JAKARTA, HUMAS MKRI – Sejak amendemen UUD 1945, larangan privatisasi sudah tidak diberlakukan lagi. Akan tetapi, hak menguasai negara tetap diberlakukan sesuai Pasal 33 UUD 1945, sehingga makna hak menguasai negara bagi Pemerintah lebih tertuju sebagai regulator saja, sedangkan sebagai operator dapat diprivatisasikan. Demikian keterangan yang diungkapkan oleh Tri Hayati selaku Ahli yang dihadirkan PT Pertamina sebagai Pihak Terkait dalam sidang ke-10 pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) pada Senin (7/6/2021).
“Sebelum amandemen, adanya larangan privatisasi untuk sektor yang menyangkut kepentingan umum dan hajat hidup orang banyak, berarti peran Pemerintah selaku regulator dan operator, pelaku usaha melalui BUMN Pertamina. Sesudah amandemen, larangan privatisasi sudah tidak diberlakukan lagi, namun hak menguasai negara tetap diberlakukan, sehingga makna hak menguasai negara bagi Pemerintah lebih tertuju sebagai regulator saja, sedangkan sebagai operator dapat diprivatisasikan,” terang Tri.
Baca juga: Pemerintah Minta Proses Subholding PT Pertamina Tidak Sebabkan PHK
Sebelumnya, permohonan perkara yang diajukan oleh Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) ini menyatakan aturan mengenai privatisasi BUMN sebagaimana tercantum dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN bertentangan dengan Pasal 33 Ayat (2) dan Ayat (3) UUD 1945. Lebih konkret terhadap perkara yang teregistrasi Nomor 61/PUU-XVIII/2020 ini Tri menjelaskan bahwa dengan peran pemerintah sebagai pelaku usaha atau operator tersebut maka terbuka peluang untuk ditiadakannya larangan privatisasi. Namun dalam peran tersebut, pemerintah tetap melakukan kegiatan yang bersifat nonprofit, sedangkan kegiatan yang berorientasi profit dapat diserahkan pada perusahaan privat.
Dalam keterangannya, Ahli Hukum Pertambangan UI tersebut juga menyampaikan pasca-amendemen Penjelasan Pasal 33 UUD 1945, negara adalah pihak yang berperan sebagai pemegang hak penguasaan dan pemerintah sebagai pengelola serta rakyat sebagai pemilik sumber daya alam. Dengan arti kata, lanjutnya, larangan privatisasi terhadap pengusahaan sumber daya alam sebagaimana termaktub dalam Pasal 33 UUD 1945 sebelum amendemen tidak lagi berlaku. Sehingga peran pemerintah dalam menjalankan hak menguasai negara, lebih tertuju sebagai pembuat kebijakan guna mengelola dan mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam yang ada di Indonesia.
“Jadi, yang terpenting dalam pengusahaan sumber daya alam adalah dapat memberikan kemanfaatan bagi rakyat untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, baik dilakukan oleh pemerintah sendiri maupun oleh privat. Hal yang paling utama adalah kegiatan pengusahaan sumber daya alam tetap di bawah kendali pemerintah selaku pemegang hak penguasaan negara melalui berbagai peraturan perundang-undangan dalam kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah,” terang Tri dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi delapan hakim konstitusi lainnya di Ruang Sidang Pleno MK.
Baca juga: Menyoal Konstitusionalitas Privatisasi Anak Perusahaan Pertamina
Entitas Bisnis
Berikutnya Tri juga memaparkan bahwa politik hukum pengelolaan migas di era Reformasi telah mengubah paradigma privatisasi sektor sumber daya alam. Sejatinya, evaluasi dan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1960 dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 yang menghasilkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi telah menyatakan hak menguasai negara terhadap pengelolaan sumber daya alam tidak lagi di tangan Pertamina. Penguasaan negara diselenggarakan oleh Pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan dan selanjutnya Pemerintah membentuk badan pelaksana. Dengan ini, Tri melihat bahwa politik hukum UU 22/2001 mengembalikan hak menguasai negara kepada Pemerintah sebagai penerima mandat dari rakyat dalam bentuk kuasa pertambangan. Terkait hal ini, Tri berpendapat PT Pertamina tak lain adalah pelaku usaha yang berkedudukan sama dengan kontraktor migas lainnya. Hanya saja, sambung Tri, kepemillikan modalnya berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan dari APBN.
“Dengan demikian, Pertamina saat ini merupakan entitas bisnis seperti kontraktor pada umumnya namun modalnya berasal dari negara. Jika pun dilakukan privatisasi terhadap tubuh Pertamina, tidak akan mendegradasi hak menguasai negara. Sebab, PT Pertamina bukan lagi sebagai pemegang kuasa pertambangan seperti pada saat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971,” kata Tri yang menghadiri persidangan secara virtual dari kediamannya.
Baca juga: Pemerintah: Penjualan Saham Anak Perusahaan Persero Bukanlah Privatisasi
Pada sidang pendahuluan, Pemohon menyatakan PT Pertamina (Persero) merupakan perusahaan persero yang berdasarkan Akta Perubahan Anggaran Dasar Perusahaan Perseroan (Persero) PT Pertamina Nomor 27 tanggal 19 Desember 2016 memiliki kegiatan usaha di bidang penyelenggara usaha energi sehingga termasuk perusahaan persero yang dilarang untuk diprivatisasi berdasarkan ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN. Bisnis PT Pertamina (Persero) terintegrasi dari hulu ke hilir yaitu mulai proses hulu, pengolahan/kilang/refinery, pemasaran/trading, dan distribusi/transportasi/perkapalan.
Pemohon menilai Pemerintah dalam rangka strategi menguatkan daya saing, peningkatan nilai, perluasan jaringan usaha dan kemandirian pengelolaan BUMN seharusnya dapat membentuk perusahaan induk BUMN/Perusahaan Grup/Holding Company. Salah satu tindakan nyatanya adalah membentuk dan menetapkan Subholding dan Anak Perusahaan PT Pertamina (Persero) sebagaimana tercantum dalam Surat Keputusan Direksi Pertamina (Persero) Nomor Kpts-18/C00000.2020-SO tentang Struktur Organisasi Dasar PT. Pertamina (Persero), yaitu Subholding Upstream, Refining, Petrochemical, Comercial, Trading, Gas, Power NRE, dan Shipping Co. Privatisasi telah direncanakan oleh pemerintah yang akan melakukan Initial Public Offering (IPO) kepada anak dan cucu usaha PT. Pertamina Persero di level subholding.(*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor : Lulu Anjarsari P
Humas : Lambang S
https://youtu.be/mw-lzdlBm30