JAKARTA, HUMAS MKRI – Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menjadi narasumber Diskusi Panel "SBS. UUD NRI Tahun 1945" Program Pendidikan Singkat Angkatan (PPSA) XXIII Lemhannas RI secara daring pada Senin (24/5/2021). Topik diskusi kali ini yakni "Dampak Amandemen UUD Tahun 1945 Dalam Sistem Ketatanegaraan”.
Enny pada kesempatan tersebut memaparkan alasan perlunya dilakukan amendemen UUD 1945. Menurutnya, amendemen UUD 1945 adalah suatu keniscayaan, karena UUD itu sendiri sudah memberikan ruang untuk melakukan perubahan sepanjang disepakati mengenai hal itu. Dalam konteks ini, Enny mengungkap sejarah tidak cukup baik di masa Orde Baru, dimana ada niat untuk tidak melakukan perubahan UUD untuk melaksanakan UUD secara murni dan konsekuen. Hal itu dituangkan dalam TAP MPR No. 4 Tahun 1983 mengenai Referendum.
“Sejatinya, ini adalah TAP MPR tersebut yang bertentangan dengan UUD itu sendiri. Namun tidak ada kelembagaan yang bisa mengujikan soal itu. Sehingga pertentangan itu berlangsung sedemikian rupa yang pada intinya adalah TAP MPR tersebut ingin melaksanakan ketentuan dari UUD 1945. Apa yang tertuang dalam TAP MPR tersebut sejatinya bertentangan dengan the founding fathers kita, terutama para pembentuk UUD 1945. Karena yang dikehendaki pembentuk UUD 1945, khususnya Bung Karno yang mengatakan dari awal bahwa UUD 1945 bersifat sementara,” papar Enny.
Padahal, sambung Enny, UUD 1945 yang asli menyebutkan perlunya penyempurnaan UUD 1945. Bung Karno pun pada 1957 menegaskan bahwa mekanisme terkait penyempurnaan UUD 1945 harus disegerakan dalam rangka mengisi hal-hal yang menjadi kekurangan dari UUD 1945. Termasuk memberikan nuansa yang baru, mengikuti perkembangan zaman, yang belum semua bisa terakomodasi dalam UUD 1945.
Kelemahan UUD 1945 Sebelum Perubahan
Saat reformasi politik 1998 terjadi di Indonesia, tutur Enny, momentum itu digunakan untuk mencabut TAP MPR No. 4 Tahun 1983 karena menentukan proses perubahan UUD dengan referendum. Kala itu banyak kajian dan pendapat para pakar yang menyebut kekurangan dan kelemahan UUD 1945, sehingga perlu dilakukan perubahan dan penyempurnaan. Misalnya terkait hakikat dari suatu pembatasan kekuasaan.
“Kemudian kelemahan berikutnya dari UUD 1945, kekuasaan sepenuhnya diletakkan di tangan Presiden. Belum ada mekanisme checks and balances antara lembaga negara yang bisa seimbang satu sama lain. Selain itu UUD 1945 belum jelas mengatur sistem pemerintahan yang kita anut, apakah sistem presidensiil, sistem parlementer atau sistem presidensiil dipadukan dengan sistem parlementer,” tutur Enny.
Kelemahan berikut dari UUD 1945 kala itu, sambung Enny, begitu besarnya atribusi, delegasi kewenangan Presiden yang mengatur soal penting yang kemudian diletakkan dalam undang-indang atau peraturan di bawahnya. Contohnya masalah hak asasi manusia yang sejatinya menjadi materi pokok UUD 1945, namun malah diletakkan dalam peraturan dan undang-undang di bawahnya. Hal ini menyebabkan penegakan hukum terhadap persoalan hak asasi manusia menjadi sangat lemah. Selain itu, adanya multitafsir dari materi UUD 1945, misalnya terkait masa jabatan Presiden kala itu yang tidak ada batas periodisasinya.
Oleh karena itu, kata Enny, karena adanya kelemahan-kelemahan UUD 1945 kala itu, para reformis minta agar mempercepat amendemen UUD 1945. Tahun 1999-2002 dilakukan amendemen UUD 1945. Hasil kesepakatan para perumus UUD 1945 terkait amendemen UUD 1945 menyatakan tidak akan mengubah Pembukaan UUD 1945. Kemudian mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), mempertegas sistem pemerintahan presidensiil. Selanjutnya meniadakan Penjelasan UUD 1945 dan hal-hal normatif dalam Penjelasan UUD 1945 dituangkan dalam Batang Tubuh UUD 1945. Perubahan UUD 1945 dilakukan secara adendum, bukan mengganti UUD 1945.
“Perubahan pertama UUD 1945 melakukan pengurangan kekuasaan Presiden. Perubahan kedua UUD 1945 dilakukan sangat masif, terutama pada masalah hak asasi manusia. Perubahan ketiga UUD 1945 intinya adalah membangun desain yang baik, hubungan antara organ kekuasaan negara. Perubahan keempat UUD 1945 tetap membangun desain yang baik, hubungan antara organ kekuasaan negara,” urai Enny.
Dampak Amendemen UUD 1945
Lebih lanjut Enny mengungkapkan sejumlah dampak dari hasil amendemen UUD 1945. Salah satu dampak terpenting adalah MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara, sehingga organ-organ antara lembaga negara memiliki kedudukan yang setara.
Hal ini menurut Enny, akan berimplikasi terhadap tiga pilar kekuasaan, baik eksekutif, legislatif dan judikatif. Pada pilar eksekutif, masa jabatan Presiden dibatasi hanya lima tahun untuk satu periode dan hanya diperpanjang satu periode. Pada pilar legislatif, adanya kehadiran sebuah lembaga negara baru yakni DPD. Pada pilar judikatif, ada penyatuan atap fungsi judisial dan nonjudisial dalam kelembagaan Mahkamah Agung. Selain itu, hadirnya Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga konstitusi.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.