JAKARTA, HUMAS MKRI – Sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektonik (UU ITE) kembali digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (14/6/2021) siang. Sidang untuk perkara Nomor 81/PUU-XVIII/2020 ini diajukan oleh Pemimpin Redaksi Media Suara Papua dan Perkumpulan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Agenda siding adalah mendengarkan keterangan ahli yang dihadirkan Pemerintah.
Pada persidangan yang dipimpin oleh ketua MK Anwar Usman, Harsanto Nursadi ahli Hukum Administrasi Negara (HAN) yang dihadirkan oleh Pemerintah, memaparkan mengenai tindakan dan keputusan pemerintahan. Ia mengatakan, administrasi pemerintahan merupakan tata laksana dalam pengambilan keputusan dan/atau tindakan oleh badan dan/atau pemerintahan.
Harsanto mengatakan, tindakan pemerintah dibagi dua yakni tindakan nyata dan tindakan hukum. Tindakan nyata tidak berakibat hukum dan tidak menimbulkan atau mengubah hak dan kewajiban. Sedangkan tindakan hukum dapat menimbulkan atau mengubah hak dan kewajiban serta berakibat hukum.
“Dalam kasus ini situasinya adalah kominfo mendapat permohonan elektronik kemudian masuk ke dalam kominfo melakukan tindakan permohonan pemblokiran. Tentunya di sini ada prosedur dicek apakah ada webnya tetapi kominfo tidak berwenang menentukan konten karena yang berwenang kementerian atau lembaga yang meminta pemblokiran tersebut,“ ujarnya dalam persidangan secara daring.
Menurut Harsanto, Kominfo melakukan tindakan berdasarkan kewenangannya dengan prosedur mengirimkan email kepada ISP terkait permohonan lembaga lain. Sehingga, tindakan yang dilakukan oleh kominfo berupa surat elektronik yang tidak dalam format keputusan. Penyampaian Kominfo kepada ISP untuk memblokir itu merupakan tindakan hukum dalam melindungi pemerintah dan masyarakat.
Lebih lanjut Harsanto mengatakan, tindakan dan keputusan mempunyai dasar hukum dan melalui prosedural. Di dalam prosedural, harus ada check and balance. Kalau tidak ada check and balance maka baik tindakan ataupun keputusan dapat diuji dalam sebuah peradilan. “Apabila terbukti tidak ada prosedur sehingga PTUN berhak melakukan pembatalan, “jelas Harsanto.
Baca juga:
Sempat Alami Pemblokiran, Redaksi Suara Papua dan AJI Gugat UU ITE
Redaksi Suara Papua dan AJI Perbaiki Permohonan Uji UU ITE
Pemerintah: Warga Negara Dapat Ajukan Upaya Administratif Atas Tindakan Pemblokiran
Oce Madril: Kewenangan Pemerintah Memutus Akses Internet Terbatas
Pentingnya Regulasi Pemutusan Akses Internet
Sebelumnya, Para Pemohon merasa dirugikan akibat kewenangan yang dimiliki Pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal 40 ayat (2b) UU ITE. Menurut Pemohon, Pasal 40 ayat (2b) memberikan kewenangan yang luas kepada Pemerintah untuk mengambil kewenangan Pengadilan dalam menegakkan hukum dan keadilan untuk memeriksa, mengadili dan memutus atas tafsir dari informasi dan/atau dokumen elektronik yang melanggar hukum.
Pemohon menilai seharusnya kewenangan memeriksa, mengadili, dan memutus sebuah perkara adalah milik hakim sebagaimana telah diatur dalam Pasal 20 ayat (2) dan Pasal 25 UU 48/2009. Selain itu, kewenangan Pemerintah untuk melakukan pemutusan akses adalah bentuk dari pembatasan kebebasan berekspresi dan kebebasan informasi. Kewenangan ini pula, menurut Pemohon, butuh diawasi secara ketat oleh pengadilan. Hal tersebut sebagai bentuk membatasi penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh pihak Pemerintah.
Menurut para Pemohon, kewenangan Pemerintah melakukan tafsir secara sepihak atas sebuah informasi dan/atau dokumen elektronik bermuatan konten yang melanggar hukum, bertentangan dengan ketentuan due process of law. Selain itu, Pemohon menganggap jika pasal yang diuji dibiarkan sumir dan tidak jelasnya ukuran informasi dan/atau dokumen elektronik yang dianggap melanggar hukum tersebut, maka hal ini berdampak pada pemberian kewenangan yang absolut kepada Pemerintah untuk mengontrol dan memonopoli akses informasi. Hal demikian membuat sulit publik untuk menerima dan menyampaikan informasi dalam rangka partisipasi melakukan pengawasan kepada Pemerintah melalui lembaga Peradilan. Berdasarkan alasan-alasan tersebut, para Pemohon meminta kepada Mahkamah untuk menyatakan ketentuan Pasal 40 ayat (2b) UU 19/2016 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Andhini Sayu Fauzia.
https://youtu.be/Q6bC7-C8Nik