JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang kedua uji materiil Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) terhadap UUD 1945, Senin (3/5/2021). Wielfried Milano Maitimu mewakili masyarakat adat Ambon-Lease mengajukan uji materiil asal 831, Pasal 832, Pasal 834, Pasal 849, Pasal 852, Pasal 852a, Pasal 857, Pasal 862, Pasal 863, Pasal 864, Pasal 865, Pasal 867, Pasal 869, Pasal 872, Pasal 913, Pasal 914, Pasal 916, Pasal 916a, Pasal 920, dan Pasal 921 KUHPer. Pasal-pasal tersebut dinilai bertentangan dengan Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28 ayat (3) UUD 1945.
Dalam sidang perbaikan permohonan ini, Pemohon perkara yang teregistrasi Nomor 1/PUU-XIX/2021 menyampaikan beberapa poin perbaikan. Perbaikan tersebut, di antaranya mengenai kedudukan hukum dan posita atau alasan permohonan.
“Pada bagian ini saya memperjelas pertentangan norma terhadap hak konstitusional Pemohon,” sebut Maitimu dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat dengan didampingi Hakim Konsitusi Wahiduddin Adams dan Saldi Isra.
Baca juga: Masyarakat Adat Ambon-Lease Uji Aturan Pewarisan dalam KUHPerdata
Dalam sidang pendahuluan, Pemohon mengatakan norma-norma tersebut bertentangan dengan ketentuan hukum adat mengenai Pewarisan yang dipraktikkan oleh kesatuan masyarakat hukum adat Maluku, khususnya masyarakat Ambon. Pasalnya, sistem hukum adat yang mengatur Pewarisan tidak dapat dipakai lagi karena peradilan di Indonesia dalam memutus suatu perkara waris merujuk pada KUHPer tersebut. Akibatnya, Pemohon yang seharusnya memiliki hak waris selaku ‘anak rumah’ berupa sebuah rumah tinggal (atau disebut juga rumahtua dalam hukum adat Maluku) tidak dapat memiliki hak tersebut. Untuk diketahui, ‘anak rumah’ merupakan sebuah sistem keturunan di Ambon, yakni anak yang tidak diakui oleh pihak keluarga laki-laki, namun tetap diakui oleh keluarga perempuan dan dapat melanjutkan garis keluarga dari pihak keluarga perempuan.
Singkatnya dalam kasus konkret, setelah wafatnya Ibu Pemohon pada 2018 lalu, sertifikat hak milik atas rumahtua berada dalam kekuasaan sepihak suami mendiang ibunya. Rumah tersebut hendak dijual dan akan dibagikan hasil penjualannya sesuai dengan ketentuan norma dalam KUHPer. Sementara itu, menurut Pemohon dalam ketentuan adat masyarakat Maluku, hal demikian tidak boleh dilakukan. Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan keseluruhan norma yang diujikan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat atau konstitusional bersyarat sepanjang tidak dipakai untuk mengadili sengketa yang berhubungan dengan masyarakat hukum adat. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor : Lulu Anjarsari P
Humas : Andhini SF