JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang kedua dari pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), Selasa (25/5/2021). Rega Felix selaku Pemohon yang berprofesi sebagai advokat menyampaikan beberapa perbaikan permohonannya. Dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul ini, Rega menyebutkan telah memperbaiki uraian terkait kewenangan Mahkamah, menambahkan bunyi pasal yang diujikan, yakni Pasal 23 ayat (1) UUPA, dan memperkuat kedudukan hukum dengan memperjelas syarat kerugian yang dialami Pemohon.
“Berikutnya Pemohon juga menambahkan Pasal 28 H ayat (2) UUD 1945 untuk memperkuat batu uji dalam pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria ini,” jelas Rega yang merupakan Pemohon Perkara Nomor 12/PUU-XIX/2021 ini.
Selain itu, Pemohon juga melakukan perbaikan berupa pengurangan jumlah halaman permohonan Pemohon dan memperkuat dalil dengan menyerahkan beberapa alat bukti. Hal ini perlu dilakukan untuk memperkuat penjabaran mengenai kerugian yang dialami Pemohon. Di samping itu, Pemohon juga memperbaiki Petitum yang menyatakan kata “peralihan” dalam UUPA bertentangan dengan UUD 1945.
Baca juga: Menyoal Peralihan Hak Atas Aset yang Dibiayai Perbankan Syariah
Dalam perkara ini, Pemohon mendalilkan Pasal 23 ayat (1) UUPA bertentangan dengan UUD 1945. Menurutnya kedua pasal tersebut berpengaruh terhadap praktik perbankan syariah karena dalam melakukan transaksi perbankan syariah, tanah dapat menjadi objek transaksi, baik peralihannya atau pembebanan terhadap hak atas tanah yang menjadi underlying transaksinya. Maka, ketentuan demikian juga berlaku untuk menjalankan transaksi di perbankan syariah. Menurutnya, ia berhak menggunakan layanan perbankan syariah sebagai wujud keyakinannya. Oleh karenanya, Pemohon mengajukan fasilitas pembiayaan ke bank syariah berdasarkan Akad Murabahah. Namun, adanya norma a quo, dalam transaksi perbankan syariah mensyaratkan adanya peralihan hak atas aset yang dibiayai.
Sebagai ilustrasi, Pemohon menyampaikan dalam kasus konkret yang dialaminya saat mengajukan pembiayaan Murabahah untuk pembelian tanah. Untuk pengembangan usahanya, ia pun melakukan kembali pengajuan pembiayaan pada pihak bank. Atas hal ini, ia harus melakukan konversi akad yang telah dilakukan sebelumnya. Dalam hal ini, Pemohon harus menjual tanah yang sudah dibeli kepada pihak bank dan kemudian bank akan menyewakan tanah tersebut kepadanya dengan janji bahwa di akhir masa sewa akan dihibahkan kepada Pemohon. Dari skema ini, Pemohon menilai banyak sekali peralihan hak milik yang terjadi, bahkan mencapai 4 kali proses balik nama dalam satu transaksi. Hal ini menjadi beban yang berat karena harus menanggung biaya yang tinggi dan proses yang lama. Atas kejadian ini, Pemohon menilai negara wajib menjamin transaksi yang dilakukan perbankan syariah telah memiliki landasan hukum yang kuat agar hak konstitusionalnya yang terdapat dalam Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 tidak terlanggar oleh keberlakuan norma a quo. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor : Lulu Anjarsari P
Humas : Annisa Lestari