JAKARTA, HUMAS MKRI - Fiskal stimulus perlu dilakukan untuk mengatasi dampak pandemi yang sangat luar biasa. Kelompok menengah bawah adalah kelompok yang paling terdampak atas permasalahan ini. Kemudian mereka dapat kembali pada pergerakan kondisi ekonomi normal setelah adanya bantuan langsung tunai (BLT) yang diberikan pemerintah. Dari bantuan ini, pemerintah telah mendorong peningkatan pendapatan mereka untuk dapat memenuhi kebutuhan pokok yang tidak dapat dipenuhi akibat paparan terhentinya aktivitas ekonomi. Sehingga, program ini dapat dikatakan berhasil mendorong belanja atau konsumsi dari kelompok ekonomi menengah bawah.
Hal tersebut disampaikan Ahli Ekonomi M. Chatib Basri selaku Ahli Bidang Ekonomi yang dihadirkan Pemerintah dalam sidang perkara pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) (UU 2/2020), Kamis (29/4/2021). Sidang ke-10 ini digelar untuk tujuh perkara sekaligus, yakni perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020, Nomor 42/PUU-XVIII/2020, Nomor 43/PUU-XVIII/2020, Nomor 45/PUU-XVIII/2020, Nomor 47/PUU-XVIII/2020, Nomor 49/PUU-XVIII/2020, dan Nomor 75/PUU-XVIII/2020.
Secara lengkap Chatib mengulas dampak pandemi Covid-19 yang sangat luar biasa sehingga pemerintah harus mengambil tindakan di luar kebiasaan. Untuk mengatasi permasalahan ini, pemerintah meminta agar orang menghindari kerumunan, menjaga jarak, dan tidak beraktivitas di luar rumah. Impilikasi dari permintaan ini mengakibatkan aktivitas ekonomi yang berkaitan dengan aktivitas di pasar pun harus berhenti total dalam beberapa kurun waktu yang berakibat pada kolapsnya ekonomi.
Dampak dari hal ini bagi Indonesia sangat dirasakan oleh para pelaku ekonomi di sektor informal dengan penurunan pendapatan hingga 30%. Akibatnya, tingkat pengangguran terbuka naik dan melahirkan ketimpangan pendapatan. Berdasarkan pengamatan Chatib, Indonesia relatif mampu menghadapi hantaman dari situasi buruk akibat pandemi pada ekonominya. Hal ini terlihat dari kinerja pergerakan ekonomi yang hanya bernilai -2,1%.
“Jika dibandingkan dengan negara lain seperti Amerika, Singapura, dan negara besar lainnya Indonesia tergolong negara yang cukup aman dalam persoalan ini, kendati tidak dapat dipungkiri Indonesia tidak melakukan lockdown seperti pada kebanyakan negara sehingga pandeminya berlangsung lama. Tetapi, melalui fiskal stimulus inilah pemerintah mengupayakan minimum dampak pandemi,” sampai Chatib.
Ekspansi Fiskal
Berikutnya Chatib mengulas mengenai sektor yang disasar pemerintah atas pembentukan kebijakan yang dituangkan dalam UU a quo. Alokasi belanja untuk kesehatan, bantuan sosial, dukungan UMKM menjadi bagian dari fiskal stimulus yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi dampak buruk pandemi. Menurutnya, apabila pemerintah tidak diberikan ruang untuk melampaui batas defisit 3% sebagaimana tertuang dalam UU 2/2020, maka pemerintah tidak akan mampu melakukan fiskal stimulus untuk pembalikan ekonomi pada kuartal ketiga.
“Sehingga dalam situasi gentng ini, batas defisit 3% ini harus diperlebar untuk tiga kebutuhan ini,” sampai Chatib.
Di samping upaya fiskal stimulus tersebut, Chatib berpendapat pemerintah perlu melakukan ekspansi fiskal. Yakni, menaikkan investasi nilai bantuan tunai yang diberikan pada kalangan masyarakat dengan ekonomi menengah bawah untuk meningkatkan kemampuan berbelanja.
“Jadi pemerintah perlu memperluas BLT pada kelas menegah bawah dengan jumlah yang lebih besar lagi tetapi tetap di bawah upah minimum,” jelas Chatib.
Selain itu, pemerintah juga harus mengutamakan program kesehatan dengan memberikan vaksin gratis dan memperhatikan kebutuhan akan PCR yang nominalnya masih cukup mahal. Setelahnya, sambung Chatib, barulah pemerintah dapat melakukan perbaikan ekonomi yang luas seperti memberikan subsidi bunga dan lainnya.
Sesuai Asas Negara Hukum
Pada kesempatan yang sama Ahli Hukum Administrasi Negara W. Riawan Tjandra dalam persidangan ini juga mengemukakan pendapatnya berkaitan dengan aspek wewenang presiden untuk melakukan diskresi dengan penetapan perpu yang disahkan menjadi UU 2/2020. Menurutnya suatu norma disusun untuk penyelenggaraan negara dalam keadaan normal. Namun, dalam kehidupan kenegaraan yang dinamis, bisa saja terjadinya keadaan krisis atau darurat. Seperti dalam hampir dua tahun ini, sambung Riawan, Indonesia menghadapi dampak pandemi yang harus dihadapi dengan cara-cara yang tidak biasa.
Baginya kewenangan pembentukan UU 2/2020 merupakan bagian dari kewenangan atributif presiden. Bahkan kewenagan ini pun telah diperjelas melalui Putusan MK 138/PUU-VII/2009. Dari hal ini, kata Riawan, peraturan yang ditetapkan pemerintah dapat saja tidak membutuhkan persetujuan parlemen. Sebab, kondisi tidak biasa yang sedang terjadi sehingga emergency law pun perlu dilakukan. Maka, dengan keadaan darurat inilah terdapat kepentingan pemerintah untuk melakukan diskresi dalam makna kebebasan kebijaksanaan guna mengisi kekosongan hukum dan mengatasi keadaan stagnasi pemerintah. Hal ini tidak lain dilakukan untuk kepentingan umum sehingga lahirnya UU 2/2020 dapat dipahami dalam perspektif yang telah termuat pula dalam konsiderannya (Bagian Pertimbangan UU 2/2020).
“Dengan kata lain, dalam penyusunan undang-undang ini prinsip pemerintahan yang baik tetap menjadi pertimbangan, seperti termuatnya asas kebijaksanaan, asas kepentingan umum, asas kehati-hatian, dan pemberian argumentasi,” jelas Riawan.
Penetapan Postur APBN
Berikutnya, berkaitan dengan wewenang pemerintah dalam menetapkan postur APBN karena untuk menghadapi pandemi, Riawan menyebutkan bahwa UU 2/2020 memberikan seperangkat wewenang kepada pemerintah untuk melaksanakan kebijakan keuangan negara sesuai dengan asas negara hukum. Di samping itu, menurutnya, pemerintah pun telah bertindak menurut hukum karena diberikan oleh ketentuan hukum untuk menindaklanjuti kebijakan defisit melebih 3% hingga ekonomi membaik. Jadi, dasar wewenang perubahan APBN yang dilakukan pemerintah tetap mengacu prinsip negara hukum.
“Norma ini lahir berdasarkan produk hukum yang setara dengan peraturan yang berlaku dan pertanggungjawabannya pun tetap dilakukan sesuai aturan. Bahwa dalam keadaan darurat diperlukan tindakan cepat, tetapi tidak pula meninggalkan asas negara hukum,” jelas Riawan dalam sidang yang dihadarinya secara virtual dari kediamannya.
Baca Juga…
Sejumlah LSM dan Peneliti Menguji UU Covid-19
Pemohon Uji UU Covid-19 Pertegas Argumentasi Permohonan
Guratan Tanda Tangan Mencurigakan dalam Uji UU Covid-19
Dana Desa Ditunda, Dua Kepala Desa Gugat UU Covid-19
Sri Mulyani: UU Penanganan Covid Justru untuk Melindungi Masyarakat
Abdul Chair Ramadhan: UU Penanganan Covid-19 Menyalahi Sistem Hukum Pidana
Saksi: Rumah Sakit Rujukan Covid-19 Minim Fasilitas
Ahli Pemohon: UU Penanganan Covid-19 Salahi Pembentukan Peraturan UU
Sebagaimana diketahui, permohonan Nomor 37/PUU-XVIII/2020 diajukan oleh Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA), serta Pemohon perorangan yaitu Desiana Samosir, Muhammad Maulana, dan Syamsuddin Alimsyah. Alasan para Pemohon melakukan pengujian formil UU Penanganan Covid-19 pada prinsipnya meliputi dua argumentasi. Pertama, tidak dilibatkannya Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam proses pembahasan untuk menentukan apakah Perpu tersebut disetujui atau tidak. Kedua, rapat virtual yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berpotensi tidak dihadiri secara konkret oleh anggota DPR.
Sedangkan Pemohon perkara Nomor 42/PUU-XVIII/2020, Iwan Sumule dan 49 Pemohon lainnya selaku aktivis Pro Demokrasi (ProDEM) mendalilkan, apabila UU Penanganan Covid-19 berikut lampirannya diberlakukan untuk seterusnya, maka ke depan tidak akan lagi ada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) yang selalu dibahas secara bersama-sama antara Pemerintah dengan DPR, karena Presiden dapat mengubah postur dan/atau rincian APBN dan menetapkan perubahan tersebut secara sepihak hanya berdasarkan Peraturan Presiden. Sedangkan amanat Konstitusi dalam Pasal 23C UUD 1945 menyatakan segala sesuatu yang berkaitan dengan keuangan negara diatur dengan Undang-Undang, bukan dengan Peraturan Presiden.
Berikutnya Pemohon Perkara 43/PUU-XVIII/2020, Ahmad Sabri Lubis dan 9 Pemohon lainnya sebagai perorangan warga negara Indonesia mendalilkan bahwa Perpu No. 1/2020 yang telah diundangkan melalui UU No. 2/2020 mengandung ketidakjelasan tujuan terkait dengan syarat “hal ikhwal kegentingan yang memaksa” dan lebih diarahkan kepada kepentingan Pemerintah untuk menetapkan batas defisit anggaran melampaui 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) hingga Tahun Anggaran 2023.
Kemudian Pemohon Perkara Nomor 45/PUU-XVIII/2020 atas nama Sururudin mendalilkan, Pasal 2 dan Pasal 12 ayat (2) UU Penanganan Covid-19 dapat ditafsirkan memberikan kekuasaan yang begitu besar kepada Presiden/Pemerintah untuk mengatur keuangan negara tanpa melibatkan DPR sejak 2020-2023. Hal ini justru bertentangan dengan ruang lingkup yang diatur dalam Bab I Pasal 1 undang-undang a quo. Ruang lingkup undang-undang ini sudah jelas mengatur mengenai kebutuhan negara dalam menyelenggarakan pemerintahan diperlukan APBN Tahun 2020. Namun justru dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a memberikan kekuasaan kepada pemerintah untuk dapat leluasa tanpa melibatkan DPR mengatur keuangan negara sampai pada 2023.
Pemohon perkara Nomor 47/PUU-XVIII/2020 Triono dan 26 Pemohon lainnya yang menjabat sebagai kepala desa dan anggota badan permusyawaratan desa, mendalilkan bahwa mereka sangat memahami kondisi wabah Covid-19 sehingga pengalihan sampai penundaan dana desa pun tidak masalah. Namun, hal tersebut menjadi masalah ketika muncul ketentuan dana desa dinyatakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran Covid-19 sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28 ayat (8) Lampiran UU Penanganan Covid-19. Dalam Pasal 2 ayat (1) huruf i UU Penanganan Covid-19, tidak ada keterangan bahwa pada kondisi pandemi Covid-19, pemerintah pusat akan meniadakan dana desa. Yang diatur hanyalah kewenangan pemerintah melakukan penyesuaian, pemotongan dan penundaan, bukan meniadakan.
Sementara itu, Pemohon perkara Nomor 49/PUU-XVIII/2020 yaitu Damai Hari Lubis selaku advokat. Damai mempermasalahkan penggunaan anggaran dalam Perpu a quo adalah melalui APBN sehingga harus mengacu pada prinsip-prinsip yang diatur dalam Pasal 23 Ayat (1) UUD 1945 khususnya mengenai prinsip terbuka dan bertanggung jawab dalam penggunaan APBN untuk kesejahteraan rakyat, yang tidak boleh dimaknai dalam kondisi pengecualian tetapi harus dimaknai dalam kondisi apapun. Damai berpandangan, diberlakukannya ketentuan Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Penanganan Covid-19 telah menutup pertanggungjawaban pejabat publik dalam penggunaan uang negara yang mengakibatkan terjadinya kemunduran hukum, karena sebelumnya telah diberlakukan aturan-aturan dengan prinsip terbuka dan bertanggung jawab.
Selanjutnya Permohonan perkara Nomor 75/PUU-XVIII/2020 diajukan oleh 47 Pemohon, di antaranya M. Sirajuddin Syamsuddin, Sri Edi Swasono, HM. Amien Rais. Para Pemohon antara lain mendalilkan pengajuan dan persetujuan DPR terhadap Perpu 1/2020 menjadi UU 2/2020 dilakukan dalam masa sidang DPR yang sama, tepatnya pada masa sidang ke-III. Menurut para Pemohon, proses penerimaan dan persetujuan tersebut bertentangan dengan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan: “Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.” Seharusnya, apabila DPR menerima Perpu 1/2020 pada masa sidang III, maka persetujuan atau penolakan terhadap Perpu 1/2020 dilakukan pada masa sidang IV, sehingga para Pemohon beranggapan UU 2/2020 beralasan hukum untuk dibatalkan secara keseluruhan. Selain itu, menurut para Pemohon, berdasarkan Pasal 22D ayat (2) UUD 1945, seharusnya DPD ikut membahas Perpu 1/2020, dikarenakan isinya terkait perimbangan keuangan pusat dan daerah, namun dalam faktanya DPR membahas tanpa DPD.
Penulis: Sri Pujianti.
Humas: Fitri Yuliana.
Editor: Nur R.