JAKARTA, HUMAS MKRI - Demi kepastian hukum, sebuah undang-undang perlu diketahui lebih cepat statusnya dibuat dengan sah atau tidak. Sebab, pengujian secara formil akan menyebabkan undang-undang batal sejak awal. Dengan demikian, seharusnya pemeriksaan pengujian formil dan materiil harusnya dipisah.
Demikian diungkapkan oleh Aan Eko Widianto selaku Ahli yang dihadirkan oleh Alirman Sori dan tujuh Pemohon lainnya selaku Pemohon perkara Nomor 60/PUU-XVIII/2020. Sidang pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) ini digelar pada Selasa (25/5/2021). Sidang ketujuh yang digelar MK ini diselenggarakan untuk tiga perkara sekaligus, yakni Perkara Nomor 59/PUU-XVIII/2020, Nomor 60/PUU-XVIII/2020, dan Nomor 64/PUU-XVIII/2020.
Baca juga: MK Gelar Tiga Perkara Pengujian UU Pertambangan Mineral dan Batubara
Lebih jelas Aan mengemukakan berpendapatnya bahwa pengujian formil didahulukan daripada pengujian materiil, apabila suatu undang-undang dimohonkan untuk dilakukan pengujian secara bersamaan. "Bahwa bangun penalaran hukumnya adalah pengujian materiil atas suatu norma undang-undang akan sia-sia apabila ternyata Mahkamah menyatakan validitas undang-undang tersebut tidak ada karena tidak memenuhi prosedur pembentukan undang-undang," jelas Aan di hadapan siding yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman dnegan didampingi delapan hakim konstitusi lainnya di Ruang Sidang Pleno MK.
Di sisi yang lain, sambung Aan, dengan dilakukannya pengujian formil dan materiil secara bersamaan, maka dapat menjadi isyarat, Mahkamah sudah tidak akan mengabulkan permohonan formil karena undang-undang sudah dianggap memenuhi prosedur pembentukan dan tidak menguji dari aspek materiilnya.
"Tentunya ini, hanya anasir, namun seharusnya penilaian bukti tidak demikian," tegas Aan yang menghadiri persidangan secara virtual dari kediamannya.
Baca juga: Tiga Perkara UU Minerba Perbaiki Permohonan
Pembuktian Terbalik
Berikutnya Aan mengatakan bahwa dalam pengujian formil suatu undang-undanhg seharusnya diterapkan pembuktian terbalik. Sebab, pengujian formil merupakan kasus konkret. Sehingga pembuktiannya lebih pada fakta dan data dokumen konkret. Bagi masyarakat, dalam pembentukan undang-undang tersebut akan mengalami kesulitan untuk membuktikan keberadaan dan kebenaran fakta dan data konkretnya.
Oleh karena itu, jika tidak dilakukan pembuktian terbalik atau pembalikan beban pembuktian, maka segala bukti permohonan proses pembentukan undang-undang, khususnya undang-undang perubahan UU Minerba harus disampaikan sendiri oleh Pemerintah, DPR,dan DPD. Setidaknya, kata Aan, dalam pemberian keterangan sebagaimana ketentuan Pasal 54 Undang-Undang MK.
"Menurut hemat Ahli, kata 'dapat' dalam Pasal 54 dalam konteks pengujian formil seharusnya dimaknai ‘perintah, obligatif, bukan kepulihan dan fakultatif," jelas Aan.
Baca juga: UU Pertambangan Mineral dan Batubara Digugat
Rule of Ethic
Benediktus Hestu Cipto Handoyo selaku Ahli Hukum dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta dalam keterangan selaku Ahli berikutnya yang juga dihadirkan Pemohon Perkara Nomor 60/PUU-XVIII/2020 ini berpendapat prosedur dan proses pembentukan undang-undang tidak semata-mata berpedoman pada prinsip rule of law, kesesuaian isi dan bentuk, kesesuaian dengan prosedur yang telah ditentukan. Akan tetapi juga harus melandaskan pada prinsip-prinsip yang terangkum dalam rule of ethic.
"Maka ketika pembentuk undang-undang mengabaikan rule of ethic pembentukan undang-undang tersebut, jelaslah hal demikian bertentangan dengan konstitusi. Karena sejatinya konstitusi itu tidak lain adalah wujud yang di dalam dataran filosofisnya memuat etika kehidupan berorganisasi suatu kekuasaan, yang dituangkan dalam norma-norma hukum manusia, pembagian pemisahan kekuasaan, legalitas pemerintahan, dan peradilan yang bebas," jelas Benediktus.
Oleh karenanya, sambung Benekditus, cara campur tangan pemerintah dalam kehidupan rakyat adalah melalui proses pembentukan UU yang tidak semata-mata melandaskan pada prinsip rule of law, tetapi juga perlu adanya prinsip rule of ethic.
Baca juga:
Pemohon Uji UU Minerba Perbaiki Permohonan
Untuk diketehui perkara Nomor 60/PUU-XVIII/2020 ini dimohonkan oleh Alirman Sori dan tujuh Pemohon lainnya. Para Pemohon merupakan pihak yang dirugikan hak konstitusionalnya karena pembahasan undang-undang a quo yang dilakukan secara eksklusif dan tertutup dengan tanpa mengindahkan prinsip keterbukaan dan transparansi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pembahasan RUU Minerba tidak melibatkan DPD padahal sesuai dengan konstitusi, DPD mempunyai kewenangan membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan hubungan pusat dan daerah serta pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya.
Baca juga:
Sidang Uji UU Minerba: DPR dan DPD Berhalangan, Pemerintah Minta Penundaan
Sementara itu, permohonan Perkara Nomor 59/PUU-XVIII/2020 diajukan oleh Kurniawan, perorangan warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai peneliti di Organisasi Sinergi Kawal BUMN yang fokus mengawasi dan menyikapi serta memberikan masukan kepada BUMN yang bergerak di bidang Minerba. Menurut Pemohon, substansi materi UU Minerba berisi tentang ketentuan-ketentuan norma yang mengatur hubungan pusat dan daerah serta pengelolaan sumber daya alam. Hal ini berarti keikutsertaan DPD RI dalam membahas Rancangan Undang-Undang Minerba adalah suatu amanat konstitusi yang tidak bisa diabaikan karena menyangkut hadirnya kedaulatan rakyat yang telah diberikan kepada DPD RI melalui Pemilu untuk mewakili kepentingan daerah atas pembentukan UU Minerba. Pemohon selaku Pemilih dalam Pemilu serta sebagai peneliti yang fokus di bidang pertambangan telah mengalami kerugian konstitusional karena tidak dilibatkannya DPD RI dalam proses pembentukan UU tersebut.
Baca juga:
Pemerintah: Perubahan UU Minerba Dilakukan Guna Memperbaiki Kontribusi Sektor Pertambangan
Ahli: UU Minerba Cacat Formil
Berikutnya permohonan perkara Nomor 64/PUU-XVIII/2020 diajukan oleh Helvis, seorang advokat sekaligus purnawirawan TNI, dan Muhammad Kholid Syeirazi, Sekretaris Umum Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (PP ISNU). Para Pemohon mempersoalkan pasal yang disisipkan dalam UU Minerba, yaitu Pasal 169A yang secara umum mengatur perpanjangan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Helvis dan Kholid berpandangan Pasal 169A UU Minerba memberikan peran yang terlalu besar kepada Menteri dan mengesampingkan peran pemerintah daerah. Menurut para Pemohon, pasal tersebut memperlihatkan pembentuk undang-undang tidak berpihak kepada organ negara, dalam hal ini BUMN dan BUMD. Sebaliknya, pasal tersebut malah mengatur pemberian perpanjangan IUPK kepada pihak selain BUMN dan BUMD.
Sebelum menutup persidangan, Ketua MK Anwar Usman menyampaikan bahwa sidang berikutnya akan diselenggarakan pada Selasa, 8 Juni 2021 pukul 11.00 WIB dengan agenda mendengarkan keterangan dari DPR dan Saksi Pemohon Perkara 60/PUU-XVIII/2020.
Penulis: Sri Pujianti
Humas: Raisa Ayuditha.
Editor: Nur R.