JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang kedua dari pengujian Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan dan PKPU) terhadap UUD 1945 pada Senin (24/5). Perkara yang teregistrasi Nomor 8/PUU-XIX/2021 ini diajukan oleh Hendry Agus Sutrisno yang berprofesi sebagai PNS Kota Depok.
Dalam permohonan, Pemohon mendalilkan Pasal 7 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU bertentangan dengan UUD 1945. Pada sidang dengan agenda perbaikan permohonan ini, Hendry mengemukakan beberapa hal yang telah disempurnakan pada permohonannya. Yakni, menggunakan hanya Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sebagai batu uji, penjelasan tambahan berkaitan dengan kedudukan hukum Pemohon, posita permohonan, dan petitumnya.
“Perbaikan Petitum menjadi menyatakan Pasal 7 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Permohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 43, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58, Pasal 68, Pasal 161, Pasal 171, Pasal 207, dan Pasal 212 harus diajukan seorang advokatatau seorang kreditur dan/atau debitur yang berlatar belakang pendidikan sarjana hukum”,” ujar Hendry dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dengan didampingi Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Suhartoyo.
Baca juga: Aturan Hanya Advokat yang Boleh Berperkara dalam UU Kepailitan dan PKPU Diuji
Menurut Pemohon, pasal quo mengandung makna hanya seorang advokat yang dapat melakukan tindakan hukum. Sementara warga negara lainnya khususnya para kreditor atau debitor yang bukan seorang advokat justru dinilai tidak memiliki kedudukan hukum untuk beperkara di pengadilan. Pada kasus konkret yang dialaminya, Hendry merupakan kreditor yang sedang melawan debitor KSP Pandawa Mandiri Grup dan Nuryanto di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Ia menggunakan jasa advokat dalam pengajuan perkara di pengadilan,tapi kemudian jika perkara kepailitan berakhir dan pihaknya belum mendapatkan pelunasan, maka untuk mendapatkan hak tersebut dirinya harus kembali menggunakan jasa advokat.
Dengan demikian, menurutnya pasal a quo sangat bersifat diskriminatif dan tidak menjunjung asas kedudukan yang sama di hadapan hukum serta tidak memberikan rasa keadilan bagi Pemohon dan seluruh rakyat Indonesia. Untuk itu, Pemohon meminta pada Mahkamah agar menyatakan Pasal 7 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Permohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 43, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58, Pasal 68, Pasal 161, Pasal 171, Pasal 207, dan Pasal 212 harus diajukan seorang advokat atau seorang kreditur dan/atau debitur yang berlatar belakang pendidikan sarjana hukum.” (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor : Lulu Anjarsari P
Humas : Annisa Lestari