JAKARTA, HUMAS MKRI - Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menjadi narasumber dalam kegiatan Kuliah Kerja Lapangan (KKL) yang diselenggarakan oleh Universitas Pancasakti, Tegal, secara virtual pada Jumat (11/6/2021) pagi. Dalam kesempatan tersebut, Wahiduddin menyampaikan materi mengenai “Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia”.
Sebelum membahas kelembagaan dan kedudukan MK, Wahiduddin berbicara mengenai paham konstitusionalisme. Ia mengatakan Konstitusi adalah hukum yang tertinggi. Konstitusi memuat tujuan-tujuan bernegara yang paling tinggi.
“Pencapaian tujuan yang paling tinggi itu untuk memberikan keadilan (justice) dan ketertiban (order), mewujudkan kemerdekaan dan kebebasan (freedom) serta meraih kemakmuran (prosperity) dan kesejahteraan (welfare) bagi seluruh rakyat secara merata,” jelas Wahiduddin di hadapan para dosen beserta mahasiswa secara virtual melalui aplikasi zoom meeting.
Dikatakan Wahiduddin, konstitusi menjadi jalur atau batasan-batasan bagi pelaksanaan demokrasi. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Sehingga demokrasi haruslah diletakkan dalam koridor hukum dan konstitusi. Tanpa hukum, demokrasi justru dapat berkembang ke arah yang keliru karena hukum dapat ditafsirkan secara sepihak oleh penguasan atas nama demokrasi. Karena itulah berkembang konsepsi mengenai demokrasi yang berdasarkan atas hukum (constitutional democracy). Hal tersebut disebabkan karena perkembangan pemikiran tentang demokrasi beriringan dengan berkembangnya gagasan mengenai negara hukum (rechtstaat) yang dilandasi pada ide kedaulatan hukum (nomokrasi).
Pentingnya Konstitusi
Lebih lanjut Wahiduddin mengatakan, konstitusi yang demokratis menjadi prasyarat penting sebab konstitusi menentukan pembatasan terhadap kekuasaan sebagai fungsi konstitusionalisme. Selain itu, konstitusi memberi legitimasi terhadap kekuasaan pemerintah, juga berfungsi sebagai instrumen untuk mendelegasikan kewenangan dari pemegang kedaulatan tertinggi, yaitu rakyat kepada organ-organ kekuasaan negara. Sedangkan, prasyarat mengenai perlindungan ha asasi manusia juga menjadi penting karena hak asasi manusia melekat pada statusnya sebagi warga negara. Hak asasi merupakan hak yang setiap manusia miliki sebagai bagian dari kodratnya. Sedangkan hak warga negara merupakan hak yang muncul karena statusnya sebagai warga negara.
“Kedua hak itu mempunyai titik singgung yang cukup besar karenanya, seringkali dicantumkan dalam konstitusi dan kemudian menjadi hak konstitusional. Gagasan demokrasi berdasarkan atas hukum (constitutional democracy) dapat dilihat dalam dua sudut pandang. Pertama, dalam sudut pandang pengaturan pola hubungan antar sesama warga negara. Sedangkan sudut pandang kedua melihat pada pola hubungan antara institusi negara dengan warga negara,” jelas Wahiduddin.
Kelembagaan dan Kedudukan MK
Setelah sekelumit berbicara soal paham konstitusionalisme, Wahiduddin pun berbicara mengenai kelembagaan dan kedudukan MK. Keberadaan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul pada abad 20.
Wahiduddin menjelaskan, pada 2003, ketika MK terlahir, Indonesia menjadi negara ke-77 yang mengadopsi MK dalam sistem ketatanegaraannya. MK adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bersama dengan MA. Menurutnya, MK diberikan kewenangan untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir dalam menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar; memutus pembubaran partai politik; memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; serta wajib memutus pendapat DPR atas dugaan pelanggaran oleh Presiden dan atau wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
Selain kewenangan tersebut, lanjut Wahiduddin, MK juga mengadili perkara sengketa pemilihan kepala daerah sejak 2008. Latar belakang pelaksanaan kewenangan mengadili sengketa pemilihan kepala daerah cukup panjang. Dimulai ketika pembentuk undang-undang mengeluarkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Undang-Undang Nomor 22 tahun 2007 memperluas lingkup pengertian Pemilu sebagaimana yang ada dalam Pasal 22E UUD 1945. Pemilukada dinyatakan sebagai bagian dari rezim pemilu.
Perubahan lingkup pemilukada dari rezim pemerintahan daerah ke rezim pemilu tersebut kemudian dikukuhkan dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 mengamanatkan pengalihan wewenang memutus sengketa Pemilukada dari MA ke MK dalam waktu 18 bulan sejak diundangkannya undang-undang tersebut.
“Pengalihan wewenang itu selanjutnya secara resmi dilakukan oleh Ketua MA dan Ketua MK pada 29 Oktober 2008 dengan menandatangani Berita Acara Pengalihan Wewenang Mengadili Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah,” imbuhnya.
Kewenangan Sengketa Pilkada
Pada 2014, lanjut Wahiduddin, kewenangan untuk mengadili perkara sengketa pemilihan kepala daerah ini dihapuskan oleh MK melalui putusan Nomor 97/PUU-XI/2013 yang membatalkan keberlakuan Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008. Namun muncul persoalan ketika ada gonjang-ganjing politik yang berkutat seputar wacana pilkada, termasuk di dalamnya mengenai lembaga yang berwenang untuk menangani sengketa pilkada.
Menurut Wahiduddin, kewenangan transisional MK dalam penanganan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah yang dimiliki saat ini hingga terbentuknya badan peradilan khusus perlu dibedakan dengan ketika MK menangani perselisihan hasil pemilukada sebelum putusan Nomor 97/PUU-XI/2013.
“Tugas MK saat ini dalam rangka penyelesaian perselisihan hasil pemilihan kepala daerah adalah menyusun pola dan model, atau semacam prototipe, yang akan diterapkan dan dikembangkan oleh badan peradilan khusus nantinya. Sehingga, perlu dipertimbangkan kembali secara seksama apakah hal-hal yang pernah diputus MK dalam perkara pemilukada di masa lalu dapat kembali diterapkan. Misalnya, apakah dalam melaksanakan kewenangan transisional ini MK juga akan memeriksa pelanggaran-pelanggaran pemilu yang terstruktur, sistematis dan masif ataukah MK secara khusus akan membatasi diri untuk menangani perkara perbedaan hasil akhir penghitungan suara antara pemohon dengan penyelenggara,“ terang Wahiduddin.
Integritas Hakim Konstitusi
Selanjutnya, Wahiduddin menyampaikan bahwa sebagai perwujudan negara hukum yang demokratis, pengadilan yang bebas dan tidak memihak merupakan prasyarat dan ciri utama yang harus ada untuk menjadi pengadilan yang bebas dan tidak memihak, maka menjaga integritas dan perilaku hakim konstitusi menjadi penting agar lembaga ini tetap terpercaya. Kewibawaan kelembagaan MK sangat tergantung pada seberapa besar integritas, independensi, keteguhan para hakim memegang moral dan janji yang telah diikrarkan, dalam menjalankan tugas-tugas konstitusionalnya. Oleh karena itu, MK haruslah bebas, tidak dapat dipengaruhi oleh kekuatan Eksternal, baik eksekutif, legislatif, para pihak maupun opini yang muncul dalam masyarakat.
Netral dan Objektif
Kemudian, Wahiduddin menjelaskan MK dalam menjalankan peran dan fungsinya harus bersifat netral dan objektif serta hanya tunduk kepada keadilan dan kebenaran konstitusi. Prinsip lainnya yang harus dipertahankan dan diwujudkan serta dikembangkan terus-menerus dalam rangka menegakkan negara hukum yang demokratis adalah terselenggaranya peradilan yang modern, cepat, sederhana dan tanpa biaya. Administrasi perkara, dan sistem teknologi informasi yang memungkinkan masyarakat dapat mengakses keadilan dengan mudah dan tanpa biaya harus dijamin keberlangsungannya, didukung sumber daya manusia yang berkualitas dan dapat dipercaya, terbuka, dapat dikontrol oleh publik menjadi hal yang sangat penting untuk terwujudnya peradilan modern.
“Terakhir, MK memegang peran penting dalam menjadi instrumen demokrasi yang dibutuhkan oleh segenap warga negara untuk melindungi hak-hak konstitusionalnya. Oleh karena itu, MK harus memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada seluruh masyarakat agar dapat memanfaatkan secara optimal keberadaan MK dalam sistem ketatanegaraan RI. Hal tersebut dapat dilakukan dengan terus melaksanakan pengembangan proses beracara ke arah yang lebih baik, yang dilangsungkan secara modern, cepat, sederhana dan tanpa biaya, yang berhubungan dengan manajemen persidangan, waktu beperkara dan prosedur yang sederhana dalam pengajuan dan pemeriksaan permohonan,“ tegas Wahiduddin.(*)
Penulis : Utami Argawati
Editor : Lulu Anjarsari P
https://youtu.be/zzDUkdNNSJA