JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UU Jaminan Fidusia) digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (3/5/2021). Persidangan dengan agenda perbaikan permohonan ini dilaksanakan oleh Panel Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. FoEkh didampingi Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih masing-masing sebagai anggota panel.
Permohonan uji materi UU Jaminan Fidusia dalam Perkara Nomor 2/PUU-XIX/2021 diajukan oleh Joshua Michael Djami (Pemohon). Pemohon melalui kuasa hukum Zico Leonard D. Simanjuntak menyampaikan sejumlah perbaikan permohonan. Dalam kedudukan hukum misalnya, Pemohon lebih menegaskan dirinya masih bekerja sebagai kolektor di perusahaan finance. Walaupun demikian, Pemohon mengalami kesulitan dalam profesinya akibat penafsiran terhadap pasal yang diujikannya. Di antaranya Pemohon mengalami berkurangnya pendapatan.
“Selain itu baik Pemohon maupun rekan-rekannya banyak mengalami banyak kasus dan hambatan karena eksekusi fidusia saat ini harus melalui putusan pengadilan. Semua hal tersebut terjadi secara sistemik dan faktual, oleh karena Putusan MK menyatakan bahwa eksekusi fidusia harus melalui putusan pengadilan. Kasus-kasus yang dialami Pemohon tersebut akan Pemohon buktikan dengan memanggil saksi dalam sidang pembuktian nanti. Mulai dari rekan kolektor, perusahaan pembiayaan maupun aparat penegak hukum untuk menceritakan fakta dan data empiris yang terjadi,” urai Zico.
Kemudian pada bagian petitum, Pemohon meminta kepada Mahkamah agar perkara yang diajukan Pemohon dapat berlanjut hingga tahap pembuktian, tidak langsung putusan. Ini dimaksudkan agar Pemohon dapat memanggil pihak-pihak terdampak untuk menjadi saksi atau Pihak Terkait. Hal ini mengingat perkara a quo terkait dengan kepentingan banyak pihak, baik perusahaan pembiayaan, aparat penegak hukum dan lain-lain.
Baca Juga:
Menyoal Eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia
Sebagaimana diketahui, Joshua Michael Djami (Pemohon) merupakan pegawai sebuah perusahaan finance. Pemohon melakukan pengujian materiil Pasal 15 ayat (2) UU Jaminan Fidusia yang menyatakan, “Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Selain itu, Pemohon menguji Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU Jaminan Fidusia yang menyatakan, “Dalam ketentuan ini, yang dimaksud dengan "kekuatan eksekutorial" adalah langsung dapat dilaksanakan tanpa melalui pengadilan dan bersifat final serta mengikat para pihak untuk melaksanakan putusan tersebut.”
Pemohon bekerja di perusahaan finance dengan jabatan kolektor internal dan telah bersertifikasi profesi bidang penagihan. Kendati demikian, Pemohon mengalami berbagai kesulitan semenjak ditafsirkannya undang-undang dalam perkara a quo. Permasalahan-permasalahan yang muncul, di antaranya berkurangnya pendapatan hingga sulitnya melakukan eksekusi terhadap barang jaminan fidusia akibat pemberi hak fidusia (debitur) kerap kali mengelak.
Pengujian undang-undang dalam perkara a quo sangat erat kaitannya dengan permasalahan penanganan dan regulasi eksekusi objek jaminan fidusia yang melibatkan kolektor, dalam hal regulasi, sumber daya tenaga manusia, maupun prosedur dan pengaturannya. Dalam pandangan Pemohon, perkara a quo sangatlah berdampak terhadap berbagai pihak. Misalnya, perusahaan pembiayaan, aparat penegak hukum, konsumen maupun asosiasi kolektor.
Pemohon juga mendalilkan tiadanya perlindungan hukum yang adil bagi industri pembiayaan. Hal ini dikarenakan biaya yang dikeluarkan untuk eksekusi lebih besar daripada pendapatan dari barang fidusia itu sendiri. Adanya perusahaan pembiayaan yang menyewa kolektor tidak bersertifikasi (preman) yang bertindak semena-mena kepada konsumennya sebagaimana dalam legal standing Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019, hal ini tidak serta merta berarti semua kolektor dan perusahaan pembiayaan bertindak demikian. Menurut Pemohon, masih ada kolektor tersertifikasi seperti Pemohon, kolektor internal yang selalu jujur dan ramah kepada debitur. Sebagai kolektor, Pemohon bahkan selalu berusaha bertindak persuasif dan negosiasi ketika bertemu dengan debitur. Namun, hak konstitusional Pemohon terdampak hanya karena ulah preman yang bersikap semena-mena kepada debitur.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
HUmas: Muhammad Halim
Editor: Nur R.