BIMA, HUMAS MKRI - Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman menjadi narasumber kegiatan Sosialisasi Sehari yang diadakan oleh DPRD Kota Bima pada Jumat (21/5/2021). Dalam kegiatan tersebut, Ketua MK menyampaikan tema “Peran Mahkamah Konstitusi Dalam Menjaga dan Merawat Hak-Hak Konstitusional Warga Negara dalam Negara Demokrasi”.
Anwar menjelaskan cikal-bakal lahirnya pemikiran tentang keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia, yaitu bermula pada saat pembahasan UUD 1945. Pemikiran tersebut digagas oleh Prof. Muhammad Yamin yang ketika pembahasan rancangan UUD oleh Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) mengatakan pentingnya sebuah lembaga yudikatif yang memiliki kewenangan untuk membanding undang-undang. Namun pemikiran tersebut ditolak dengan beberapa alasan, di antaranya ketika itu bangsa Indonesia baru saja merdeka, sehingga para sarjana hukum di Indonesia belumlah banyak
Pada saat pembahasan untuk mengubah UUD 1945 dalam era reformasi, pendapat mengenai pentingnya suatu lembaga yudikatif yang memiliki kewenangan untuk membanding undang-undang muncul kembali.
Selanjutnya Anwar menerangkan tentang perubahan UUD 1945 yang menyebabkan MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara. Supremasi MPR beralih kepada konstitusi pasca terbentuknya konstitusi yang telah disepakati.
“Karenanya, perlu disediakan sebuah mekanisme institusional dan konstitusional, yaitu sebuah lembaga negara untuk mengatasi kemungkinan terjadinya sengketa antar lembaga negara, yang kini telah menjadi sederajat serta saling mengimbangi dan saling mengendalikan (checks and balances),” kata Anwar.
Selanjutnya Anwar menjelaskan kewenangan dan kewajiban MK. Terkait kewenangan MK menguji undang-undang (UU), Anwar menjelaskan UU merupakan produk politik yang dibentuk oleh dua lembaga negara, yakni legislatif dan eksekutif. Kedua lembaga negara ini mendapatkan legitimasi kekuasaannya melalui konsep demokrasi dengan mekanisme yang kita kenal sebagai pemilu. Produk pemilu tentulah menghasilkan suara mayoritas yang pada akhirnya berujung kepada kekuasaan untuk dapat duduk secara mayoritas pula, baik itu di parlemen, maupun kedudukan tertinggi di eksekutif, yakni sebagai Presiden. Konsep semacam ini, berlaku hampir di semua negara yang menganut paham demokrasi dengan bertumpu pada prinsip teori kedaulatan rakyat, dimana rakyat digambarkan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Hal ini seolah telah menggambarkan konsep yang ideal dalam sistem bernegara. Padahal, jika kita cermati prinsip demokrasi semacam ini, justru telah membawa cacat sejak kelahirannya. Mengapa? Karena konsep ini hanya membawa suara mayoritas semata sebagai suara kebenaran, dan suara minoritas dipaksa untuk mengikuti suara mayoritas yang belum tentu benar.
Pasca perubahan UUD 1945, paham demokrasi yang dianut saat ini harus berjalan beriring dengan paham nomokrasi (konstitusi) sebagai konsensus norma tertinggi dalam bernegara. Hal ini memiliki konsekuensi logis bahwa, meskipun suatu UU telah dibentuk oleh lembaga legislatif bersama eksekutif, namun guna menghindari terjadinya tirani mayoritas terhadap minoritas, serta untuk menjaga konstitusionalitas bernegara sesuai dengan UUD 1945, maka Pengujian undang-undang (PUU/judicial review) adalah merupakan suatu keharusan sebagai wujud dari perimbangan kekuasaan antaracabang kekuasaan negara, serta untuk melindungi hak konstitusionalitas warga negara akibat kebijakan politik yang berpotensi melanggar hak-hak warga negara.
Penulis: Agung Sumarna.
Editor: Nur R.