JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa posisi Dewan Pengawas KPK dan Pimpinan KPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) bukanlah struktur yang hierarkis. Sehingga dalam desain besar pemberantasan korupsi keduanya tidak saling membawahi namun saling bersinergi menjalankan fungsi masing-masing.
Demikian salah satu pendapat Mahkamah dalam Putusan Nomor 71/PUU-XVII/2019 terkait permohonan yang diajukan oleh para mahasiswa tersebut. Dalam putusan yang dibacakan pada Selasa (4/5/2021) tersebut, Mahkamah menyatakan permohonan para Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas norma Pasal 12B, Pasal 12C, Pasal 12D, Pasal 37B ayat (1) huruf b, Pasal 40, dan Pasal 47 UU KPK tidak dapat diterima. “Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya,” ucap Ketua MK Anwar Usman.
Dalam permohonannya, para Pemohon mendalilkan Dewan Pengawas KPK lebih superior dari Pimpinan KPK dan keanggotaan Dewan Pengawas KPK yang diangkat dan ditetapkan oleh Presiden akan menjadikan tugas dan wewenang KPK sangat terpusat pada Presiden. Terhadap dalil para Pemohon tersebut, Wakil Ketua MK Aswanto yang membacakan pertimbangan hukum menyatakan, posisi Dewan Pengawas KPK dan Pimpinan KPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) UU KPK bukanlah struktur yang hierarkis, sehingga dalam desain besar pemberantasan korupsi keduanya tidak saling membawahi, namun saling bersinergi menjalankan fungsi masing-masing. “Apalagi, beberapa kewenangan Dewan Pengawas KPK telah dinyatakan inkonstitusional dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XVII/2019 bertanggal 4 Mei 2021,” ucap Aswanto.
Baca juga: UU KPK Kembali diuji MK
Aswanto melanjutkan adapun mengenai komposisi dan tata cara pengangkatan Dewan Pengawas KPK yang diangkat dan ditetapkan oleh Presiden tidaklah menjadikan KPK harus bertanggung jawab kepada Presiden. Berdasarkan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU 30/2002) telah dinyatakan bahwa “Komisi Pemberantasan Korupsi bertanggung jawab kepada publik atas pelaksanaan tugasnya dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan”.
“Apalagi, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/2017 bertanggal 8 Februari 2018 telah ditegaskan bahwa dalam melaksanakan tugas yudisialnya KPK bersifat independen dan tidak dapat diintervensi oleh kekuasan manapun. Begitu pula, perihal pengangkatan Dewan Pengawas KPK, UU 19/2019 hanya membenarkan pengangkatan untuk pertama kalinya dilakukan oleh Presiden. Artinya, pengangkatan selanjutnya akan dilakukan melalui proses sebagaimana proses pengisian pimpinan KPK. Oleh karena itu, kekhawatiran para Pemohon perihal kemungkinan pengaruh yang besar dari Presiden terhadap independensi KPK adalah hal yang berlebihan,” urai Aswanto.
Baca juga: Para Pemohon Uji UU KPK Sampaikan Perbaikan
Tindak Pidana Asal
Selanjutnya, Mahkamah mempertimbangkan dalil para Pemohon bahwa KPK tidak diberi kewenangan menangani perkara Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) karena tidak ditegaskan dalam UU KPK. Hakim Konstitusi Suhartoyo menyebut pengaturan TPPU ada dalam peraturan perundang-undangan. Pasal 1 angka 1 UU No. 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menyebutkan bahwa pencucian uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini. Salah satu yang dikualifikasikan sebagai hasil tindak pidana dalam UU No. 8/2010 adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
“Dengan demikian meskipun tindak pidana korupsi dan TPPU merupakan tindak pidana yang diatur dalam undang-undang yang berbeda atau terpisah, namun keduanya memiliki keterkaitan karena salah satu tindak pidana asal dari TPPU adalah tindak pidana korupsi,” kata Suhartoyo yang juga membacakan pertimbangan putusan.
Baca juga: DPR: Kewenangan Penyadapan KPK Harus Dilakukan Hati-Hati
Dalam kaitan itu, meskipun kewenangan TPPU tidak disebutkan secara tegas pada Pasal 6 huruf e UU No. 19/2019, namun menurut Mahkamah, KPK dengan sendirinya memiliki kewenangan untuk menangani perkara TPPU sepanjang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi.
Berdasarkan semua uraian dan pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat bahwa dalil para Pemohon tidak beralasan menurut hukum. Dalam amar putusan MK, Ketua Panel Anwar Usman didampingi para hakim konstitusi lainnya menyatakan menolak permohonan para Pemohon.
Seperti diketahui, Perkara No. 71/PUU-XVII/2019 ini dimohonkan Zico Leonard Djagardo Simanjuntak dkk. Mereka menguji antara lain Pasal 6 huruf e dan Pasal 12 ayat (1) UU KPK. Menurut para Pemohon, eksistensi Dewan Pengawas KPK merupakan suatu paradoks yang justru melemahkan pemberantasan korupsi. Keberadaan Dewan Pengawas yang diatur oleh undang-undang a quo justru menyimpang dari suatu sistem pengawasan, dan berujung pada pelemahan pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK.
Ditolak dan Tidak Dapat Diterima
Berikutnya, pada sidang yang sama MK juga memutuskan permohonan Perkara No. 77/PUU-XVII/2019 yang diajukan Jovi Andrea Bachtiar dkk. “Amar putusan mengadili, menyatakan permohonan Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas Pasal 12B ayat (1), Pasal 12B ayat (2), Pasal 12B ayat (3), Pasal 12B ayat (4), Pasal 37B ayat (1) huruf h, Pasal 47 ayat (1), Pasal 47 ayat (2) Pasal 69A ayat (1) dan Pasal 69 ayat (4) UU KPK tidak dapat diterima. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya,” demikian disampaikan Ketua Pleno Anwar Usman.
Sebelumnya, para Pemohon Perkara No. 77/PUU-XVII/2019 melakukan pengujian materiil antara lain Pasal 12B ayat (1), Pasal 12B ayat (2), Pasal 12B ayat (3), Pasal 12B ayat (4), Pasal 12C ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 37B ayat (1) huruf h, Pasal 47 ayat (1), Pasal 47 ayat (2) Undang-Undang No. 19/2019 tentang Perubahan Kedua Atas UU KPK.
Selain itu para Pemohon menguji Pasal 51A ayat (5) huruf a dan huruf b serta Pasal 57 ayat (3) UU MK serta Pasal 10 ayat (1) huruf d dan Pasal 23 ayat (1) huruf b UU No. 12/2011 serta Pasal 69A ayat (1) dan Pasal 69 ayat (4) UU KPK.
Para Pemohon mendalilkan, keberadaan pengaturan terkait kedudukan dan mekanisme pengisian jabatan Dewan Pengawas dalam Perubahan Kedua UU KPK berpotensi melanggar prinsip-prinsip negara hukum (rechtstaats) dan prinsip independensi (independent judiciary) pada proses peradilan.
Setelah Mahkamah membaca dengan saksama permohonan para Pemohon, keterangan ahli, Pihak Terkait dan lainnya, Mahkamah menilai dalil para Pemohon berkaitan dengan inkonstitusionalitas pasal-pasal yang diujikan tersebut kehilangan objek.
“Sementara itu berkenaan dengan inkonstitusionalitas Pasal 51A ayat (5) huruf a dan huruf b serta Pasal 57 ayat (3) UU MK serta Pasal 10 ayat (1) huruf d dan Pasal 23 ayat (1) huruf b UU No. 12/2011 adalah tidak beralasan menurut hukum. Sedangkan berkenaan dengan Pasal 69A ayat (1) dan Pasal 69 ayat (4) UU KPK adalah kabur,” kata Hakim Konstitusi Suhartoyo yang membacakan pertimbangan Mahkamah.
Unsur Penegak Hukum
Masih dalam rangkaian sidang putusan uji materiil UU KPK, Mahkamah juga memutus untuk Perkara Nomor 73/PUU-XVII/2019 yang dimohonkan oleh dua orang mahasiswa, yakni Ricki Martin Sidauruk dan Gregorius Agung. Sebelumnya, Pemohon mendalilkan bahwa semestinya penyelidik KPK tak melulu berasal dari kepolisian, kejaksaan, internal KPK dan/atau instansi pemerintah lainnya. Menurut Ricki, dengan membatasi perekrutan penyelidik KPK yang hanya dapat diikuti oleh orang yang berasal dari kepolisian, kejaksaan, internal KPK dan/atau instansi-instansi pemerintah lainnya semata tentu akan sangat mungkin mengurangi kadar independensi tersebut. Dengan adanya ketentuan tersebut, seharusnya setiap warga negara diberi ruang yang bebas untuk mengambil bagian dalam usaha memperbaiki kehidupan bangsa termasuk dalam upaya pemberantasan korupsi.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, Mahkamah berpendapat bahwa penyelidik KPK sebagaimana yang diatur dalam Pasal 43 ayat (1) UU KPK harus hanya berasal dari unsur kepolisian, kejaksaan, instansi pemerintah lainnya, dan/atau internal KPK sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU UU KPK. Menurut Mahkamah, lanjut Enny, KPK memiliki kewenangan untuk mengangkat sendiri pegawainya untuk menjadi penyelidik di samping pegawai dari lembaga/instansi lainnya sebagaimana ditentukan dalam Pasal 43 ayat (1) KPK yang memenuhi syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 43A ayat (1) UU KPK.
“Terkait dengan keinginan para Pemohon agar ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU 19/2019 tersebut dapat mengakomodir khalayak umum tanpa ada pembatasan, hal tersebut tidak serta-merta menutup kesempatan khalayak umum termasuk para Pemohon untuk menjadi penyelidik pada KPK. Sebab, keinginan para Pemohon untuk dapat menjadi penyelidik pada KPK dapat saja terpenuhi sepanjang para Pemohon terlebih dahulu menjadi pegawai KPK dan hal tersebut sangat tergantung pada terpenuhi atau tidak syarat sebagaimana yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu dalil para Pemohon yang mempersoalkan inkonstitusionalitas norma Pasal 43 ayat (1) UU 19/2019 terhadap Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum,” terang Enny.
Mutatis Mutandis
Sementara terkait Perkara Nomor 59/PUU-XVII/2019 yang dimohonkan oleh 25 orang yang berprofesi advokat, Mahkamah memutuskan permohonan tersebut tidak dapat diterima. Sebelumnya, para Pemohon mendalilkan keberadaan Dewan Pengawas berpotensi mengurangi independensi dan melemahkan KPK. Para Pemohon meminta agar Pasal 21 ayat (1) huruf a UU 19/2019 yang mengatur keberadaan Dewan Pengawas harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
“Berkenaan dengan pengujian konstitusionalitas ketentuan tersebut, melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 71/PUU-XVII/2019, bertanggal 4 Mei 2021, selesai diucapkan pukul 16.47 WIB Mahkamah menyatakan bahwa permohonan para Pemohon berkaitan dengan inkonstitusionalitas Pasal 21 ayat (1) huruf a UU 19/2019 adalah tidak beralasan menurut hukum. Pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 71/PUU-XVII/2019 tersebut secara mutatis mutandis berlaku sebagai pertimbangan hukum dalam Putusan Nomor 59/PUU-XVII/2019 a quo. Dengan demikian, berdasarkan pertimbangan hukum di atas Mahkamah menilai permohonan para Pemohon dalam perkara a quo mengenai inkonstitusionalitas Pasal 21 ayat (1) huruf a UU 19/2019 harus dinyatakan tidak beralasan menurut hukum,” papar Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh.
Terakhir, Mahkamah memutuskan untuk menolak seluruhnya permohonan yang diajukan oleh Gregorius Yonathan Deowikaputra. Mahkamah berpendapat, dalil Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 29 huruf e UU KPK adalah tidak beralasan menurut hukum. (*)
Penulis : Nano Tresna Arfana
Editor : Lulu Anjarsari P
Humas : Raisa Ayudhita