JAKARTA, HUMAS MKRI - Dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektonik (UU ITE) tidak terdapat pembahasan mengenai pemutusan akses. Sementara pada prakteknya di Indonesia, pemerintah sudah pernah melakukan praktik pemutusan akses internet pada layer network dan juga pada layer fisik. Jika terjadi permasalahan yang terjadi pada konten layer maka seharusnya penindakan hukum dilakukan pada konten layer bukan pada layer di bawahnya. Sehingga, ketika pemutusan dilakukan pada layer bawah maka dampak yang terjadi akan lebih masif daripada pemutusan yang dilakukan pada layer atas.
Hal ini disampaikan oleh Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga (Unair) Titik Puji Rahayu selaku Ahli yang dihadirkan oleh Pemohon pada sidang kelima uji materiil UU ITE yang digelar oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (31/5/2021) siang. Sidang pengujian materi UU ITE perkara Nomor 81/PUU-XVIII/2020 ini diajukan oleh Pemimpin Redaksi Media Suara Papua dan Perkumpulan Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Titik mengungkapkan dalam UU ITE tidak terdapat aturan mengenai regulasi dalam melakukan pemutusan akses internet dalam layer infrastruktur dan network. Hal itu dikarenakan UU telekomunikasi kita dibuat sebelum adanya perkembangan internet. Indonesia belum memiliki regulasi yang secara spesifik mengatur penyedia aplikasi.
“Indonesia sempat mengatur ini dan terhenti karena tidak dapat kejelasan,” ujarnya di hadapan Ketua MK Anwar Usman.
Menurut Titik, memutus akses internet pada layer infrastruktur maupun network memang hal mudah dan paling cepat. Akan tetapi kita tidak dapat mengabaikan hak individu yang lain yang tidak terlibat dalam permasalahan konten yang dikhawatirkan dalam hal Ini penyebaran hoak.
“Masyarakat papua tetap memiliki hak untuk mengakses internet, “jelasnya.
Oleh karena itu, menurutnya tindakan yang cepat tersebut belum tentu yang terbaik untuk masyarakat. Ia juga mengatakan pemerintah atau regulator dapat melakukan pemutusan akses internet dengan alasan yang tepat. Sehingga dapat ditata dengan cermat dan hati-hati untuk melindungi hak asasi masyarakat.
Pada kesempatan yang sama, Pemohon menghadirkan Asep Komarudin, Kepala Devisi Riset dan Pengembangan Jaringan di Lembaga Bantuan Hukum Pers Greenpeace Indonesia Periode 2014-2018. Asep hadir sebagai saksi mengatakan bahwa pada saat ia masih menjadi tim kuasa hukum Suara Papua telah mengirimkan surat protes dan meminta klarifikasi kepada Kominfo mengenai portal yang tidak bisa diakses atau diblokir. Selain itu, menurutnya, Kominfo sejak awal pemblokiran tidak pernah memberitahukan konten berita mana yang dianggap bertentangan dengan pasal 40 ayat 2 dan tidak ada pemberitahuan apapun terkait pemblokiran tersebut.
Baca juga:
Sempat Alami Pemblokiran, Redaksi Suara Papua dan AJI Gugat UU ITE
Redaksi Suara Papua dan AJI Perbaiki Permohonan Uji UU ITE
Pemerintah: Warga Negara Dapat Ajukan Upaya Administratif Atas Tindakan Pemblokiran
Oce Madril: Kewenangan Pemerintah Memutus Akses Internet Terbatas
Sebelumnya, Para Pemohon merasa dirugikan akibat kewenangan yang dimiliki Pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal 40 ayat (2b) UU ITE. Menurut Pemohon, Pasal 40 ayat (2b) memberikan kewenangan yang luas kepada Pemerintah untuk mengambil kewenangan Pengadilan dalam menegakkan hukum dan keadilan untuk memeriksa, mengadili dan memutus atas tafsir dari informasi dan/atau dokumen elektronik yang melanggar hukum.
Pemohon menilai seharusnya kewenangan memeriksa, mengadili, dan memutus sebuah perkara adalah milik hakim sebagaimana telah diatur dalam Pasal 20 ayat (2) dan Pasal 25 UU 48/2009. Selain itu, kewenangan Pemerintah untuk melakukan pemutusan akses adalah bentuk dari pembatasan kebebasan berekspresi dan kebebasan informasi. Kewenangan ini pula, menurut Pemohon, butuh diawasi secara ketat oleh pengadilan. Hal tersebut sebagai bentuk membatasi penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh pihak Pemerintah.
Menurut para Pemohon, kewenangan Pemerintah melakukan tafsir secara sepihak atas sebuah informasi dan/atau dokumen elektronik bermuatan konten yang melanggar hukum, bertentangan dengan ketentuan due process of law. Selain itu, Pemohon menganggap jika pasal yang diuji dibiarkan sumir dan tidak jelasnya ukuran informasi dan/atau dokumen elektronik yang dianggap melanggar hukum tersebut, maka hal ini berdampak pada pemberian kewenangan yang absolut kepada Pemerintah untuk mengontrol dan memonopoli akses informasi. Hal demikian membuat sulit publik untuk menerima dan menyampaikan informasi dalam rangka partisipasi melakukan pengawasan kepada Pemerintah melalui lembaga Peradilan. Berdasarkan alasan-alasan tersebut, para Pemohon meminta kepada Mahkamah untuk menyatakan ketentuan Pasal 40 ayat (2b) UU 19/2016 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Andhini SF.
https://youtu.be/Jeq_wAKpp2A