pejabat atau instansi yang oleh peraturan perundang-undangan diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan”.
Sistematika Sesuai PMK
Berikutnya panel hakim menanggapi permohonan para Pemohon. Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih melihat terdapat bagian-bagian yang belum sesuai dengan sistematika permohonan pengujian undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Peraturan MK (PMK) terbaru. Untuk itu, Pemohon diharapkan dapat menyempurnakan permohonan menjadi sistematis, runtut, dan konsisten mulai dari kewenangan MK hingga legal standing Pemohon selaku yayasan dan/atau organisasi. Berikutnya, Enny juga meminta agar para Pemohon menjabarkan hak konstitusional yang diberikan UUD 1945 kepadanya, yang dinilai telah dirugikan atas keberadaan norma yang diujikan tersebut.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyoroti mengenai uraian yang menjelaskan perbedaan antara perkara yang diajukan pada hari ini dengan perkara Nomor 74/PUU-XVI/2018 yang telah diputus MK pada masa sebelumnya. Atas objek permohonan ini, Hakim Konstitusi Arief meminta agar para Pemohon memperkuat legal standing sebagai dua pemohon yang terdiri atas organisasi dan yayasan.
“Pada perkara sebelumnya perkara serupa diputuskan NO. Sehingga diharapkan pada perkara ini dapat melewati ketentuan Pasal 60 UU MK sehingga perkara dapat diperiksa lebih lanjut karena para Pemohon memiliki legal standing yang kuat,” kata Arief.
Sedangkan Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul mencermati perlunya bagi para Pemohon menjabarkan kedudukan hukum sesuai AD/ART organisasi. Manahan mempertanyakan apakah pihak-pihak yang disebutkan namanya dalam permohonan benar pihak yang berwenang mewakili organisasi di dalam dan luar pengadilan.
Sebelum menutup persidangan, Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul mengingatkan para Pemohon untuk memperbaiki permohonan selambat-lambatnya hingga 29 Juni 2021. Untuk selanjutnya para Pemohon dapat menyerahkan naskah perbaikan permohonan tersebut dua jam sebelum persidangan dimulai sesuai dengan informasi yang akan disampaikan lebih lanjut oleh Kepaniteraan MK.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Fitri Yuliana.
https://youtu.be/iCYxjnB-Xp4