JAKARTA, HUMAS MKRI – Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Aswanto menyampaikan Kuliah Umum secara daring kepada para mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Tadulako secara virtual pada Sabtu (12/6/2021) siang. Tema kuliah umum kali ini yakni “Konstitusionalisme HAM dalam Kerangka NKRI”
Aswanto memaparkan di Indonesia terdapat tiga konstitusi yang pernah berlaku dalam empat periode. Periode pertama UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berlaku pada 18 Agustus 1945-27 Desember 1949. Periode kedua, konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) 1949 yang berlaku 27 Desember 1949-17 Agustus 1950. Periode ketiga, Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) yang1950 berlaku pada 17 Agustus 1950-5 juli1959. Periode keempat, UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berlaku kembali sejak 5 juli tahun 1959 sampai sekarang (telah mengalami perubahan empat kali sejak tahun 1999 s/d 2002).
Pada periode pertama, banyak hal yang masih perlu dilengkapi karena dianggap masih belum mengakomodasi segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satunya, ketika itu konstitusi di Indonesia belum terlalu maksimal menjamin hak asasi manusia (HAM).
Oleh sebab itu terjadi perdebatan, sehingga Indonesia pada 1949 menggunakan Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) sebagai periode kedua pemberlakuan konstitusi di Indonesia. Salah satu yang menyebabkan terjadinya perubahan ke Konstitusi RIS 1949, karena UUD 1945 dianggap masih belum menjamin HAM, padahal HAM menjadi spirit zaman.
“Secara teori, negara yang meninggalkan spirit zaman akan tertindas oleh zaman. Siapa yang mengabaikan spirit zaman, dia akan ditinggalkan oleh zaman. Persoalan hak asasi manusia adalah persoalan yang sangat mendasar. Tidak hanya untuk bangsa Indonesia, tetapi untuk seluruh umat manusia,” tegas Aswanto.
Namun Konstitusi RIS 1949 dianggap belum memadai, lagi-lagi yang menjadi perdebatan adalah persoalan HAM. Perlindungan terhadap hak-hak perempuan menjadi salah satu hal yang mendasar. Kemudian Konstitusi RIS 1949 dinyatakan tidak berlaku lagi. Selanjutnya diganti dengan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950 sebagai periode ketiga pemberlakuan konstitusi. UUDS 1950 berlaku mulai 17 Agustus 1950-5 Juli 1959.
“Lagi-lagi terjadi perdebatan mengenai hak asasi manusia yang terdapat dalam UUDS 1950. Karena perdebatannya tidak tuntas, Presiden Soekarno mengatakan kembali ke UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Itu adalah periode keempat pemberlakuan konstitusi sejak 5 Juli 1959 sampai sekarang,” jelas Aswanto.
Aswanto melanjutkan, meskipun Indonesia sudah kembali ke UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tapi dianggap masih ada kekurangan. Salah satu kekurangannya adalah persoalan HAM. Itulah sebabnya dilakukan amendemen UUD 1945 mulai 1999-2002, yang di antaranya melahirkan Pasal 28A sampai Pasal 28J UUD 1945. Sebelumnya, persoalan HAM tersebar di beberapa pasal, terjadi percampuradukkan antara HAM dan hak konstitusi.
Konstitusionalisme HAM
Lebih lanjut Aswanto menjelaskan konstitusionalisme HAM atau hak konstitusional sebenarnya adalah hak seseorang yang dijamin, dilindungi dalam konstitusi. Berbicara mengenai UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasca amendemen, persoalan hak-hak konstitusional diatur dalam Pasal 28A sampai Pasal 28J.
HAM harus dibedakan dengan hak dasar. HAM berasal dari kata Mensen-Rechten, yaitu hak yang diperoleh setiap manusia sebagai konsekuensi ia dilahirkan menjadi manusia. Sedangkan hak dasar berasal dari kata Grond-Rechten, yaitu hak yang diperoleh setiap manusia sebagai konsekuensi ia menjadi warga negara dari suatu negara.
“Memang ada perdebatan di sana. Kalau melihat filosofi hak asasi manusia, ada perbedaan mendasar antara hak asasi manusia dalam konteks Mensen-Rechten dan hak dasar manusia atau Grond-Rechten. Secara teori kalau kita bicara hak konstitusional adalah hak yang diperoleh seseorang karena dia menjadi warga negara dari suatu negara. Dengan demikian, Grond-Rechten itu sama dengan hak konstitusional atau hak dasar. Dia menjadi hak karena diatur dalam konstitusi. Sedangkan hak asasi manusia, tanpa diatur dalam konstitusi, dia harus tetap dilindungi,” papar Aswanto.
Dikatakan Aswanto, HAM diatur atau tidak diatur dalam konstitusi, harus dihormati. Karena dia adalah hak yang diperoleh oleh seseorang karena dia menjadi makhluk ciptaan Allah SWT. Hanya manusia yang memiliki hak asasi, sementara makhluk lain selain manusia tidak diberi hak asasi.
Mengenai konstitusionalisme HAM sudah tercampur antara hak-hak yang sumbernya dari Allah dan ada yang sumbernya dari negara. Hak yang bersumber dari Allah atau Mensen-Rechten adalah hak yang diperoleh seseorang karena menjadi makhluk ciptaan Allah, diatur atau tidak diatur dalam konstitusi, itu harus dihormati.
“Tetapi dalam Konstitusi NKRI Tahun 1945, persoalan-persoalan yang sumbernya Mensen-Rechten, itu juga dimasukkan ke dalam konstitusi kita. Sehingga dalam konstitusi kita ada hak asasi manusia dan hak dasar,” ucap Aswanto.
Lahirnya UDHR
Selanjutnya Aswanto menerangkan sejumlah alasan lahirnya Universal Declaration of Human Rights (UDHR). Alasan pertama, karena traumatik Perang Dunia II. Pasca Perang Dunia II, pemikir-pemikir dunia khawatir terhadap negara yang kalah dalam Perang Dunia II seperti Jepang, akan menyusun kekuatan untuk melakukan counter attack. Agar jangan sampai terulang sehingga memicu Perang Dunia III. Alasan berikutnya, kata Aswanto, ada alasan fakta empiris dan alasan tuntutan demokrasi.
“Kalau berbicara hak asasi manusia, sebenarnya yang menjadi hakikat hak asasi manusia adalah cinta kasih. Dalam ajaran Islam, ada hadits yang mengungkapkan bahwa tidak sempurna iman seseorang di antara kamu sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri,” ujar Aswanto.
Dengan demikian, lanjut Aswanto, kalau seseorang mengimplementasikan hak asasi manusia, ketika ia melakukan sesuatu yang bisa menyakitkan orang lain, maka ia coba dulu di dirinya. Kalau ia dicubit sakit, maka kalau ia mencubit orang akan juga sakit.
“Kalau kita sudah mengimplementasikan hak asasi manusia dalam keseharian, maka aman ini dunia. Tidak ada lagi yang saling menyakiti. Tidak ada lagi yang mengambil bukan haknya. Tidak ada lagi fitnah dan sebagainya,” imbuh Aswanto.
Aswanto menjelaskan, hakikat hak asasi manusia adalah juga kebebasan. Namun kebebasan ini akan berakhir ketika merambah pada kebebasan orang lain. Sekalipun kebebasan merupakan pemberian Tuhan, tetapi kebebasan kita tidak boleh mengganggu kebebasan orang lain.
Merawat NKRI
Pada kesempatan ini Aswanto juga menerangkan soal penegakan HAM dalam kerangka NKRI. Menurutnya, salah satu cara untuk merumat NKRI adalah menjamin, menegakkan, melindungi, bahkan memajukan hak asasi manusia.
“Pasal 28A sampai Pasal 28J UUD 1945 sudah menjamin hak asasi manusia. Bahkan untuk penegakan hak asasi manusia, kita sudah punya UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia,” urai Aswanto.
Lainnya, Aswanto juga menjelaskan pengertian negara. Banyak teori tentang timbul dan tenggelamnya negara. Salah satu teori adalah kehadiran pemerintah.
“Saya selalu memberikan contoh yang sederhana. Negara itu sama dengan organisasi arisan. Seseorang ingin ikut arisan karena ada sesuatu yang diharapkan. Tetapi ketika sebuah organisasi tidak dapat memenuhi keinginan seperti diharapkan anggotanya, maka sesungguhnya organisasi itu sudah tenggelam,” kata Aswanto.
Selain itu Aswanto menyebutkan adanya pengelompokan HAM yang meliputi hak sipil yakni hak atas keutuhan hidup manusia dan hak untuk memperoleh proses peradilan yang adil. Kemudian ada hak politik, hak sosial ekonomi dan hak budaya.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.
https://youtu.be/Yye7HY_NnYM