JAKARTA, HUMAS MKRI – Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Aswanto menjadi narasumber Kegiatan “Pendidikan Calon Advokat V”. Kegiatan ini diselenggarakan oleh DPP Lawyer dan Legal bekerja sama dengan Fakultas Hukum Pasca Sarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon pada Minggu (23/5/2021) siang secara virtual. Aswanto menyampaikan materi “Beracara pada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia”.
Di awal paparan, Aswanto menjelaskan dasar pembentukan Mahkamah Konstitusi sesuai Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya, dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh Mahkamah Konstitusi.
Selanjutnya, Aswanto memaparkan empat kewenangan dan satu kewajiban MK seperti disebutkan dalam Pasal 24C Ayat (1) dan Ayat (2) UUD 1945. Kewenangan utama MK melakukan pengujian undang-undang (UU) terhadap Undang-Undang Dasar. Mengenai pengujian UU terbagi menjadi dua yakni pengujian formil dan pengujian materiil.
“Pengujian formil adalah yang berkaitan dengan proses pembentukan undang-undang dan hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil. Sedangkan pengujian materiil adalah pengujian undang-undang yang berkenaan dengan substansi undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945,” ujar Aswanto.
Pengujian formil memiliki batas waktu. Berdasarkan Putusan Nomor 27/PUU-VII/2009, MK telah menetapkan batas waktu pengujian formil UU adalah 45 hari setelah UU tersebut dimuat dalam lembaran negara.
Aswanto lebih lanjut memaparkan, semula, UU yang dapat diuji di MK adalah UU yang diundangkan setelah perubahan UUD 1945, sesuai ketentuan dalam Pasal 50 UU No. 24/2003. Namun dalam perkembangan pelaksanaan kewenangannya, MK menyatakan Pasal 50 UU No. 24/2003 bertentangan dengan UUD 1945. Pasal tersebut dinyatakan inkonstitusional berdasarkan Putusan MK Nomor 066/PUU-II/2004 yakni pengujian UU No. 1 Tahun 1987 tentang Kadin. Dengan demikian MK berwenang menguji semua UU yang telah disahkan. Selain itu, berdasarkan Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009, MK menyatakan berwenang menguji peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) dengan pertimbangan bahwa perpu menimbulkan norma hukum baru yang kekuatan berlakunya sama dengan UU.
Tahap Pengujian UU
Berikutnya Aswanto memaparkan tahapan dalam pengujian UU. Tahap pertama, MK menggelar sidang pendahuluan. Ada tiga hakim konstitusi yang akan mendengarkan dengan saksama unsur-unsur pokok dari sebuah perkara yang dimohonkan oleh Pemohon. Dalam sidang tersebut, panel hakim memberikan nasihat untuk perbaikan permohonan. Selanjutnya, Pemohon diberikan waktu selambat-lambatnya 14 hari untuk melakukan penyempurnaan permohonan.
Tahap kedua, sidang pemeriksaan perbaikan permohonan untuk mendengarkan hal-hal yang menjadi pokok perbaikan permohonan Pemohon. Setelah dua tahap sidang panel tersebut dilaksanakan, selanjutnya panel hakim membawa pokok perkara ke Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Melalui agenda RPH ini, hakim panel dapat merekomendasikan layak tidaknya sebuah perkara berlanjut ke sidang pleno atau cukup selesai pada sidang panel. Setelah tahap ini, setiap pihak akan diberikan waktu untuk pembuktian. Pemohon, Presiden, DPR, dan Pihak Terkait, masing-masing menyampaikan pembuktian dengan mendatangkan ahli dan saksi. Setelah semua mendapatkan kesempatan pembuktian, tahap berikutnya Mahkamah kembali menggelar RPH untuk putusan.
Selanjutnya, Aswanto mengungkapkan kewenangan MK memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD. “Dalam konteks untuk mengajukan permohonan sengketa antara lembaga negara di MK, adalah lembaga negara yang kewenangannya diatur dan diberikan oleh Konstitusi. Tidak semua kewenangan lembaga negara diberikan oleh Konstitusi. Misalnya Kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi, yang kewenangannya berdasarkan Undang-Undang,” jelas Aswanto.
Selain itu, kata Aswanto, MK berwenang memutus pembubaran partai politik (parpol). Parpol dapat dibubarkan apabila bertentangan dengan haluan negara. Sebagai Pemohon untuk mengajukan gugatan pembubaran parpol ke MK adalah pemerintah. Berikutnya, MK berwenang memutus sengketa hasil pemilu, baik pemilihan presiden maupun pemilihan legislatif.
Lalu, bagaimana dengan pilkada? Kewenangan menangani sengketa hasil pilkada pertama kali dilakukan Mahkamah Agung (MA). Kemudian MA mengalihkan kewenangannya ke pengadilan tinggi untuk menangani sengketa pilkada di tingkat kabupaten/kota. Sementara untuk sengketa pilkada di tingkat provinsi tetap ditangani MA.
Seiring dengan perkembangan zaman, terang Aswanto, setelah melalui diskusi-diskusi panjang, kewenangan menangani sengketa hasil pilkada dialihkan ke MK. Meski setelah ada Putusan MK, Mahkamah menegaskan bahwa penanganan sengketa hasil pilkada bukan merupakan kewenangan Mahkamah. Tetapi kenapa Mahkamah tetap menangani, karena ada klausul dalam Putusan MK menyatakan bahwa yang mempunyai kewenangan menangani sengketa hasil pilkada adalah peradilan khusus. Tetapi sepanjang belum terbentuk peradilan khusus, maka penanganan sengketa hasil pilkada tetap menjadi kewenangan MK.
Tak hanya memiliki empat kewenangan, MK juga memiliki kewajiban memutus pendapat DPR apabila ada dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan tindakan melanggar hukum atau melakukan perbuatan tercela. Pihak yang memohon putusan Mahkamah atas pendapat DPR adalah DPR yang diwakili oleh Pimpinan DPR yang dapat menunjuk kuasa hukumnya. Pihak yang diduga melakukan pelanggaran adalah Presiden dan/atau Wakil Presiden yang dapat didampingi dan /atau diwakili oleh kuasa hukum. Di samping itu, DPR wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya mengenai dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden berdasarkan UUD 1945.
Aswanto juga menerangkan mengenai pemberian kuasa untuk persidangan di MK. Pemohon dan atau Termohon dapat didampingi atau diwakili kuasa hukum, sedangkan badan hukum publik atau privat bisa didampingi kuasa atau menunjuk kuasa. Kuasa hukum dalam persidangan MK tidak harus advokat. Jaksa pengacara negara dapat menjadi kuasa dalam persidangan di MK. Dalam perselisihan hasil Pemilu Tahun 2009, jaksa menjadi kuasa dari Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Mengenai sistematika permohonan, terdiri atas identitas Pemohon, Kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum (legal standing), posita, petitum. Aswanto juga menerangkan sejumlah alasan pemohon menguji UU ke MK, antara lain hak-hak konstitusional pemohon yang dirugikan oleh berlakunya UU, kerugian konstitusionalnya bersifat spesifik, aktual dan potensial. Selain itu harus ada korelasi, hubungan sebab akibat antara hak konstitusional yang dijamin oleh UUD dengan berlakunya UU.
MK juga memberikan legal standing kepada organisasi non pemerintah yang peduli terhadap isu tertentu yang berkaitan dengan berlakunya UU tertentu untuk mengajukan perkara ke MK. Pembayar pajak (tax payer) juga memiliki kewenangan mengajukan perkara di MK. Timbulnya legal standing dalam hal ini akan dilihat dari keterkaitan antara pembayaran pajak dengan ketentuan yang diuji.
Putusan MK
Bicara mengenai Putusan MK, Aswanto mengatakan MK mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Semua pihak harus tunduk dan melaksanakannya. Putusan MK memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum.
“Putusan MK bersifat erga omnes. Norma yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat meskipun norma yang sama diatur dalam undang-undang lain yang tidak/belum dimohonkan pengujian ke Mahkamah Konstitusi,” ucap Aswanto.
Kemudian mengenai amar Putusan MK, ada yang berupa permohonan Pemohon tidak dapat diterima (NO), permohonan Pemohon dikabulkan sebagian atau seluruhnya, menolak sebagian atau seluruh permohonan Pemohon, serta amar putusan bersifat konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) maupun inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional).
onstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional)
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.