JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji formil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) untuk Perkara Nomor 79/PUU-XVII/2019 pada Selasa (4/5/2021).
“Amar putusan mengadili, menyatakan menolak permohonan provisi Pemohon. Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua Pleno Anwar Usman didampingi para hakim konstitusi lainnya dalam sidang pengucapan putusan.
Dalam permohonannya, Agus Rahardjo dan Laode Muhamad Syarif sebagai Pemohon menilai pembentuk UU KPK tidak menunjukkan itikad baik dalam proses pembentukan Perubahan Kedua UU KPK. Sehingga terdapat potensi kerugian konstitusional yang dapat merugikan warga negara. Menurut para Pemohon, proses pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) KPK berlangsung kilat dan terkesan terburu-buru untuk disetujui. Oleh karena itu, para Pemohon menilai proses pembahasan dalam jangka waktu yang singkat ini menjadi faktor banyaknya cacat formil dan ketidakjelasan yang terdapat dalam batang tubuh UU KPK tersebut. Padahal, secara yuridis, Pasal 50 ayat (3) UU No. 12/2011 menjelaskan DPR mulai membahas RUU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak surat Presiden diterima.
Baca juga: Para Petinggi KPK Uji UU KPK
Hakim Konstitusi Arief Hidayat yang membacakan pertimbangan hukum menyebut berdasarkan UU P3, tahapan pembentukan perundang-undangan merupakan rangkaian tahapan yang terdiri atas tahapan pengajuan, pembahasan, persetujuan, pengesahan, dan tahap pengundangan. Mahkamah berpendapat Rancangan Undang-Undang (RUU) No.19/2019, antara lain telah terdaftar dalam Prolegnas Daftar RUU Prolegnas Tahun 2015-2019, RUU Perubahan atas UU No. 30/2002 tentang KPK yang terdaftar pada urutan ke-63. Selain itu, RUU a quo juga tercantum dalam Keputusan DPR tentang Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2016. Selain itu dalam Raker Badan Legislasi pada 16 September 2019 maupun Rapat Paripurna DPR pada 17 September 2019.
“Berdasarkan fakta di atas, Mahkamah berpendapat bahwa ternyata RUU KPK telah terdaftar Prolegnas dan berulang kali terdaftar dalam Prolegnas Prioritas. Terkait lama atau tidaknya waktu yang diperlukan dalam pembentukan undang-undang, hal itu sangat berkaitan erat dengan substansi dari RUU tersebut. Berdasarkan seluruh uraian di atas, Mahkamah berpendapat dalil para Pemohon yang menyatakan RUU KPK tidak melalui Prolegnas dan disinyalir terjadi penyelundupan hukum adalah tidak beralasan menurut hukum,” urai Arief.
Baca juga: Mantan Penasihat KPK dan Ketua BEM UI Beri Kesaksian dalam Sidang Uji UU KPK
Harus Pengujian Materiil
Sementara terkait dalil mengenai adanya pelanggaran asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dalam penyusunan UU KPK serta tidak adanya partisipasi dari masyarakat dan lembaga terkait, Mahkamah menyebut seharusnya Pemohon menempuh jalur pengujian materiil. Hakim Konstitusi Saldi Isra menyebut berkenaan dengan asas kejelasan tujuan, maka hal tersebut terlihat dari Penjelasan Umum yang trerlah menguraikan latar belakang, maksud dan tujuan penyusunan undang-undang yang tujuannya bukan untuk memperlemah kewenangan KPK.
“Adapun norma yang berkenaan dengan pembentukan Dewan Pengawas, pemberia kewenangan penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan, dan perubahan status kepegawaian KPK dipredikasi para Pemohon akan memperlemah kewenangan KPK dan mengganggu independensi KPK, penilaian terhadap substansi norma bukan merupakan ranah pengujian formil. Oleh karena itu, menurut, Mahkamah, hal tersebut haruslah dilihat secara keseluruhan norma undang-undang yang apabila dianggap dapat merugikan hak konstitusonal atau menyimpangi dari tujuan dibentuknya udang-undang, maka dapat dilakukan pengujian secara materiil terhadap norma yang dimaksud ke Mahkamah Konstitusi,” terang Saldi yang juga membacakan pendapat Mahkamah.
Selanjutnya, Mahkamah menjelaskan soal anggapan KPK yang tidak dilibatkan saat pembentukan RUU KPK. “Secara faktual, KPK yang menolak untuk dilibatkan dalam proses pembahasan rencana revisi UU KPK,” ujar Saldi.
Baca juga: Ahli Sebut Pembentukan UU KPK Revisi Tidak Sah
Pendapat Berbeda
Dalam putusan tersebut, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams memberikan pendapat berbeda bahwa seharusnya Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon. Wahiduddin menjelaskan ada beberapa opsi yang dapat ditempuh oleh hakim konstitusi. Pertama, dengan mempertahankan UU KPK dengan menyatakan menolak seluruh permohonan para Pemohon. Kedua, Mahkamah memperbaiki beberapa (bahkan banyak) materi yang terdapat dalam UU KPK dengan mengabulkan sebagian permohonan para Pemohon (khususnya para Pemohon uji materiil) agar UU KPK menjadi terjamin konstitusionalitasnya. Ketiga, opsi dengan kembali kepada UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebelum perubahan dan dengan menyatakan UU 19/2019 bertentangan dengan UUD 1945.
“Berdasarkan 3 (tiga) opsi koridor untuk memutus perkara pengujian di atas, saya berijtihad untuk menempuh menempuh koridor ‘jalan tengah terbaik’ yang saya yakini, yaitu menyatakan bahwa pembentukan UU a quo bertentangan dengan UUD 1945, sehingga UU a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Ijtihad ini saya lakukan berdasarkan argumentasi agar pembentuk undang-undang dapat mengulang proses pembentukan undang-undang mengenai KPK dengan cara yang lebih baik, dalam suasana yang lebih tenang, serta dalam jangka waktu yang lebih rasional dan proporsional,” tandas Wahiduddin.(*)
Penulis : Nano Tresna Arfana
Editor : Lulu Anjarsari P
Humas : Raisa Ayudhita