JAKARTA, HUMAS MKRI – Sidang pemeriksaan pendahuluan pengujian Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UU Guru dan Dosen) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (16/6/2021). Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 20/PUU-XIX/2021 ini diajukan oleh Sri Mardiyati yang merupakan Dosen FMIPA Universitas Indonesia.
Pemohon menguji Pasal 50 ayat (4) UU Guru dan Dosen yang menyebutkan, “Ketentuan lebih lanjut mengenai seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan pengangkatan serta penetapan jenjang jabatan akademik tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditentukan oleh setiap satuan pendidikan tinggi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”
Dalam kasus konkret, Pemohon diusulkan oleh Rektor UI kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk diangkat sebagai guru besar atau profesor pada 2019, setelah melalui proses panjang di internal UI, termasuk penilaian karya ilmiah oleh guru besar di bidang matematika dari Institut Teknologi Bandung (ITB).
“Namun usulan tersebut ditolak oleh menteri pendidikan dan kebudayaan, dalam hal ini direktorat jenderal pendidikan tinggi. Dengan alasan, karya ilmiah tidak memenuhi syarat. Padahal pihak UI sudah menyetujui dan telah mengesahkan hasil validasi atas karya ilmiah Pemohon,” ujar salah seorang kuasa Pemohon, S.F Marbun.
Pemohon mendalilkan, seharusnya menurut Pasal 50 ayat (4) UU Guru dan Dosen, pengangkatan dan penetapan jenjang jabatan akademik tertentu termasuk guru besar merupakan kewenangan satuan pendidikan tinggi atau universitas atau rektor. Tetapi karena adanya Pedoman Operasional Penilaian Angka Kredit Tahun 2019 yang ditetapkan oleh menteri, maka kewenangan untuk mengangkat dan menetapkan jabatan akademik tersebut menjadi kewenangan direktorat pendidikan tinggi.
Pemohon beranggapan, hal itu terjadi karena dalam Pasal 50 ayat (4) UU Guru dan Dosen disebutkan adanya frasa bahwa pengangkatan dan penetapan guru besar ditentukan oleh setiap satuan pendidikan tinggi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
“Adanya frasa ini telah menimbulkan multitafsir. Karena menteri pendidikan dan kebudayaan kemudian membuat peraturan yang membuat kewenangan kepada dirinya yang bertentangan dengan substansi atau maksud dalam Pasal 50 ayat (4) tersebut,” ungkap Marbun kepada Panel Hakim MK yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat.
Menurut Pemohon, dalam praktiknya, ketentuan Pasal 50 ayat (4) UU a quo diberikan makna lain dengan menggunakan Pasal 70 UU Guru dan Dosen. Seolah-olah pengangkatan dan penetapan jenjang akademik tertentu termasuk pengangkatan guru besar merupakan kewenangan menteri dan bukan kewenangan satuan pendidikan tinggi. Untuk itu, Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 50 ayat (4) UU Guru dan Dosen bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa penetapan jenjang jabatan merupakan kewenangan dari Rektor sebagai pimpinan satuan pendidikan tinggi, tanpa ada campur tangan Menteri”. Serta Pemohon menyatakan bahwa Pasal 50 ayat (4) UU Guru dan Dosen tidak konstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional) secara khusus di Universitas Indonesia, sepanjang tidak dimaknai bahwa “pengangkatan serta penetapan jenjang jabatan akademik tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditentukan oleh setiap satuan pendidikan tinggi sesuai dengan peraturan perundang-undangan” tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2013 tentang Statuta Universitas Indonesia.
Nasihat Hakim
Hakim Konstitusi Saldi Isra mencermati format permohonan Pemohon. “Agar menyusun format permohonan sesuai dengan ketentuan dalam Hukum Acara MK. Pada pokoknya permohonan terdiri dari identitas Pemohon, kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum. Dalam kedudukan hukum, Pemohon menjelaskan kerugian konstitusional dengan berlakunya pasal yang diuji. Berikutnya, alasan mengajukan permohonan, yang harus dijelaskan keberlakuan pasal yang diuji bertentangan dengan UUD 1945. Terakhir disebutkan apa yang dimohonkan oleh Pemohon,” kata Saldi.
Saldi juga mempertanyakan permohonan Pemohon yang mengarah pada kasus konkret yang dialami Pemohon. Terkesan Pemohon ingin menguji keberlakuan Pasal 50 ayat (4) UU Guru dan Dosen terhadap peraturan perundang-undangan, dalam hal ini Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Padahal kewenangan MK adalah menguji UU terhadap UUD, bukan untuk kasus konkret. Demikian Saldi menegaskan.
Selanjutnya Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mencermati permasalahan untuk menjadi guru besar seperti dialami Pemohon. “Apakah itu merupakan konstitusionalitas norma atau bukan? Karena kalau ke MK yang diselesaikan adalah terkait konstitusionalitas norma, bukan persoalan implementasi norma. Apalagi kalau ketentuan itu berada jauh di bawah undang-undang,” ucap Enny.
Sementara Hakim Konstitusi Arief Hidayat menasihati bahwa saat melakukan penyusunan permohonan, Pemohon atau kuasanya harus mendasarkan pada Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) No. 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang. “Itu PMK terbaru, bisa dicari di laman MK. Khusus Pasal 10 ayat (2) PMK No. 2 Tahun 2021 diatur mengenai format permohonan pengujian undang-undang. Itulah yang pertama harus dipegang dan dijadikan dasar,” ujar Arief.
Pemohon diberikan waktu untuk melakukan perbaikan permohonan pada Selasa, 29 Juni 2021.(*)
Penulis : Nano Tresna Arfana
Editor: Lulu Anjarsari P
Humas: Annisa Lestari
https://youtu.be/vZiHs1b6L-E