JAKARTA, HUMAS MKRI – Dua Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (UKI) menguji Pasal 288 ayat (1), ayat (2), ayat (3) serta Pasal 293 ayat (1), ayat (2), ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Leonardo Siahaan dan Fransicus Arian Sinaga menilai pasal-pasal tersebut multitafsir dan bertentangan dengan UUD 1945. Hal ini disampaikan keduanya dalam sidang Perkara Nomor 21/PUU-XIX/2021 yang digelar secara daring pada Selasa (15/6/2021) siang.
Pasal 288 KUHP menyatakan:
(1) Barang siapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang wanita yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, apabila perbuatan mengakibatkan luka-luka diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama delapan tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Pasal 293 KUHP menyatakan:
(1) Barang siapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang, menyalahgunakan pembawa yang timbul dari hubungan keadaan, atau dengan penyesatan sengaja menggerakkan seorang belum dewasa dan baik tingkahlakunya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul dengan dia, padahal tentang belum kedewasaannya, diketahui atau selayaknya harus diduganya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan orang yang terhadap dirinya dilakukan kejahatan itu.
(3) Tenggang waktu tersebut dalam Pasal 74 bagi pengaduan ini adalah masing-masing sembilan bulan dan dua belas bulan.
Dalam persidangan yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul, Leonardo Siahaan menilai ketentuan Pasal 293 ayat (2) dan Pasal 288 multitafsir dan tidak memberikan kepastian hukum yang jelas. Dia mengatakan hal ini meresahkan dan menimbulkan kekhawatiran para Pemohon yang memiliki adik kandung dan saudara perempuan, yang rentan menjadi korban percabulan di bawah umur dan sebagai korban kekerasan dalam perkawinan sehingga tidak ada implementasi kepastian perlindungan hukum.
“Terdapat permasalahan dalam Pasal 293 ayat (2) KUHP yang mencantumkan bahwa penuntutan dilakukan hanya atas pengaduan orang yang terhadap dirinya dilakukan kejahatan itu. Ini artinya merupakan delik aduan absolut, hal ini menjadi penghambat bagi orang lain yang bukan korban cabul untuk melaporkan ke pihak berwajib,” ujar Leonardo.
Para Pemohon merasa tidak adanya kejelasan Pasal 288 KUHP mengenai batasan umur yang dimaksud oleh ketentuan a quo. Menurut para Pemohon, seharusnya Pasal 288 KUHP memberikan penjelasan yang jelas usia dari yang dimaksud “belum waktunya untuk dikawini. Hal ini dikhawatirkan menimbulkan perdebatan seperti apa “belum waktunya untuk dikawini” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 288 KUHP.
Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah Pasal 293 KUHP dan 288 KUHP sepanjang frasa “belum dewasa” dan “belum waktunya untuk dikawini” tidak mempunyai kekuatan mengikat. Pemohon pun meminta kepada Majelis Hakim menyatakan Pasal 293 ayat (2) KUHP adalah sesuai dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally constitutional).
“Yaitu konstitusional sepanjang frasa 'penuntutan dilakukan hanya atas pengaduan orang yang terhadap dirinya dilakukan kejahatan itu' merupakan delik aduan absolut diubah menjadi delik biasa, lalu frasa ayat (1) 'belum dewasa' diubah menjadi usia yang dibawah 18 tahun. Sedangkan dalam Pasal 288 KUHP sepanjang frasa 'belum waktunya untuk dikawini' diubah menjadi batas umur 19 tahun,” papar Franciscus Arian Sinaga.
Nasihat Hakim
Usai mendengar penjelasan para Pemohon, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menyarankan para pemohon untuk melihat contoh-contoh permohonan yang terdapat di laman MK. “Tetapi sebagai pedoman di undang-undang MK tentang hukum acara dan peraturan MK nomor 2 Tahun 2021 tentang tata beracara pengujian undang-undang,” jelas Wahiduddin.
Sementara Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul meminta para pemohon untuk menguraikan hak konstitusional yang dirugikan dengan berlakunya ketentuan-ketentuan yang diujikan tersebut. Pada akhir persidangan, Manahan menyampaikan bahwa Pemohon diberikan waktu untuk memperbaiki permohonan hingga Senin, 28 Juni 2021 pukul 10.00 WIB. (*)
Penulis : Utami Argawati
Editor : Lulu Anjarsari P
Humas : Andhini S.F
https://youtu.be/umX8g8lcjVA