Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pertama permohonan pengujian materiil (judicial review) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pemilu), Selasa (15/04), di ruang sidang Pleno Gedung MK. Sidang mengagendakan pemeriksaan pendahuluan.
Permohonan yang dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK) MK bernomor perkara 10/PUU-VI/2008 ini diajukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), perorangan anggota DPD, perorangan yang tinggal di provinsi tertentu atau warga daerah, Sekretariat Nasional Perlindungan Hak Konstitusional Masyarakat Hukum Adat (Seknas MHA), Centre for Electoral Reform (Cetro), Indonesian Parliamentary Center (IPC), dan Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi).
Persidangan dihadiri Ketua Tim Judicial Review UU Pemilu DPD yang juga Wakil Ketua DPD Laode Ida (Sulawesi Tenggara), Direktur Eksekutif Cetro Hadar N Gumay, dan Ketua Dewan Pakar Seknas MHA Saafroedin Bahar, dan Koordinator Formappi Sebastian Salang.
Pemohon menerangkan bahwa penghapusan asas domisili dan asas non-partai politik dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu merupakan penghilangan norma konstitusi dalam undang-undang. Ketiadaan kedua syarat mencacatkan UU Pemilu, karena menegasikan norma konstitusi bahwa calon anggota DPD dipilih dari provinsi terkait (Pasal 22C ayat (1) UUD 1945) dan calon anggota DPD berasal dari perseorangan (Pasal 22E ayat (4) UUD 1945).
Dalam petitum yang dibacakan Koordinator Tim Kuasa Hukum, Todung Mulya Lubis, MK diminta mengeluarkan putusan bahwa Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 serta menyatakan keduanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibatnya.
Todung mengaku dilematis karena para pemohon mengajukan permohonan pengujian norma konstitusi yang secara eksplisit tidak tercantum dalam undang-undang. âDi dalam Pasal 12 dan Pasal 67 justru ada semacam penghilangan norma. Di sini ada hak konstitusional yang dirugikan karena bertentangan dengan original intent para pembentuk UUD,â tukasnya.
Usai petitum dibacakan, panel hakim MK yang diketuai Abdul Mukthie Fadjar beranggotakan I Dewa Gede Palguna dan Maruarar Siahaan memberikan nasihat kepada pemohon dan/atau kuasanya. Mukthie meminta legal standing pemohon dan pokok permohonan dilengkapi dan/atau diperbaiki agar diperjelas pemaparan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional apa saja karena Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu ini.
Salah satunya, DPD secara kelembagaan akan memiliki alasan kerugian konstitusional yang berbeda dengan anggota DPD secara perorangan. âDalil-dalil kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional masing-masing pemohon tentunya akan berbeda-beda. Bahkan, apa benar pemohon meminta dibatalkannya keberlakuan semua persyaratan menjadi anggota DPD sebagaimana tercantum dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu ini?â tanya Mukthie mempertegas.
Sementara itu, Palguna mempertanyakan apakah DPD telah menyelenggarakan sidang paripurna yang memberi wewenang kepada pimpinan DPD untuk mengajukan judicial review UU Pemilu ke MK. Apabila tidak diputuskan sidang paripurna DPD, bisa saja kelak sebagian anggota DPD yang menyangkal pengajuan tersebut atas nama DPD secara kelembagaan.
Selain itu, Palguna mengatakan bahwa permohonan ini lebih terkait persoalan individual liberty dalam konteks hak sipil dan politik yang tentunya akan berbeda kerugian konstitusionalnya antara lembaga negara dan perorangan. âPara pemohon harus bisa menjelaskan secara lebih baik perihal hak sipil dan politik apa yang dirugikan berkaitan dengan berlakunya UU Pemilu ini,â tambahnya.
Maruarar meminta para pemohon mempertegas argumentasi hukum untuk memberikan alternatif solusi bagi MK apabila permohonan mereka dikabulkan MK. âBisakah ditekankan argumentasi hukum untuk lebih meyakinkan tentang larangan anggota partai politik menjadi anggota DPD atau mewakili provinsi tertentu untuk menjadi anggota DPD?â tanyanya memperjelas.
Seusai panel hakim memberikan masukan atau saran kepada para pemohon, Laode menyatakan, DPD telah menggelar sidang paripurna yang menghasilkan keputusan untuk mengajukan judicial review UU Pemilu dan menunjuk dirinya sebagai Ketua Tim Judicial Review UU Pemilu. âKami akan susulkan (keputusan sidang) paripurna tersebut,â jawabnya.
Menyambung Laode, Anggota Tim Kuasa Hukum, Bambang Widjojanto, mengatakan apabila anggota partai politik berhak menjadi anggota DPD akan berpotensi menyebabkan abuse of power. âApalagi, original intent jelas menegaskan (larangan) itu,â ucapnya.
Sebelum mengakhiri persidangan, Mukthie memberi waktu maksimal 14 hari kepada para pemohon untuk untuk melengkapi dan/atau memperbaiki legal standing pemohon dan pokok permohonan. Menanggapinya, koordinator kuasa tujuh pemohon judicial review UU Pemilu akan segera melengkapi dan/atau memperbaiki permohonannya.
Sumber www.dpd.go.id (15/04/08)
Foto Dok Humas MK