JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perbaikan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja pada Senin (3/5/2021). Para Pemohon Perkara Nomor 3/PUU-XIX/2021 ini diajukan oleh Sudarto dan Yayan Supyan selaku Ketua Umum dan Sekretaris Umum pada Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman-Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI).
Dalam sidang perbaikan tersebut, Pemohon melakukan sejumlah perbaikan sesuai dengan saran majelis hakim dalam sidang sebelumnya. Perbaikan permohonan yang dilakukan para Pemohon tersebut, antara lain mengurangi pasal yang diuji dari 5 pasal menjadi dua pasal yakni Pasal 154A dan Pasal 156 Bagian Kedua Bab IV Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Kemudian mengenai kedudukan hukum para Pemohon dan pokok permohonan para Pemohon, menurut Andri selaku kuasa hukum Pemohon, juga dilakukan perbaikan namun tidak dijelaskan dan diuraikan dalam persidangan.
Baca juga: FSP RTMM-SPSI Uji UU Cipta Kerja
Sebelumnya, Andri yang mewakili Pemohon Perkara Nomor 3/PUU-XIX/2021 melakukan pengujian materiil Pasal 59, Pasal 61 ayat (1) huruf c, Pasal 61A, Pasal 154A, Pasal 156 Bagian Kedua Bab IV Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Para Pemohon adalah pengurus federasi serikat buruh tingkat nasional yang dibentuk dari, oleh dan untuk buruh yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan buruh serta meningkatkan kesejahteraan buruh dan keluarganya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan berlakunya Bab IV UU Cipta Kerja yang oleh pemerintah dan menjadi pengetahuan masyarakat disebut klaster ketenagakerjaan, dinilai sangat merugikan hak-hak konstitusional pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh yang diatur dalam UUD 1945. Hal yang merugikan, antara lain pengurangan upah, penghapusan lama kontrak atau hubungan kerja dalam pola Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), perluasan outsourcing, pengurangan pesangon, ketakutan pekerja buruh menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh dan/atau menjalankan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh.
Para Pemohon juga mendalilkan muatan materi pasal-pasal yang diuji tersebut bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28, Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (4), Pasal 28I ayat (2), Pasal 33 ayat (1) UUD 1945, karena mengurangi (mendegradasi) hak-hak dasar/asasi pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh. UU Cipta Kerja bertentangan dengan yang sudah diatur UU 13/2003 serta bertentangan dengan filosofi Pancasila. Kemudian, secara sosiologis muatan materinya tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat pekerja/buruh, dan menimbulkan kekosongan hukum di bidang hubungan industrial. Selain itu, materi muatan tersebut bertentangan dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan, hak asasi manusia (HAM), dan sejumlah instrumen hukum internasional seperti Konvensi ILO dan DUHAM.
Menurut para Pemohon, pasal-pasal yang diuji dalam Bagian Kedua Bab IV UU Cipta Kerja saling terkait erat, karenanya walaupun para Pemohon tidak secara eksplisit menyebut setiap pasal dalam argumentasi hukum terhadap setiap pasal dalam Bagian Kedua Bab IV UU No. 11/2020, namun dalam permohonan a quo bermaksud juga mengajukan permohonan pengujian materil atas seluruh pasal yang termuat dalam Bagian Kedua Bab IV UU No. 11/2020. Karenanya para Pemohon berpendapat, seluruh pasal dalam Bagian Kedua Bab IV UU Cipta Kerjaberalasan menurut hukum untuk dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Selain itu, para Pemohon mendalilkan dalam UU Cipta Kerjapengaturan PKWT dilakukan tanpa batas waktu, maka hakikat perlindungan hukum yang diberikan oleh undang-undang menjadi terabaikan. Demikian pula dalam hal masa depan, PKWT menyebabkan masa depan buruh/pekerja menjadi tidak menentu karena selalu dibayangi sulitnya mencari pekerjaan baru setelah berakhirnya kontrak kerja, jenjang karier juga tidak dapat dibangun, demikian pula dengan keahlian, sementara kenaikan upah dan tunjangan sulit terwujud.(*)
Penulis : Nano Tresna Arfana
Editor : Lulu Anjarsari P
Humas : Raisa Ayudhita